Hal kedua, ialah anggapan bahwa penganut enam agama (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu) lebih utama dari penganut aliran-aliran kepercayaan perlu segera dihilangkan dalam pikiran para pejabat negara, maupun para pemimpin agama. Sebab di depan konstitusi, negara, dan hukum, semua warga negara setara tanpa embel-embel unsur suku, antar golongan, ras, dan agama (SARA).
Perlu disadari bahwa agama, aliran kepercayaan, atau apa pun namanya, hanyalah suatu sistem atau alat atau cara bagi manusia untuk mengenal Tuhan dan beribadat kepada-Nya menurut sistem itu. Cara manusia mengenal Tuhan tidak harus sama. Boleh banyak cara asalkan tidak bertentangan dengan konstitusi.
Persoalannya, pemahaman bangsa kita tentang sistem itu terlanjur dibatasi. Cara mengenal Tuhan seolah hanya mungkin dalam enam agama. Itu pun semua agama impor. Dalam kenyataannya, cara manusia mengenal masih banyak. Di berbagai belahan dunia masih dapat disaksikan berbagai cara manusia mengenal Tuhan, baik yang disebut agama, maupun bukan, menurut versi orang beragama.
Di Indonesia sendiri menurut data Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017 ada 187 organisasi penghayat kepercayaan yang terdaftar dengan penganut setidaknya 12 juta orang. Semua organisasi itu memiliki titik persamaan dengan enam agama yang kita kenal. Merupakan cara penganutnya untuk mengenal Tuhan dan berbakti kepada-Nya. Kenyataan inilah yang harus diakui dan dihargai dalam melayani warga negara.
Ketiga, kedudukan agama sebagai alat mengenal Tuhan tidak lebih penting dari pada manusia. Jangan hanya gara-gara agama manusia dikorbankan. Ingat, agama itu hadir untuk kepentingan manusia, bukan sebaliknya. Agama atau apa pun namanya hanya ada dalam masyarakat manusia. Tanpa manusia, agama apa pun otomatis punah. Namun, meskipun semua agama punah, atau semua manusia tak menganut agama apa pun, spesies manusia tetap eksist.
Dari situ jelas bahwa dalam urusan administrasi, kepentingan manusia haruslah menjadi pertimbangan utama. Para pejabat dan petugas administrasi jangan membiarkan dirinya dikungkung oleh keyakinan agamanya dalam urusan administrasi warga negara yang berbeda agama dengannya. Konteks bernegara jangan dicampur-adukan dengan konteks beragama atau berkepercayaan kepada Tuhan.
Para pejabat negara jangan mengambil alih posisi Tuhan untuk menilai benar tidaknya agama orang lain yang berbeda dengannya. Itu urusan Tuhan, bukan urusan pejabat negara. Yang perlu ialah: pertama, Â para pejabat menjalankan tugas menurut ketentuan hukum. Pemimpin agama dan penghayat kepercayaan membina penganutnya agar lebih taat dan beriman kepada Tuhan yang diyakini; Kedua, bersama-sama membangun komitmen untuk memerjuangkan pemenuhan hak-hak setiap warga negara secara adil berdasarkan ketentuan konstitusi dengan merubuhkan tembok diskriminasi yang telah lama merasuk pikiran dan dunia hukum. Inilah sesungguhnya misi keputusan MK tersebut. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H