Ada 15 orang saksi dan dua ahli yang dihadirkan Kuasa Hukum Prabowo-Sandi pada sidang PHPU Pilpres 2019 di MK. Dua di antaranya menarik dicermati, yakni saksi Agus Muhammad Maksum dan Idham Amiruddin.
Kedua saksi tersebut mengemukakan data pemilih pada Pemilu 2019 bermasalah. Banyak data di DPT invalid, KK manipulatif, NIK kecamatan siluman, NIK rekayasa, pemilih ganda, dan pemilih di bawah umur.
Menurut Agus, ada 17,5 juta NIK palsu, 117.333 KK manipulatif, dan 18,8 juta data invalid di lima provinsi. Dari 17,5 juta NIK palsu itu terdapat 9,8 juta pemilih yang tanggal lahirnya sama, yakni pada 1 Juli. Kemudian, ada 5,3 juta yang lahir pada 31 Desember dan ada 2,3 juta yang lahir pada 1 Januari.
Bagi dia, pemilih bertanggal lahir 1 Juli itu bermasalah karena jumlahnya 20 kali lipat dari data normal. Mestinya dua kali lipat saja. Itulah yang didukung oleh ahli statistik yang dia minta konfirmasi. Hal ini didasarkan pada perhitungan 195 juta pemilih dibagi 365 hari sehingga yang wajar pemilih yang lahir tanggal 1 Juli menurutnya hanya sebanyak 520.000 saja. Ia bahkan mengatakan bahwa 17,5 juta itu fiktif. Tidak ada dalam dunia nyata.
Ketika hal ini diuji oleh salah satu Hakim MK, I Dewa Gede Palguna, Agus sempat bingung. Ketika hakim mendesak rincian dan bukti 17,5 juta data yang disebutnya fiktif itu, Agus malah bilang tidak tahu. Akhirnya istilah fiktif diralatnya dan memakai kata tidak tahu.
Lebih parah lagi ketika Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih mempertanyakan barang bukti P.155 berupa dokumen terkait tuduhan 17,5 juta yang disebut fiktif oleh Agus. Tidak bisa ditunjukkan, karena memang tidak ada. Padahal ini sangat diperlukan guna memperkuat pernyataan Agus.
Dia menyebut bahwa di Makasar hanya ada enam TPS yang benar. Selebihnya salah semua. Namun, yang paling banyak, katanya, di Papua. Itu semua NIK siluman. Namun, ketika termohon menjelaskan kemungkinan adanya NIK dari daerah lain yang memilih di daerah tertentu karena pindah tempat pemilihan, ia juga mengakui kemungkinan itu.
Entah sadar entah tidak, jawaban itu justru menggugurkan pendapatnya tentang NIK yang dianggapnya harus sama di setiap daerah pemilihan. Argumentasinya tentang pemilih ganda dan pemilih di bawah umum juga tidak jelas.
Menembak KPU, yang kena Prabowo