Mohon tunggu...
Yorri Kusuma Nugraha
Yorri Kusuma Nugraha Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Staff di Dinas Perhubungan DIY

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mewujudkan Integritas dalam Pelayanan Publik

9 Desember 2014   17:40 Diperbarui: 4 April 2017   16:38 8147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah integritas berasal dari kata Latin integer yang berarti utuh atau lengkap. Dalam konteks ini, integritas adalah hal yang terkait dengan rasa batin keutuhan yang dari kualitas diri manusia untuk kebaikan seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Maka integritas personal terkait dengan karakter-karakter baik yang melekat pada individu. Dalam terminologi bahasa Inggris, integritas (integrity) memiliki makna “the quality of being honest and always having high moral principles”. Untuk konteks organisasi, integritas secara institusional adalah integritas personal ditambah dengan nilai-nilai yang dianut organisasi sehingga menciptakan karakter personel yang diinginkan dalam rangka mencapai terpenuhinya tugas pokok dan fungsi organisasi (Girindrawardhana: 2012).

Demikian juga dengan yang berlaku di lingkungan pelayanan publik. Bila kita mendengar istilah pelayanan publik, mungkin yang terbayang di benak anda adalah kumpulan petugas berseragam yang menggarap layanan surat-surat penting seperti KTP, C1, akte kelahiran, paspor; layanan pendidikan seperti guru; layanan kesehatan seperti dokter atau petugas kepolisian yang mengurusi keamanan umum. Keseluruhan layanan dijalankan oleh aparatur negara sebagaimana amanat UU no.5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara pasal 11 bahwa aparatur negara bertugas:

a.Melaksanakan kebijakan publik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

b.Memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas

c.Mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Dalam keilmuan administrasi negara sendiri, aparatur sipil negara atau jajaran birokrasi memiliki fungsi untuk merumuskan, melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan publik. Kerja pelayanan publik sebagaimana disebutkan di atas adalah implementasi praksis atas kebijakan publik.

Kita sebagai warga negara tentunya menginginkan adanya pelayanan publik yang memiliki kualitas baik. Ini bukanlah tuntutan yang berlebihan karena itu merupakan hak kita sebagai warga negara dan penyeimbang dari kewajiban kita seperti bayar pajak, mematuhi aturan dan prosedur hukum serta menjaga stabilitas lingkungan. Pertanyaan: sudah cukup puaskah anda dengan pelayanan publik yang diberikan?

Di level nasional, pada pertengahan November 2014 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis data hasil survei integritas sektor publik. Dua layanan publik yang diberi rapor merah adalah layanan pencatatan nikah di KUA dan layanan izin penyelenggaraan angkutan pariwisata oleh Kementerian Perhubungan. Untuk level DIY, kota Yogyakarta sempat memperoleh peringkat empat dunia untuk kategori kemudahan mendirikan usaha di tahun 2012 menurut International Finance Corporation (IFC). Kab. Sleman juga mendapat predikat kinerja pelayanan publik terbaik tahun 2013 menurut penilaian Pemda DIY.

Sekarang jika kita melihat lingkup DIY yang lain atau keluar DIY melalui media-media massa, rasa-rasanya bukan hal yang aneh jika kita melihat atau mendengar berita mengenai kualitas layanan publik yang tidak baik. Pernahkah anda melihat pegawai instansi pemerintah hanya bersenda gurau di kantor pada jam kerja sementara sebagian rekannya bekerja, mangkir tanpa alasan jelas setelah libur hari raya, pungli di jembatan timbang dan uji keur kendaraan, embel-embel “biaya administrasi” atau rekayasa kasus oleh aparat penegak hukum?

Fakta lain, penilaian positif atas kota Yogyakarta dan kab. Sleman seperti di atas berbanding terbalik dengan hasil survei Political & Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2012 yang menempatkan birokrasi Indonesia di peringkat dua terburuk di Asia karena faktor patologi korupsi, kolusi, nepotisme; sistem dan prosedur yang tidak efisien dan kualitas kerja birokrasi yang buruk. Data Indonesian Corruption Watch (ICW) tahun 2011 menyatakan ada 239 tersangka kasus korupsi yang berlatar belakang aparatur birokrasi. Atau mungkin hasil survei Transparency International (TI) yang menggolongkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat korupsi yang masih buruk. Hasil riset TI atas Indonesia relatif tidak banyak berubah tiap tahunnya. Peringkat lima besar negara bersih selalu didominasi negara-negara Skandinavia (Denmark, Swedia, Norwegia, Finlandia) dimana banyak kalangan mengibaratkan sistem pemerintahan mereka bagaikan melihat ikan dalam akuarium karena sistem yang dibangun begitu transparan.

