Hampir dapat dipastikan, tak seorang pun orang tua di dunia ini yang tidak sayang pada anak sendiri. Saking sayangnya, banyak yang rela menderita, bekerja sekeras-kerasnya demi anak. Bahkan ada yang sampai nekat melakukan tindakan melawan hukum seperti mencuri atau korupsi demi anak.
Namun, ada hal lain yang lebih fatal. Ada sikap dasar yang barangkali tidak disadari dalam memandang dan memberlakukan anak sendiri. Sikap fatal itu termanifestasikan dalam kata-kata ketika berbicara. Dengan alasan kasih sayang, orang tua kerap mengidentifikasikan anaknya sebagai harta yang tak ternilai.
Ketika dua tiga orang ibu atau ayah berbicara tentang anak, terminologi "harta yang ternilai" untuk melukiskan betapa besar dan dalamnya kasih sayang terhadap anak nyaris selalu muncul. Ini terjadi di semua kalangan, entah kaya, pas-pasan, atau miskin. Tak terkecuali yang berpendidikan tinggi. Semoga pembaca Kompasiana tidak termasuk di dalamnya.
Ambil contoh obrolan di kalangan keluarga pas-pasan atau miskin. Yang satu bilang, sekalipun saya menderita, kebutuhan anak saya harus saya penuhi. Dia adalah harta saya yang tak ternilai dalam hidup ini.
Yang lain bilang, ya, saya pun begitu. Bayangkan saja, dua kali Hari Raya terakhir saya tidak membeli pakaian baru. Demi anak, kami rela hanya memakai pakaian lama. Dua anak kami, adalah satu-satunya harta kami.
Di kalangan orang kaya juga begitu. Pengungkapannya memang lain, tapi esensinya sama. Seorang pengusaha kaya misalnya bilang "Saya rela membayar biaya sebesar apa pun asalkan anak saya diterima di sekolah ini. Apa artinya usaha saya kalau anak saya hanya sekolah di sekolah biasa. Dia adalah harta saya yang melebihi nilai semua usaha saya."
Manusia tidak sama dengan benda
Pertanyaannya, apa dan di mana letak masalahnya? Setidaknya ada dua hal. Pertama, menyetarakan anak dengan benda. Kedua, memahami anak sebagai milik pribadi maupun keluarga.
Kekeliruan pertama mengacu pada pandangan bahwa anak adalah manusia. Karena itu, manusia tidak pernah setara atau disetarakan dengan benda. Saking tingginya nilai manusia, ia tidak pernah bisa disandingkan dengan benda semahal apa pun. Itulah sebabnya manusia, anak, tidak boleh diperjual-belikan (Human Trafficking) dengan alasan apa pun.
Manusia memiliki hak-hak hidup, sedangkan benda tidak. Hak hidup manusia bukan diberikan oleh siapa pun, termasuk orang tuanya, melainkan muncul bersamaan dengan kelahirannya di dunia. Hak-hak tersebut sama persis dengan hak-hak hidup orang tuanya.
Menyamakan anak dengan benda berarti merendahkan martabat manusia. Meniadakan eksistensinya sebagai makhluk yang ---menurut keyakinan Kristen--- disebut segambar dengan Allah.