Oleh Yosafati Gulo
Sabtu, 18 Februari 2012, harian Jawa Pos memberitakan pengunduran diri Presiden Jerman, Christian Wulf. Dalam berita itu disebutkan, bahwa pengunduran diri Wulf merupuakan keputusan pribadi setelah melihat makin merosotnya dukungan rakyat atas dirinya sebagai Presdien. Dengan kalimat yang melambangkan tanggung jawab moral tinggi, Wulf mengatakan, “Jerman membutuhkan seorang Presdien yang didukung penuh oleh mayoritas rakyat, bukan hanya sejumlah penduduk,” tegasnya kepada pers.
Menurut berita itu alasan pengunduran diri Wulf terkait dengan hubungan Pribadinya dengan Groeneworld, seorang seorang produser film. Untuk ukuran Indonesia, hubungan itu sebetulnya dapat dianggap sepele. Yaitu menyangkut biaya peginapan Sang presiden di sebuh hotel mewah yang dibayari oleh sang produser. Itu pun terjadi pada tahun 2007, ketika Wulf masih menjabat Gubernur Lower Saxony. Namun, bagi Jerman, kejadian itu ternyata dinilai sangat memalukan. Seorang politikus sekelas pemimpin Provinsi, tak boleh menerima gratifikasi.
Hal lain yang dianggap memaksa Wulf mengundurkan diri ialah keterlibatannya pada urusan utang-piutang dengan seorang pebisnis kaya. Pebisnis kaya yang juga teman istri Wulf, Bettina, telah memberikan pinjaman kepada Wulf sebesar EUR 500.000 atau sekitar Rp 5,9 miliar untuk keperluan pribadi.Peristiwa ini pun terjadi tahun 2008, saat beliau menjabat Gubernur Lower Saxony. Namun, Jerman toh menilainya sebagai sebuah skandal yang tak patut dilakukan oleh seorang pejabat negara.
Belum tentu Bersalah
Perbincangan publik Jerman atas kedua peristiwa itu cukup gencar. Mirip dengan pembicaraan korupsi di Tanah Air yang terus-menerus dibahas oleh Media. Orang yang terlibat, tidak tanggung-tanggung pula. Selain pejabat publik, banyak yang menduduki posisi kunci dalam Partai Demokrat. Bedanya, kasus Wulf belum disidangkan dan belum tentu dia bersalah. Tapi dengan kesadaran sendiri ia mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Di Indonesia, tidak demikian. Walaupun koruptor sudah dinyatakan bersalah, divonis, namun banyak di antaranya masih merasa diri bersih. Beberapa Bupati yang divonis misalnya tetap ikut Pikada, bahkan menang dan dlantik untuk periode berikutnya.
Pemerintah Jerman sendiri belum memutuskan tindakan hukum apa yang dikenakan kepada Wulf atas skandal-skandal tersebut. Namun Wulf tidak menunggu itu. Dengan perbicangan tak sedap atas dirinya sudah cukup baginya untuk memvonis dirinya sendiri dengan mengundurkan diri dari jabatan Presiden.
Pengunduran diri tersebut, ungkap Wulf, semata-mata didorong oleh keinginanya untuk membuktikan bahwa dirinya tak bersalah. “Saya selalu betindak sesuai dengan koridor hukum yang berlaku, apa pun jabatan saya. Saya memang tak luput dari kesalahan, tetapi saya selalu jujur,” tegasnya kepada pers.
Dari sikap ini nampak bahwa Wulf lebih mementingkan rakyat dari pada jabatan. Ia sadar bahwa jabatan sebagai Presiden bukanlah milik Pribadi yang harus dipertahankan untuk bersenang-senang dengan menikmati fasilitas negara. Wulf memegang teguh prinsip bahwa jabatan Presiden tidak bermakna apa-apa jika tak memberikan rasa nyaman bagi rakyat. Pada titik ini, nampak bahwa Wulf sebagai sarjana hukum tidak menempatkan hukum sebagai kriteria nilai dirinya. Tetapi nilai moral. Maka, sekalipun belum dinyatakan salah menurut ukuran hukum, Wulf mengadili dirinya sendiri dengan pengadilan moral yang diyakininya itu.
Indonesia Kebalikannya
Dibandingkan dengan Indonesia, apa yang dilakukan oleh Wulf, adalah kebalikannya. Indonesia yang dikenal sebagai negara sangat agamis dengan penduduknya terkenal taat beragama, justru terus memfasilitasi para pejabat publik untuk menginjak-injak hukum dan nilai-nilai moral. Banyak Bupati dan Walikota yang sudah pernah dihukum penjara karena kasus korupsi, ternyata dilantik lagi menjadi Bupati atau Walikota setelah menang pada Pilkada. Anggota legislatif di Daerah juga begitu.
Yang terus menggemaskan hati publik belakangan adalah kasus yang melibatkan banyak elite Partai Demokrat dan keluarga pejabat tinggi dan penerima uang dari PT Adhi Karya terkait kasus dugaan suap pembangunan sport center Hambalang, Jawa Barat. Juga pada kasus Wisma Atlet SEA Games di Palembang. Presiden SBY sendiri telah mengetahui hal itu, ungkap penasehat hukum Muhammad Nazarrudin dalam eksepsinya di pengadilan Tipikor, Jakarta (Suara Pembaruan, 07.12.2011).
“Bapak SBY yang memimpin rapat di Cikeas tidak melakukan tindakan apapun, baik sanksi yang berlaku di Partai Demokrat maupun laporan pidana sesuai perundang-undangan”, tulis penasehat Hukum Nazarrudin. Padahal, semua besaran-besaran uang yang telah diterima oleh oknum atau pimpinan atau pengurus partai atau anggota DPR dan pejabat-pejabat negara yang menerima aliran dana dari PT Adhi Karya dalam kaitannya dengan Proyek Hambalang dan Kongres Partai Demokrat di Bandung, Mei 2010, sudah dilaporkan Nazarrudian, katamya.
Dari sisi ketekunan beragama, Indonesia tidaklah kalah dengan Jerman. Konon kabarnya, masyarakat di Negara berjuluk Panzer itu makin sekuler. Anak-anak mudanya terkesan malas beribadah. Pada kebaktian minggu, gedung-gedung gereja kebanyak diisi orang-orang tua. Hal ini bertolak belakang dengan di Indonesia, bukan?
SBY sendiri tampak lebih taat beribadah. Penampilannya juga kalem dan berwibawa seakan menyimbolkan betapa besar nilai dirinya sebagai pribadi dan Presiden RI. Kampanye, “Katakan Tidak kepada Korupsi” yang menghiasi seluruh layar kaca TV dan Media Cetak menjelang Pilpres tahun 2009 seakan makin mengukuhkan citra dirinya itu.
Pertanyaannya, apakah citra baik sudah cukup, sementara masyarakat terus-menerus tidak nyaman? Apakah pernah terlintas dalam pikiran SBY untuk menempuh jalan yang ditempuh Wulf? Beranikah Presiden SBY memertaruhkan citra dirinya demi rakyat seperti yang ditempuh WULF, atau malahan terus memertaruhkan rakyat demi sebuah citra diri? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H