Kita pun rasanya masih tidak asing dengan pameo “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah” , “hilang kambing lapor polisi malah hilang sapi” atau “wani piro”. Ini ironis jika mengingat bahwa reformasi birokrasi adalah agenda kerja yang selalu didengang-dengungkan setiap ada kampanye atau pelantikan pejabat baru dan bahkan menjadi salah satu agenda pokok reformasi 1998.

Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?

Perlu diketahui bahwa meskipun birokrasi memiliki kewenangan yang besar dalam rangka pemenuhan tugas pokok dan fungsinya, namun birokrasi juga memiliki keterbatasan-keterbatasan mendasar (Nugroho, 2012) :


  1. Keterbatasan sumber daya manusia. Rasanya kita sepakat bahwa kualitas sumber daya manusia birokrasi Indonesia masih bisa dipertanyakan jika melihat kualitas kebijakan atau layanan yang ada. Kita tentu juga sepakat bahwa produk kebijakan publik haruslah mampu mengantisipasi potensi masalah sehingga kualitas personel birokrasi menjadi sangat penting.
  2. Keterbatasan institusional. Dalam kerja pelayanan publik, tidak jarang terjadi suatu pekerjaan yang idealnya menjadi tanggung jawab satu instansi harus mengikutsertakan instansi lainnya karena terkait dengan ketugasan yang kadang saling beirisan. Dari praktek selama ini, koordinasi terhitung mudah................untuk dikatakan, namun belum tentu mudah dilaksanakan.
  3. Keterbatasan anggaran. Dengan banyaknya kerja pelayanan publik yang harus diemban birokrasi, maka ada tuntutan untuk memberikan perhatian yang sama pada semua sektor. Kita tahu ini utopis. Maka bisa saja ada sektor pelayanan yang berjalan kurang optimal karena keterbatasan dukungan dana publik. Akan lebih parah lagi bila tingkat kebocoran anggaran juga tinggi.
  4. Keterbatasan waktu. Institusi birokrasi memiliki serangkaian beban atau target kerja dalam satu tahun fiskal. Harus diakui bahwa satu tahun anggaran bisa jadi belum cukup optimal untuk menuntaskan semua target dan disisi lain, tidak semua kegiatan diperbolehkan untuk pola tahun jamak (multiyears).

Melihat keterbatasan-keterbatasan birokrasi di atas, dan masih menjadi masalah serius untuk konteks Indonesia, maka ada terobosan yang telah dilakukan yaitu mekanisme kerjasama pemerintah dengan swasta atau yang lazim kita kenal dengan kerjasama pemerintah swasta (KPS atau public private partnership). Fungsi pemerintah sebagai regulator sebab jika diserahkan sepenuhnya kepada swasta maka yang terjadi adalah praktek bisnis layanan sebab khittah pihak swasta adalah mencari keuntungan secara maksimal. Obyek KPS umumnya bidang infrastruktur seperti jalan, bandara, air minum meskipun bisa juga sebenarnya di bidang sosial seperti kesehatan atau pendidikan. KPS ini digadang-gadang dapat membagi peranan sektor swasta dengan pemerintah yang dapat lebih memaksimalkan kinerja pelayanan publik.

