Prestasi kerja KPK dalam bulan September ini sangat menggembirakan. Di saat mereka terus disudutkan oleh Pansus hak angket DPR, operasi tangkap tangan (OTT) para pejabat "berpangkat" koruptor makin meningkat. KPK tengah mempraktekkan makna peribahasa, "anjing menggonggong, khafilah tetap berlalu".
Seolah berkata kepada Pansus dan DPR, "silakan omong banyak, mencemooh, kami tak peduli. Kami mau melaksanakan tugas kami menangkap para pencuri uang rakyat. Sekarang, kami tangkap para kepala daerah dan beberapa pejabat pencuri sebelum menghilangkan jejak. Sebentar lagi, kalau bukti sudah cukup, akan tiba giliran kalian anggota Pansus dan DPR yang banyak omong."
Bagi saya, jika KPK berkata begitu, sangat beralasan. Penangkapan beberapa kepala daerah lewat OTT secara beruntun pada September 2017 merupakan bukti yang tak terbantahkan. Sampai bulan September 2017, lewat OTT ada setidaknya lima kepala daerah dan beberapa pejabat lain, termasuk penegak hukum yang diciduk KPK karena korupsi. Pada 2016, ada 10 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. Secara keseluruhan, sejak 2004 hingga Juni 2017, data statistik KPK menyebutkan, ada 78 kepala derah yang berurusan dengan KPK. Rinciannya, 18 orang gubernur dan 60 orang wali kota atau bupati dan wakilnya (Kompas.com).
Di antaranya yang terjaring OTT ialah Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti, Bupati Pamekasan Achmad Syafii, Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno, Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen. dan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Aryadi, serta Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pamekasan, Madura terjaring OTT bersama bupati, dua pegawai di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang salah satunya adalah panitera pengganti, dan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Dirjen Hubla), Antonius Tonny Budiono alias ATB. Ini belum termasuk Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari yang barusan ditetapkan sebagai tersangka menerima suap dan gratifikasi terkait izin tambang.
Yang membuat publik tertawa ialah tertangkapnya pimpinan DPRD Kota Banjarmasin, Iwan Rusmali, kader Golkar bersama empat orang lainnya dalam OTT saat Presiden Jokowi berada di Kalsel dalam rangka kunjungan kerja 15 September 2017. Sebagai anggota dewan, semestinya turut menyibukkan diri untuk mengurus kedatangan Presiden Jokowi. Ehhh malahan dia memakai kesempatan itu untuk melakukan transaksi korupsi. Dia kira KPK bisa dikibuli dengan memanfaatkan situasi keramaian atas kedatangan presiden.
Inilah yang sangat diapresiasi oleh Jokowi terhadap KPK. "Ya memang kalau ada bukti, ada fakta-fakta hukum di situ, saya kira bagus," kata Jokowi saat melakukan peninjauan ke Pasar Baru, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Diberikannya apresiasi kepada KPK, bukan saja karena nilai uang yang dapat diselamatkan lewat OTT, tetapi tingginya presisi deteksi mereka atas gerak gerik para pencuri itu dengan berbagai modus dan pada saat mereka tengah digoyang oleh Pansus hak angket DPR. Kalau saja mereka terpengaruh dari rongrongan Pansus, bukan tidak mungkin pekerjaan mereka terganggu dan para koruptor akan bertepuk tangan.
Pembohongan publik?
Prestasi KPK tersebut ternyata dinilai terbalik oleh Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah. Bagi dia, apa yang dilakukan KPK dengan OTT merupakan skandal yang menipu rakyat paling besar di Indonesia. Bukan hanya tak berdasar, ilegal, tetapi bertentangan dengan undang-undang dan hukum di Indonesia, tulis Fahri di akun twitternya sebagaimana diberitakan media.
Karena membohongi publik, Fahri meminta para cendekiawan tidak ikut-ikutan menipu rakyat dengan membangun mitos tentang KPK.Â
Mengapa ia bisa sampai berpikir begitu? Ternyata alasan Fahri terletak pada istilah "tangkap tangan" dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang kerap dilakukan KPK. Pertama, ia berkilah bahwa dalam UU KPK, istilah "tertangkap tangan" tidak ada. Hanya ada dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Yang ada dalam UU KPK, katanya, hanya istilah "penangkapan" sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 20 KUHAP.