Pada beberapa waktu belakangan ini, institusi legislatif yaitu DPR RI mengajukan inisiatif untuk melakukan revisi atas UU No.5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Salah satu point yang termuat dalam UU tersebut adalah pembentukan KASN.
KASN terdiri dari tujuh orang komisioner yang diangkat oleh Presiden dan berasal dari multi-profesi berdasarkan kapabilitas mereka. Melalui regulasi UU ASN, KASN memiliki kewenangan :
Mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi mulai dari pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan.
Mengawasi dan mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
Meminta informasi dari pegawai ASN dan masyarakat mengenai laporan pelanggaran norma dasar, kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
Memeriksa dokumen terkait pelanggaran norma dasar, kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN, dan
Meminta klarifikasi dan/atau dokumen yang diperlukan dari instansi Pemerintah untuk pemeriksaan laporan atas pelanggaran norma dasar, kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
Eksistensi KASN tidak lepas dari keinginan baik untuk menciptakan merit system dalam birokrasi Indonesia. Merit system sendiri berarti adalah penilaian kinerja aparatur sipil (pegawai negeri sipil) berdasarkan atas kinerja yang dihasilkan. Kelihatannya standar. Bukankah memang seharusnya dalam dunia kerja, baik di sektor publik atau privat, penilaian kinerja seorang staf/pegawai/karyawan harus berdasarkan kinerja? Â Inilah yang masih menjadi masalah dalam birokrasi kita.
Bagi mereka yang berada dalam sistem, tentunya akan menemukan bahwa penilaian kinerja ASN masih menjadi tanda tanya. Sebagai contoh :
- Penilaian unsur kehadiran/absensi masih mendapat proporsi besar. Baiklah, kita dapat memahami seperti ini: bagaimana mungkin bisa bekerja dengan baik jika malas melakukan presensi? Namun jika komponen ini proporsinya besar, tentunya lucu karena masih jamak ditemukan di banyak instansi mengenai ASN yang tertib absensi jam 7, tidak/kurang melakukan pekerjaan dan jam  4 sore absen pulang atau sering diistilahkan 704. Angka 0 disini artinya bahwa ada ASN yang selama durasi jam tersebut kerjanya tidak jelas atau malah bisa saja tidak melakukan aktivitas yang mendukung kontribusi kinerja instansi.
- Promosi jabatan karier dalam birokrasi masih menggunakan sistem karir tertutup (closed career system) dengan DUK (daftar urut kepangkatan) sebagai alasan utama dengan eksekusinya oleh Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan & Kepangkatan). Melalui DUK, artinya seorang ASN dengan jenjang pangkat senior akan memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk dipromosikan ketimbang ASN lain yang yunior, artinya unsur senioritas lebih dominan disini. Masalahnya kemudian, bagaimana dengan aspek kinerja seperti kepandaian/kapabilitas, inisiatif, kerja tim dan juga, integritas? Penulis kerap menemukan bahwa ASN yang dipromosikan adalah ASN yang kurang memiliki kredibilitas sementara ASN lain yang kredibel ditinggalkan karena kurang senior, sehingga DUK bukan lagi mencerminkan kepangkatan namun bisa juga diplesetkan menjadi Daftar Urut Kacang.
