Pertemuan komisi III DPR RI dan KPK yang banyak disebut "rasa Pansus" menandakan kelabakan yang luar biasa anggota DPR menghadapi KPK. Persoalan sapaan saja dipermasalahkan. Tidak dipanggil yang terhormat atau yang mulia, Arteria Dahlan dari PDIP marah. Masinton Pasaribu juga begitu. Penjelasan Ketua KPK, Agus Rahardjo dibilang dongeng. Junimart Girsang lebih kacau lagi. Ketua KPK yang adalah hasil seleksi mereka sendiri dibilang tidak mampu menjadi ketua KPK.
Mau dipanggil yang terhormat, untuk apa? Orang terhormat tak perlu bilang "saya terhormat". Juga tak perlu menyuruh orang lain memanggilnya "bapak atau saudara yang terhormat". Seorang ayah di rumah tak perlu mengumumkan kepada anak-anaknya bahwa dia ayah. Caranya memosisikan diri, caranya bertutur kata, dan bertindak, secara otomatis membuat anak-anaknya memanggilnya ayah. Ia tak mengemis-ngemis dipanggil ayah seperti Arteria Dahlan.
Cara berpikir anggota DPR dari PDIP ini menggelikan sekali. Terlalu mengagungkan kulit luar, bukan isi. Terlalu memuja sebutan, bukan hakikat. Mereka kira kalau orang sudah memanggilnya yang terhormat atau yang mulia, maka dirinya otomatis terhormat dan mulia, ha ha.
Kegeraman Junimart Girsang atas pernyataan Ketua KPK Agus Rahardjo tentang obstruction of justice atau perbuatan melawan hukum, juga tak kalah menggelikan. Gara-gara pernyataan Agus yang menilai bahwa anggota pansus angket terhadap KPK bisa dijerat hukum jika terus menghalangi penyidikan kasus e-KTP, bicaranya merambat ke mana-mana.
Ia menuding Agus tak mampu menjadi ketua KPK. "Tidak seusai dengan kemampuan dan keahlian Pak Agus, bapak sebagai simbol dari KPK, tentu harus paham tentang apa yang disampaikan kepada publik, harus paham tentang nilai hukum, tentang dampak dari apa yang kita sampaikan. Mohon maaf kepada bapak ibu, ini harus saya sampaikan," kata Junimart di depan anggota Komisi III DPR dan pimpinan KPK di Gedung DPR (merdeka.com)
Bukan main! Agus Rahadjo di depan Junimart bukan cuma dipandang rendah, tapi direndahkan serendah-rendahnya dan sebodoh-bodohnya. Agus dianggapnya tidak tahu apa-apa tentang KPK dan posisinya sebagai ketua. Ia lupa bahwa Agus adalah hasil pilihan DPR sendiri berdasarkan seleksi ketat Panitia seleksi pimpinan KPK selama enam bulan sejak Juni 2015.
Ia mengira bahwa Agus adalah anak kemarin sore yang tak tahu menahu apa yang boleh dan tak boleh, apa itu nilai hukum, serta dampak pernyataannya kepada publik. Junimart  seolah berkata kepada publik bahwa seleksi yang mereka lakukan pada tahun 2015 salah. Harapan agar pimpinan KPK yang mereka pilih bisa ditekuk oleh DPR ternyata keliru.
Belum puas merendahkan Agus, Junimart juga menyoal proses OTT. Dia bilang apa yang dilakukan KPK tidak sesuai dengan KUHP. Menurutnya, seharusnya berita acara pemeriksaan diutamakan ketimbang SOP. Dia  memasalahkan tingkatan para penyidik KPK seolah jabatan penyelidik tidak bisa sekaligus menjadi penyidik.
Dia memasalahkan jabatan JPU dan penyidik polisi. Dia bilang kalau sudah di KPK, maka jabatannya di lembaga asal harus dicabut. Dia juga memasalahkan Jubir KPK Febri Diansyah. Dia bilang Febri tak usah banyak bicara. Aneh 'kan? Namanya saja juru bicara. Kerjanya ya bicara. Kalau dilarang bicara banyak untuk menjelaskan kebijakan dan keputusan KPK, lalu kerjanya apa? Disuruh ngopi di DPR? Weleh weleh.
Pelampiasan Rasa Putus Asa
Apa yang dikemukakan di atas hanya sekedar contoh dari sikap sekian anggota DPR RI yang mengumbar rasa cemasnya kepada KPK. Mereka memang menampilkan diri seperti berani, garang, tak bersalah, suci, tapi yang ada di balik itu lebih banyak rasa takut yang luar biasa atas ketegasan KPK dalam melaksanakan tugasnya. Tampaknya tidak salah kalau dikatakan bahwa sikap tersebut tak lebih dari upaya pelampiasan rasa putus asa mereka karena pimpinan KPK tak mau diajak kompromi.