[caption caption="illustrasi dicopy dari http://www.bisnismoo.com"][/caption]
Catatan revisi:
Semula tulisan ini berjudul 12 Alasan Menolak Dewan Pengawas KPK. Setelah saya baca ulang, ternyata judul ini belum tepat menggambarkan isi. Judulnya terlalu besar bagi isi yang dikemukakan. Untuk itu, saya memutuskan mengganti judul seperti tertera di atas. Atas ketidaknyamanan pembaca, saya mohon maaf.
____________
Tertangkapnya Andri Tristianto Sutrisna bersama seorang pengusaha Ichsan Suaidi, dan pengacara Awang Lazuardi Embat atas sangkaan jual beli kesempatan berupa penundaan penyerahan salinan putusan kasasi ke Pengadilan Negeri Mataram, merupakan bukti nyata tidak diperlukannya dewan pengawas dengan kewenangan memberi izin penyadapan dan penyitaan kepada KPK.
Kalau saja UU KPK sudah direvisi, dan di dalamnya ada dewan pengawas dengan kewenangan seperti itu, hampir bisa dipastikan bahwa ketiga anggota mafia di atas lolos tanpa jejak. Sebelum ditangkap, semua gerak gerik KPK sangat mungkin sudah mereka ketahui. Kok bisa? Dengan ketentuan izin penyadapan, prosedur wajib yang ditempuh sampai dilakukannya penyadapan bukan main panjangnya. Paling tidak ada 12 tahap, yaitu:
- Setelah KPK memiliki bukti permulaan, ia membuat surat permohonan izin,
- Surat izin disampaikan kepada dewan pengawas,
- Dewan pengawas menerima surat,
- Dewan pengawas mengundang angota dewan pengawas rapat,
- Rapat dewan pengawas membahas surat dari KPK,
- Dewan pengawas mengambil keputusan menyetujui atau tidak menyetujui.
- Dalam hal permohonan KPK disetujui, dewan pengawas membuat surat persetujuan,
- Surat persetujuan disampaikan kepada KPK,
- KPK menerima surat, kemudian melakukan koordinasi internal,
- KPK Menyusun strategi penyadapan,
- KPK Menentukan petugas penyadap dan langsung melaksanakan tugasnya,
- Dalam kurun waktu tertentu, KPK mengalisis hasil sadapan pembicaraan orang yang disasar, dan kalau mereka yakin baru bergerak melakukan penangkapan.
Semua tahapan itu pasti butuh waktu. Sehari? Pasti mustahil. Mungkin berhari-hari atau bermingu-minggu. Soalnya, kasus yang dihadapi KPK bukan hanya satu dan pekerjaan dewan pengawas bukan hanya mengurus permohonan izin.
Memang bisa saja semua komunikasi dilakukan dengan menggunakan jasa telekomunikasi dengan perangkat telepon seluler atau smart phone sehingga waktunya lebih pendek. Tapi komunikasi itu juga rawan disadap lewat operator penyedia layanan. Apalagi karena dalam lembaga formal, semua urusan harus dengan surat formal. Jadi, butuh waktu juga. Belum lagi adanya peluang kebocoran yang bisa disebabkan oleh faktor kelalaian, atau disengaja oleh orang yang juga berotak mafia. Logikanya, makin banyak orang yang terlibat dalam urusan penyadapan, makin besar pula peluang bocor dan dibocorkan.
Persoalannya, adakah yang bisa menjamin bahwa anggota dewan pengawas kelak hanya tahu dan hanya mau berjalan lurus tanpa “tolah-toleh”? Di atas kertas mungkin: ya! Tapi, di dunia nyata who knows?
Kendati Menkopohukam, Luhut Binsar Panjaitan, menyatakan bahwa orang yang ditunjuk menjadi anggota pengawas kelak diambil dari kalangan senior yang negarawan, tetap saja bukan jaminan. Mereka toh masih manusia juga. Bukan malaikat atau robot. Karena manusia, mereka bisa digoda atau membiarkan diri digoda oleh hal-hal duniawi sehingga bisa menjadi pembocor rencana KPK.
Itulah yang diwanti-wanti oleh Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Bagi beliau, penyadapan yang dilakukan KPK, yang harus seizin dewan pengawas, rentan menimbulkan penyelewengan dan membuat proses lebih birokratis.