Pelepasan Bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan puluhan balon dalam acara Reuni Akbar Alumni 212 pada 2/12/2017, bukan sekedar hiasan acara reuni. Ini sangat serius. Merupakan simbol untuk mendeklarasikan diri di hadapan bangsa dan negara.
Selain menyatakan diri tetap eksist, kendati sudah dibubarkan, mereka yang menamakan diri alumni 212 dari berbagai ormas Islam yang sehati sepikir dengan HTI itu terang-terangan unjuk kekuatan kepada bangsa dan negara.
Di setiap aksi selama ini, mereka memang selalu menyebutkan perjuangannya demi Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Namun, jangan dikira bahwa Pancasila, UUD 1945, dan NKRI yang mereka maksud sama dengan apa yang telah ditetapkan secara hukum dalam konstitusi UUD 1945.
Sebelumnya, ketua Umum MUI, Ma'ruf Amin telah mengingatkan bahwa, "Aksi 212 itu sudah selesai. Masalah yang diusung oleh 212 sudah selesai, karena itu tidak perlu lagi menghidup-hidupi 212. Lebih baik acara seperti ini, mengutuhkan umat, bangsa, dan mengajak mempererat persatuan." Namun, apa yang dikatakan Ma'ruf Amin mereka anggap angin lalu. Mereka tak peduli.
Sepertinya mereka sudah merasa diri sebagai sebuah kekuatan yang tak bisa lagi diatur-atur oleh Ormas Islam besar seperti NU dan Muhammdiyah, maupun MUI. Oleh sebab itu, mereka berani mendeklarasikan diri di hadapan publik, bangsa, dan negara. Mereka yakin bahwa organisasi mereka sudah sangat kuat. Mereka harus diperhitungkan. Sebab mereka merasa telah miliki banyak hal, baik dari segi jumlah personal, para tokoh yang mendukung, maupun dana yang diperlukan.
Tidak Segaris dengan Pemerintah
Seruan-seruan mereka untuk memersatukan umat Islam, seruan agar pemerintah menerbitkan Perda-Perda Syariah, agar pribumi menjadi tuan di atas tanah air sendiri, dan bukannya seruan menyatukan bangsa yang majemuk guna menghadapi segala permasalahan bangsa dan negara, merupakan sinyal bahwa sasaran mereka tidak segaris dengan apa yang diperjuangkan pemerintah saat ini.
Menyatukan umat Islam tentu saja tidak salah. Juga tidak ada larangan. Bersatu itu baik. Di masa pemerintahannya, motto SBY juga begitu. Bersama (baca: bersatu) kita bisa". Pada masa pemerintahannya, Presiden pertama RI, Ir. Sukarno juga kerap menyerukan, "Bersatu kita teguh bercerai kita rubuh".
Namun, konteks maupun jiwa kata "bersama", "bersatu" ala SBY dan Sukarno beda. Yang mereka maksud adalah bersatunya sikap dan tekad seluruh anak-anak bangsa yang majemuk untuk memerjuangkan kepentingan bersama, tanpa dibumbui agama. Mereka menyerukan kesatuan demi kepentingan seluruh rakyat.
Menyatukan Islam untuk kepentingan sebagian umat Islam dengan mewacanakan penerbitan peraturan daerah syariah jelas di luar bingkai pemikiran SBY, Sukarno, Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, maupun pemerintahan Jokowi. Juga berada di luar bingkai perjuangan organisasi terbesar islam seperti NU dalam membangun bangsa dan negara. Tetapi, persatuan Islam yang hendak menegasikan semua orang di luar konteks Islam yang mereka pahami.
Lebih janggal lagi, menyerukan jargon pribumi menjadi tuan atas Tanah Air sendiri seolah mengatakan bahwa pemerintahan yang ada saat ini keliru. Dianggap telah meminggirkan penduduk pribumi menjadi budak penduduk dan penguasa asing. Oleh sebab itu, mereka mengajak warga negara, khususnya penganut Islam untuk bersatu melakukan perlawanan terhadap yang mereka anggap asing.