Pada bulan Januari 2017 ini, yang merupakan awal tahun, kita telah disodori dua fakta menyedihkan terkait tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan tinggi. Yang pertama adalah tewasnya satu taruna tingkat pertama Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), sekolah kedinasan yang berada di bawah Kementerian Perhubungan dan satu lagi adalah tewasnya tiga calon anggota baru Mapala Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta saat mengikuti pendidikan dasar Mapala. Untuk kasus pertama, polisi telah memiliki tersangka sementara untuk kasus kedua, hingga saat tulisan ini dibuat belum ada penetapan tersangka meskipun ada dugaan tindak kekerasan yang menimpa para korban.
Apapun yang terjadi, hal ini memperlihatkan sebuah kontradiksi dalam lingkungan pendidikan tinggi kita. Pada dekade awal 2000an, kita beberapa kali juga disodori fakta tewasnya beberapa praja di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Kasus di STIP juga bukan yang pertama kali ini terjadi.
Jika kita melihat kepada fungsi pendidikan tinggi sebagaimana yang diatur dalam UU no. 12/ 2012 tentang Pendidikan Tinggi, maka fungsi-fungsi tersebut adalah :
- Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
- Mengembangkan sivitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma perguruan tinggi
- Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora/kemanusiaan.
Dengan adanya ketiga fungsi di atas, maka perguruan tinggi harus melaksanakan aktivitas pembelajaran yang membangun kapabilitas intelektual dan kesadaran rasional peserta didik (mahasiswa) agar nantinya mereka dapat memiliki pengetahuan yang memadai tentang disiplin ilmu tertentu yang mereka geluti. Melalui penguasaan ilmu pengetahuan, para mahasiswa  diharapkan mampu untuk terjun ke dunia kerja setelah lulus.
Namun demikian, tentu saja sebagai seorang sarjana, yang dibutuhkan bukan hanya penguasaan ilmu pengetahuan an sich. Hal lain yang krusial adalah bagaimana seorang intelektual muda mampu untuk mengaplikasikan ilmunya, jadi bukan sekedar teori. Lainnnya adalah membangun kapabilitas sosial mahasiswa, yaitu bagaimana mahasiswa mampu untuk membangun komunikasi dan kolaborasi dengan sesama manusia dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya, baik sebagai mahasiswa maupun nantinya setelah lulus.
Kita harus ingat bahwa meskipun banyak ilmu diluar ilmu sosial, seperti ilmu teknik yang berhadapan dengan mesin, ilmu komputer yang berhadapan dengan perangkat komputer atauapun ilmu MIPA yang banyak berkutat di laboratorium, namun tentu saja mereka memiliki relasi kerja dan relasi lingkungan di masyarakat sehingga mereka juga harus memahami bagaimana berperilaku, berkomunikasi, menjaga etika dan juga, mampu memahami perbedaan antar manusia. Dengan kata lain : memiliki soft skill.
Disinilah kemudian fungsi unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang merupakan semacam wadah ekstra kurikuler bagi mahasiswa. Dengan adanya UKM, para mahasiswa yang memiliki kesamaan minat/hobi dapat bergabung dalam satu wadah untuk merencanakan, melaksanakan dan mengembangkan skema-skema kegiatan yang sesuai dengan misi UKM bersangkutan. Biasa terbagi ke dalam tiga kategori :
- Olahraga, contoh : basket, futsal, sepak bola, renang/selam, dll
- Kesenian : tari, teater, paduan suara, band, dll
- Minat khusus (diluar olahraga & seni) : pers mahasiswa, koperasi mahasiswa, resimen mahasiswa, mapala, pramuka, dll
UKM biasanya berada di bawah pembinaan wakil rektor bidang kemahasiswaan. Pembiayaan, perizinan dan pemantauan kegiatan UKM dilakukan oleh pihak kampus melalui struktur jabatan ini. Khusus bagi UKM yang banyak melakukan aktivitas luar ruang (outdoor) seperti mapala, menwa atau pramuka; maka pihak kampus harus melakukan pendalaman sebelum memberikan izin kegiatan. Pendalaman disini tidak hanya mengenai proposal, rencana anggaran dan kepanitiaan, namun juga mengenai kurikulum kegiatan, terutama jika judulnya adalah pendidikan dan pelatihan. Pihak kampus harus melakukan supervisi, mengenai kewajaran rencana kurikulum kegiatan yang diajukan.
Selain itu juga harus memastikan bahwa para panitia telah mengikuti kegiatan TfT (training for trainer), sehingga para pelatih dari mahasiswa senior memiliki pemahaman mengenai bagaimana harus melatih, bagaimana memahami batasan individu yang unik antara satu dengan lainnya, mempersiapkan rencana darurat bila ada peserta yang sakit/kecelakaan, menyusun rute evakuasi terdekat di lokasi kegiatan dan mengetahui fasilitas kesehatan/kepolisian terdekat di lokasi kegiatan.
Pelaksanaan kegiatan TfT ini harus dilakukan secara periodik mengingat kegiatan diklat UKM tentunya juga dilakukan secara periodik, baik untuk calon anggota baru maupun untuk memelihara kemampuan personel yang telah bergabung sebelumnya. Mengapa untuk supervisi ini sangat ditekankan pada UKM khusus yang banyak melakukan aktivitas di alam terbuka? Karena pada tipe-tipe UKM seperti inilah yang memiliki peluang lebih besar untuk terjadinya kecelakaan dan kemungkinan cedera, baik karena kesengajaan ataupun ketidaksengajaan. Sementara jika kita bandingkan dengan UKM kesenian misalnya, kegiatan pelatihan yang dilakukan tidak bersifat aktivitas fisik di alam terbuka sehingga resiko kecelakaan dan cidera para pesertanya tentunya lebih kecil dibandingkan UKM-UKM yang telah penulis sebutkan sebelumnya.
Dengan adanya TfT pula, peluang para pelatih dari mahasiswa senior untuk melakukan tindak kekerasan kepada juniornya dapat ditekan seminimal mungkin. Instruktur TfT dapat mengambil dari internal kampus atau melakukan kerjasama dengan instansi lain jika memang dari pihak internal kampus tidak memungkinkan. Sebagai contoh: untuk kegiatan Pramuka, menwa/mapala, dapat bekerjasama dengan TNI/Polri, badan SAR, dinas pemadam kebakaran atau palang merah. Materi pelatihan mencakup : pengamanan kegiatan, pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K), cara memberikan instruksi (CMI), simpul/ tali temali, psikologi dasar dan pengendalian emosi.