Tanggal 24 Februari 2014, saya lewat Kediri lagi. Tumpukan pasir muntahan Gunung Kelud tanggal 13 Februari 2014 lalu, masih saja menghiasi Kota Kediri. Memang sudah berkurang. Ada yang dibawa air ke saluran air saat hujan dan ada yang dibawa oleh beberapa pembutuh pasir. Namun, karena jumlah pasirnya besar, pengurangan tidak terlalu signifikan.
[caption id="attachment_297508" align="aligncenter" width="482" caption="Salah satu Jalan di Simpang Lima Gumul Kediri"][/caption]
Di jalan-jalan Protokol, pasir yang disisihkan hanya yang ada di tengah jalan. Ditumpuk di pinggir-pinggi jalan. Sisanya masih menyebar di pinggir jalan di seluruh jalan Kota.
[caption id="attachment_297509" align="aligncenter" width="482" caption="Kondisi jalan di jalan Hayam Wuruk Kediri dua hari setelah Kelud meletus"]
Ketika ada hujan rintik-rintik dua hari setelah letusan, kondisi jalan seperti di jalan Hayam Wuruk nyaris seperti jalan yang baru dibuka. Sama sekali tidak terlihat bahwa jalan itu merupakan jalan beraspal. Hal serupa terlihat di simpang lima Gumul Kabupaten Kediri.
[caption id="attachment_297511" align="aligncenter" width="482" caption="Kondisi Jalan Perempatan Jl. Erlangga-Hayam Wuruk Kediri"]
Di rumah-rumah penduduk jangan ditanya. Contohnya adalah pasir yang mendarat di genteng rumah penulis. Setelah dikumpulan, jumlah pasir yang mendarat di genteng rumah penulis tidak kurang dari dua mobil pick up.
[caption id="attachment_297506" align="aligncenter" width="482" caption="Sebagian dari pasir yang mendarat di genteng sisi depan rumah penulis"]
Melihat banyaknya tumpukan pasir di jalan raya, gang, lorong, dan rumah penduduk, saya sempat berpikir andaikata ada yang butuh pasir untuk membangun apa saja rasanya tak perlu cari pasir. Cukup datang ke Kediri dengan ratusan truk, dijamin Anda akan mendapatkan pasir gratis berkualitas prima. Kalau pasir yang ada di seluruh jalan Kota kurang, tak perlu risau. Masuk saja ke jalan-jalan kecil dan gang-gang perkampungan sampai di lorong-lorong rumah penduduk. Tinggal naikkan di atas truk dan bawa pergi. Saya yakin mereka (dan penulis juga) pasti senang.
[caption id="attachment_297512" align="aligncenter" width="482" caption="Sebagian pasir di genteng sisi belakang rumah penulis"]
Kalau tidak sedang membangun, ada solusi lain. Bila punya lahan luas dan bebas, kumpulkan saja pasir itu di sana. Untuk apa? Ya untuk banyak hal. Di antaranya ya dijual. Beberapa bulan ke depan, pasir tersebut pasti dibutuhkan. Entah oleh swasta maupun warga yang mau membangun. Nah, pada saat itu, pasir bisa menjadi uang, bukan?
[caption id="attachment_297513" align="aligncenter" width="482" caption="Pasir yang sudah diturunkan dari genteng rumah tetangga penulis"]
Semestinya sih, Pemerintahan Kota Kediri mengambil tanggung jawab pembersihan kota dari pasir. Tapi, saya tidak perlu banyak menunutut. Saya sadar bahwa Pemerintahan Kota Kediri pasti sibuk untuk urusan yang lebih penting (tentu dalam pandangan pejabatnya, Wali Kota dan jajarannya). Saya hanya berpikir bahwa jika pasir itu dibiarkan, bukan tidak mungkin akan menimbulkan kesulitan susulan.Baik saat hujan maupun saat cuaca cerah.
[caption id="attachment_297515" align="aligncenter" width="482" caption="Tumpukan Pasir di depan pertokoan jalan Pattimura Kediri"]
Setiap kali hujan, sedikit demi sedikit, pasir yang ada di jalan, termasuk yang ditumpuk di pinggir jalan, akan masuk ke dalam got. Jika jumlah pasir dalam got makin banyak, bukan mustahil got tersumbat dan akibat selanjutnya ya silahkan tebak sendiri.
[caption id="attachment_297518" align="aligncenter" width="477" caption="Jalan Diponegoro Kediri saat cuaca cerah"]
Yang tak kalah parah adalah saat cuaca terang. Ketika mobil atau sepeda motor lewat, maka debu yang ada di pasir selalu menyembur ke udara. Bisa dibayangkan betapa kotornya udara yang dihirup dan terkadang mengenai mata. Bagi pengendara mobil, tentu (termasuk Pak Wali Kota) tidak masalah. Pengendara mobil bisa menutup pintu dan kaca mobil rapat-rapat sehingga terhindar dari debu. Yang menanggung akibatnya adalah sebagian besar anggota masyarakat yang mengendarai sepeda motor, sepeda, becak, atau pejalan kaki. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H