- Permasalahan integritas. Kasus suap jual beli jabatan yang diungkap KPK di Pemda Klaten, Jawa Tengah akhir Desember 2016 lalu hanyalah fenomena gunung es dari masih rentannya birokrasi dari praktek KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Â Dari data Korpri, hingga awal Desember 2016 sudah 17 Gubernur, 51 Bupati dan Walikota, 130 Pejabat eselon I sampai eselon III yang tersangkut perkara korupsi, belum termasuk kasus di Klaten (Presiden Jokowi Beberkan Jumlah Korupsi Birokrasi di Indonesia). Tentu saja kita jangan terpaku pada jumlah yang mungkin, masih terbilang kecil tersebut jika dibandingkan dengan belasan ribu formasi jabatan di internal ASN. Bayangkan jika level pejabat tingginya sudah terlibat, lalu bagaimana peluang keterlibatan staf di bawahnya?Begitu juga dengan indeks peringkat korupsi Indonesia yang masih nomor 90 dari 176 negara (Situs Trasnparency). Masih jauh sekali jika kita ingin mensejajarkan diri dengan Malaysia, Thailand apalagi Singapura dan kelompok negara Skandinavia yang rajin mendapat peringkat lima besar dari indeks persepsi korupsinya. Â
- Â
- Terobosan penting yang diinisiasi KASN adalah seleksi jabatan tinggi birokrasi secara  terbuka, mulai dari jabatan tinggi pratama (selevel eselon 2), jabatan tinggi madya (selevel eselon 1) dan jabatan tinggi utama (kepala lembaga pemerintah non-kementerian). Dengan sistem ini, pejabat birokrasi lintas instansi/wilayah/pihak swasta sekalipun memiliki peluang untuk menjabat di jabatan-jabatan tersebut dengan pihak KASN selaku pengawas (supervisor). Jika hanya diisi orang dalam terus, maka akan timbul peluang besar untuk membangun jejaring kekuasaan yang menguntungkan kroni-kroni pejabat. KASN sendiri juga tetap diperlukan mengingat untuk manajemen birokrasi, saat ini ada beberapa lembaga yang terlibat, sebut saja Kementerian Dalam Negeri, Kemenpan RB, Badan Kepegawaian Negara dan Lembaga Administrasi Negara yang masing-masing juga memiliki kewenangan terkait reformasi birokrasi namun kurang mampu melakukan eksekusi secara teknis seperti yang dilakukan KASN terkait penataan jabatan birokrasi.
- Jika kemudian KASN diminta untuk dihilangkan sebagaimana usulan dari DPR RI, melalui penghapusan pasal 42 UU no.5/2014 yang mengatur keberadaan KASN, maka bagaimana dengan kelanjutan seleksi jabatan terbuka? Siapa yang akan meneruskan, dan lebih jauh lagi, bagaimana kompetensinya mengingat empat instansi yang telah penulis sebutkan di atas adalah belum memiliki struktur dan kewenangan seperti KASN. Terlebih lagi, untuk permasalahan regulasi sendiri sistem kita masih centang perenang. Jika untuk birokrasi ada empat lembaga, maka contoh isu lain seperti sektor maritim ada lebih banyak lagi seperti Polri, TNI AL, Bea Cukai, Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Ditjen Imigrasi Kemenkumham dan Kementerian Kelautan & Perikanan (KKP). Mengurusi kewenangan dan regulasi yang centang perenang ini problematikanya jauh lebih rumit lagi dibandingkan dengan membangun merit system yang dikerjakan KASN. Harapannya kemudian, KASN harusnya diperkuat dan ditambah hingga ke wilayah lain, baik yang bersifat regional (mengampu beberapa provinsi) atau membangun kantor KASN di tiap provinsi.
- Kita harus ingat bahwa sudah terlalu lama birokrasi berada dalam sistem yang meninabobokan, yaitu sistem yang belum dapat dikatakan obyektif dan mampu membangun semangat kerja yang kompetitif karena yang terjadi adalah fenomena yang telah penulis kemukakan di atas. Meskipun kita juga harus akui bahwa telah ada perbaikan-perbaikan yang dilakukan dalam kerja reformasi birokrasi, namun masih jauh dari selesai sehingga perlu dilakukan upaya akselerasi/percepatan. Birokrasi sipil modern untuk membangun sistem pelayanan publik yang terbuka, adil dan terjangkau, menyesuaikan dengan dinamika kehidupan masyarakat modern yang semakin hari semakin kompleks. Jika kemudian birokrasi masih menganut nilai-nilai lama melalui sistem kerja yang berbasis presensi, berlandaskan senioritas dan kroniisme, lalu bagaimana birokrasi akan mampu beradaptasi dengan nilai-nilai modern yang mengedepankan kompetensi, transparansi dan akuntabilitas? Sudah pasti akan terjadi gegar budaya di dalam birokrasi itu sendiri.
- Eksistensi KASN, meskipun saat ini masih di level pusat, namun memberi harapan untuk terus mengawal reformasi birokrasi melalui terobosan-terobosan yang dilakukannya, seperti seleksi jabatan terbuka, karena dari sinilah merit system itu dapat terbangun. Maka, sudah barang tentu tidak bisa dianggap enteng. KASN sudah semestinya terus dipertahankan dan diperkuat untuk menjamin kontinuitas reformasi birokrasi sipil. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H