Ada dua saran antagonistik yang dianjurkan ditempuh Jokowi terhadap Budi Gunawan (BG). Yang satu menganjurkan agar BG segera dilantik. Eggi Sudjana, pengacara BG, dan beberapa pejabat teras partai pendukung Jokowi getol menyarankan hal ini. Menurut Eggi dan kawan-kawannya, inilah yang paling tepat ditempuh Jokowi. Itu yang sesuai dengan ketentuan hukum, katanya. Tambahan pula, BG dipilih sendiri oleh Jokowi dan juga disetujui dengan suara bulat oleh DPR.
Anjuran sebaliknya muncul dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk Wantimpres dan tim 9 (sembilan) yang dibentuk Presiden Jokowi yang diminta bantuannya mencari solusi atas konflik KPK vs Polri. Dasar anjuran ini ialah BG sudah ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi. Tidak layak seorang tersangka korupsi menjadi Kapolri.
Dalam kondisi demikian, apa pun keputusan Jokowi nampaknya sama-sama tak enak. Mirip makan buah simalakama. Namun, karena harus memilih, maka Jokowi mau tidak mau menelisik berbagai kemungkinan akibat langsung dan tak langsung dari keputusan yang diambil. Yang diharapkan, tentu saja, adalah keputusan yang beresiko relatif kecil, lebih diterima akal sehat, dan mendapat dukungan publik.
Sebagai masukan, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, jika Jokowi melantik BG, maka secara terang-terangan Jokowi melanggar ketentuan pasal 1 ayat (2) UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Menurut ketentuan tersebut, pejabat negara harus “bersih”, taat asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
Posisi BG memang masih tersangka. Belum menjadi terdakwa atau terpidana. Dari sisi ini, menurut ketentuan UU Jokowi tidak memiliki alasan untuk tidak melantik BG. Namun, ukuran kebenaran tindakan Presiden tidak melulu UU. Presiden berkeharusan memertimbangkan asas kepatutan, moralitas dan harapan publik. Pada titik ini, seorang calon pejabat yang berstatus tersangka dengan sangkaan korupsi dan/atau gratifikasi BG tak patut menjadi Kapolri.
Kedua, jika ketentuan tersebut dilanggar oleh Jokowi, DPR memiliki alasan hukum untuk menyerang Jokowi. Mereka bisa menggunakan hak konstitusinya, seperti hak angket, yang pada gilirannya bisa dimuarakan pada pemakzulan Presiden.
Yang lebih parah, pelantikan pejabat semacam itu dapat dinilai sebagai indikasi tidak seriusnya Jokowi untuk memberantas korupsi seperti yang selalu dikampanyekan selama Pilpres.
Ketiga, BG sendiri tidak memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), UU No 28 Tahun 1999 tersebut menyangkut harta kekayaannya. Dalam ketentuan itu BG diwajibkan bersedia diperiksa kekayaannya, baik sebelum menjabat, maupun selama, dan setelah menjabat nantinya; Ia juga dituntut melaporkan dan mengumumkan kekayaan, sebelum dan setelah menjabat; dan tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Mestinya ketentuan UU tersebut dipenuhi secara sukarela oleh BG. Tidak perlu menunggu perintah atau pemeriksaan karena telah disangka melakukan korupsi. Secara proaktif, BG perlu menunjukkan kepada publik bahwa harta kekayaan yang dimilikinya tidak hanya sah menurut ketentuan hukum, tetapi faktanya memang demikian.
Dengan cara itu, dan BG misalnya berhasil membuktikan bahwa harta kekayaannya adalah sah menurut hukum, tentu tidak ada alasan bagi Presiden Jokowi untuk tidak melantiknya menjadi Kapolri***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H