Mencermati keadaan bangsa kita belakangan ini, saya jadi bertanya-tanya mengapa suasana politik sepertinya makin menjauh dari nyaman, rukun, dan sikap ramah seperti pernah diacungi jempol oleh dunia luar? Kubu-kubuan dan kelompok kian membelah diri. Orang-orangnya mirip singa yang mengaum-ngaum hendak mencari mangsa.
Apakah para politisi, pimpinan Parpol, pimpinan Ormas, tokoh agama, akademisi menyadari hal ini atau malah menganggapnya wajar? Apakah ini ciri khas, identitas, karakter dasar orang Indonesia?
Harap diingat, ini bukan kuis cepat tepat. Supaya tidak keliru, jangan cepat-cepat tekan bel atau tunjuk jari. Ini pertanyaan serius, mendasar, yang hanya bisa dijawab dengan perenungan yang jujur.
Mengapa? Karena menjadi orang Indonesia tidak cukup bermodalkan KTP atau sejumlah dokumen kewarganegaraan menurut ketentuan hukum. Ini bukan soal domisili, warna kulit, asal usul etnis atau sejumlah tampilan fisik. Ini semua hanya faktor pendukung. Sekedar bukti hukum.
Menjadi orang Indonesia berarti memiliki karakter dan kepribadian bangsa Indonesia. Karakter itu memang bukan "barang jadi" yang langsung melekat pada diri sejak lahir. Karakter Indonesia adalah "barang" yang dikejar, dibentuk dalam diri, ditransformasikan kepada anak sendiri, anak didik, bawahan, dan diperjuangkan bersama sepanjang hayat.
Selama dan dalam proses itulah akan tampak apakah saya, Anda, dan kita semua benar-benar Indonesia atau bukan. Itulah yang menjadi cermin yang memungkinkan kita melihat jati diri. Ia akan menunjukkan apakah kita Indonesia asli, yang berkamuflase, atau malah penumpang gelap.
Itulah alat saring pengenal diri dan orang sekitar. Keindonesiaan tidak tampak dari kerasnya teriakan tentang NKRI harga mati atau Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar. Juga sekedar banyaknya diskusi atau seminar ilmiah tentangnya dengan biaya berjuta-juta di berbagai kesempatan.
Kalau begitu apa yang lebih perlu? Mari kita cermati bersama-sama.
Jati diri Indonesia
Jika kita benar orang Indonesia, maka prasyarat utama ialah kita wajib menerima kenyataan bahwa bangsa Indonesia itu majemuk dalam berbagai aspek. Ini sudah final. Jangan diutak atik lagi. Jangan pernah ada di antara kita yang berpikir lebih berhak, lebih asli dari pada yang lain. Klaim suku, etnis, atau agama tertentu sebagai pemilik Indonesia sama sekali tidak relevan. Hanya membuat kita kembali ke situasi sebelum negara Indonesia didirikan.
Percayalah, persoalan itu sudah digumuli, direnungkan, dibahas cukup lama dari berbagai aspek oleh para pendiri negara. Dengan berbagai pertimbangan, mereka akhirnya tiba pada kesimpulan, keyakinan, dan tekad untuk menerima kemajemukan sebagai prasyarat mendirikan NKRI. Inilah yang disimbolkan dalam semboyan "Bhineka Tungal Ika".