Hal yang paling dasar dalam martabat manusia ialah keberadaannya sebagai makhluk yang bereksistensi. Eksistensinya itu adalah suatu proses menjadi, proses membentuk diri sesempurna mungkin. Itulah sebabnya manusia diberi kehendak bebas oleh Sang Pencipta. Hak ini dimaksudkan agar manusia dapat memilih dan menentukan berbagai hal baik bagi kehidupannya.
Bersamaan dengan proses bereksistensi itu, manusia diberi tugas mengelola kehidupan dan alam untuk memenuhi kebutuhan dan menyempurnakan hidupnya sebagai respon atas mandat kehidupan yang diberikan sang Pencipta.
Benda tidak begitu. Tidak bereksistensi dan tidak memiliki kehendak bebas sebagaimana halnya manusia. Benda adalah sesuatu yang sudah jadi. Fungsinya sekedar alat bagi manusia untuk mengelola kehidupan, antara lain dalam upaya memenuhi kebutuhan dan menyempurnakan kehidupannya.
Manusia bukan milik sesama manusia
Kekeliruan kedua terkait erat dengan kekeliruan pertama. Hal ini bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan, semua menusia sama. Nilainya juga sama di hadapan Tuhan sebagai Pencipta.
Itu artinya tidak boleh ada yang mengklaim diri lebih tinggi dan menganggap yang lain lebih rendah. Dengan begitu, anggapan bahwa individu tertentu menjadi pemilik individu lain, seperti halnya orang tua terhadap anak, adalah keliru.
Kenyataan bahwa anak lahir dari rahim ibunya, sebagai buah cinta dari kedua orang tuanya, tidak menunjuk pada pengertian kepemilikan. Kelahiran itu adalah proses reproduksi manusiawi untuk memertahankan spesis manusia di bumi.
Bahwa orang tua bertanggung jawab memenuhi kebutuhan anak, mendidik dan membesarkannya juga tidak menunjuk pada pengertian kepemilikan. Tanggung jawab itu lebih bersifat rantai tanggung jawab setiap generasi dalam rangka melanggengkan spesis manusia tadi. Pada saatnya nanti, manakala si anaka sudah dewasa, menikah, kemudian memiliki anak, maka hal yang sama menjadi tanggung jawabnya juga.
Tampaknya inilah yang dimaksudkan Rendra dalam puisinya berjudul "Syair Akhir Pekan - Makna Sebuah Titipan". Dalam puisinya itu, Rendra berkata:
"Seringkali aku berkata, ketika semua orang memuji milikku. Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan; Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya; Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya; Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya; Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya.
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya: Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?"
Khusunya mengenai anak, puisi Rendra itu sangat mengena. Ia mengingatkan bahwa posisi anak dalam keluarga adalah titipan Tuhan. Mengapa dititip? Tidak lain, supaya dirawat, dibesarkan, dan dididik sampai menjadi manusia mandiri. Itulah yang dikehendaki Sang Penitip, Tuhan, kepada orang tua.
Dengan demikian, keliru pula kalau ada orang tua yang menuntut anaknya membalas budi atas jasa-jasanya. Balas jasa itu bukan urusan anak. Tapi urusan Sang Penitip. Manakala orang tua sudah memenuhi tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan Sang Penitip, berarti urusan orang tua selesai.