Atas kasus penyerangan di Gereja Santa Lidwina, Bedog, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Sleman Yogyakarta oleh Suliono, pemuda asal Banyuwangi, Jawa timur, Â yang disebut berstatus mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Magelang, Fadli Zon dan Amien Rais ternyata angkat bicara juga. Kali ini nada bicaranya tampak beda. Lebih menyejukkan dan menangkan hati. Keduanya menyarankan agar anggota masyarakat tenang. Jangan terpancing emosi. Percayakan kepada Polisi.
Pernyataan itu sama dengan para tokoh nasionalis yang selalu berjuang memertahankan kemajemukan dalam NKRI. Hanya saja ada sedikit kekhasan amien Rais dalam melihat kejadian tersebut. Dikatakannya, ada kekuatan siluman yang tak kelihatan sedang merongrong bangsa ini. Tampaknya ingin mengadu (domba) umat beragama supaya Indonesia ini hancur, katanya kepada media saat dimintai tanggapannya atas kejadian tersebut.
Oleh sebab itu, Amien meminta masyarakat tetap tenang. Kasus itu Kita serahkan ke polisi, penegak hukum kita. Percayakan kepada mereka. "Saya yakin pak polisi kita sanggup menyelesaikan dengan cepat apa yang terjadi sekarang ini," kata Amien dalam nada yang sama dengan Fadli Zon.
Sebenarnya, pernyataan Amien itu sedikit lucu. Di satu sisi ia bilang ada kekuatan siluman yang tak kelihatan. Tapi di sisi lain, ia malah sudah tahu adanya pihak ketiga di luar Suliono, kekuatan siluman, walaupun mungkin sekedar spekulasi. Tapi tidak apa-apa. Itu bukan soal pokok. Yang pokok adalah nada suaranya yang menyejukkan. Ia tidak mau kalau bangsa ini hancur. Ia mau keutuhan. Fadli juga begitu. Jadi, tepatlah kalau dengan pernyataan itu Fadli dan Amien Rais perlu diberi simbol jempol.
Generalisasi Menyesatkan
Yang mengherankan, masih banyak yang melihat penyerangan yang dilakukan Suliono sebagai upaya mengadu domba para penganut agama. Ada kekuatiran bahwa gara-gara ulah Suliono itu para penganut Katolik akan melakukan pembalasan. Padahal, sampai sejauh ini belum ada pernyataan dari Suliono yang menunjukkan bahwa ia bertindak kriminal atas anjuran dari para penganut agama yang sama dengannya.
Bahwa hal itu berpotensi menimbulkan konflik antar penganut agama, tentu mungkin. Banyak kemungkinan bisa terjadi. Terlebih-lebih bila ada provokator yang hendak memanfaatkan situasi demi kepentingannya sendiri atau kepentingan kelompoknya.
Namun, perlu disadari bahwa rakyat kita pada umumnya sudah mulai sadar dan mulai kritis untuk membedakan ulah satu orang, oknum, yang kerap mengatasnamakan agama dengan tindakan lembaga agama. Ikut sertanya warga sekitar penganut Islam untuk memberiskan gereja menunjukkan kesadaran bahwa apa yang dilakukan Suliono bukanlah tindakan Islam secara lembagawi.Â
Bahwa Suliono berlatar belakang Islam tidak berarti kelakuannya itu mewakili doktrin Islam atau sikap seluruh umat Islam. Suliono menyerang penganut Katolik di Gereja Santa Lidwina, Sleman, tidak berarti karena ia disuruh oleh para pimpinan agama Islam. Mungkin saja ada satu dua orang atau kelompok dalam kalangan Islam yang setuju dengan tidanakan Suliono, tetapi itu tidak bisa dijadikan alasan oleh siapa pun, termasuk umat Katolik atau umat agama apa pun, untuk menggeneralisasi sebagai konflik agama atau konflik antar umat beragama, antar Katolik dan Islam.
Mengangkat tindakan Suliono menjadi konflik antar umat beragama hanya menunjukkan bahwa nalar kita makin jongkok. Sama sekali tidak masuk akal sehat. Tidak ada nalarnya.
Cara berpikir yang begituan sama dengan menggeneralisasi tindakan seekor kucing yang mencuri ikan di atas meja makan tuannya sebagai tindakan seluruh kucing. Akibatnya bisa fatal. Si tuan bisa saja menghajar setiap kucing yang ditemuinya yang sebetulnya tidak tahu menahu ulah kucing si pencuri ikan.