Hanya saja, untuk konteks Indonesia, kinerja KPS yang sebenarnya dapat dimaksimalkan untuk pelayanan publik melalui penyediaan sarana yang berkualitas belum menunjukkan hasil menggembirakan. Akhir tahun lalu, Bappenas RI melansir data bahwa pada 2013 99,9% KPS di Indonesia gagal dilaksanakan dan situasi ini juga belum berubah hingga pertengahan 2014 (Nugraha : 2014). Faktor utama kegagalan skema KPS ini menurut Bappenas yang paling dominan adalah ketidaksiapan jajaran pemerintahan level daerah yang wilayahnya menjadi locus kerjasama. Beberapa contoh KPS yang tidak sukses adalah kegagalan pengembangan Terminal Giwangan di Yogyakarta, Terminal Mangkang di Semarang, Terminal Lubukbegalung di Padang atau terkatung-katungnya proyek monorail di DKI Jakarta. Ini memboroskan dana publik mulai dari penyusunan rencana kebijakan, studi-studi kelayakan, pembangunan fisik, membayar tenaga ahli dan biaya-biaya rutin lainnya seperti hidangan rapat koordinasi dan alat tulis kantor. Kondisi seperti ini sudah pasti akan merugikan masyarakat karena tidak adanya jaminan untuk mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik. Disebut lebih baik karena secara faktual kerja layanan (mungkin) tetap ada namun tidak maksimal. Contoh untuk kegagalan kerjasama terminal, memang betul layanan transportasi umum masih berjalan, tapi bus-bus tidak masuk terminal untuk mengejar jumlah rit. Penumpang lebih suka mencegat bus bukan di ruang tunggu terminal tapi diluar terminal ditempat bus biasa berputar. Maka terminal yang kerap digadang-gadang sebagai sarana pertumbuhan ekonomi (transyt oriented development) menjadi tidak punya arti kecuali bangunan megah yang tidak optimal. Aspek bisnis tidak berjalan dan hanya diisi kelompok pedagang kecil. Pemasukan yang ada tidak mampu mengembalikan investasi pemerintah yang telah digelontorkan. Jadinya tetap saja layak untuk disebut tidak sukses.

Serangkaian ketidaksuksesan ini kemudian memiliki potensi tinggi untuk membuat masyarakat memiliki anggapan bahwa birokrasi tidak memiliki kompetensi dalam melaksanakan tugasnya. Sudahlah membuang banyak dana, merelokasi masyarakat dan proses yang mungkin kurang matang, hanya membuat kegiatan yang menjadi mubazir.

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah juga terasa tidak kurang dalam memperbaiki kinerja layanan publik. Klaim-klaim akan bersikap lebih tegas, menjamin keterbukaan, perbaikan regulasi hingga upaya yang cukup fenomenal yaitu peningkatan renumerasi secara besar-besaran di Kementerian Keuangan dibawah kepemimpinan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 2007 sebagai bagian dari program reformasi birokrasi, terlepas dari penilaian akhir baik buruknya. Kita hafal bahwa upaya dan slogan serta komitmen yang disampaikan merupakan niat baik yang diklaim ditujukan bagi upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Meskipun begitu tetap saja kualitas layanan publik yang buruk seolah masih menjadi hal yang traumatis bagi kita di tengah gegap gempitanya ekspektasi (sebagian besar) masyarakat Indonesia saat ini yang lumayan tinggi terhadap kinerja pemerintahan Indonesia yang baru di bawah Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Upaya lain yang bersifat strategis juga sudah dilakukan seperti adanya UU no. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik, awal reformasi juga sudah diterbitkan Tap MPR no. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, pembuatan sistem whistle blower dan perbaikan mekanisme seleksi PNS yang baru-baru ini sudah lebih mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi sehingga meminimalkan potensi-potensi kecurangan.

Meskipun begitu, ini tentu saja belum cukup, masih ada beberapa langkah-langkah yang lebih bersifat taktis yang dapat kita lakukan. Taktis disini dalam arti bahwa langkah-langkah tersebut sudah dapat dilakukan oleh birokrasi lapisan manapun. Landasan regulasinya dapat mengacu, walaupun tidak secara rigid, ke regulasi yang sudah ada terlebih dahulu dan relatif tidak perlu prosedur yang kaku. Bisa saja sebenarnya langkah taktis ini merupakan petunjuk pelaksanaan (juklak) atau petunjuk teknis (juknis) dari peraturan yang telah ada namun dengan pola yang berbeda.

Langkah pertama adalah penerapan prosedur layanan secara rasional dan wajar. Rasional dan wajar disini adalah pembuatan prosedur layanan seringkas dan seefisien mungkin sehingga pelayanan dapat selesai dalam waktu yang lebih cepat. UU no. 25 tahun 2009 mengamanatkan adanya standar pelayanan oleh seluruh instansi pemerintah yang mengampu kerja pelayanan kepada masyarakat secara langsung. Standar pelayanan ini antara lain berisi tentang dasar hukum, mekanisme layanan, waktu penyelesaian layanan, besaran tarif, produk layanan, sarana prasarana yang tersedia dan nomor aduan. Standar layanan ini harus dipasang di tempat-tempat yang bisa dilihat oleh masyarakat pengguna layanan instansi bersangkutan. Konten atau isi standar layanan untuk dipublikasikan ini haruslah ringkas dan ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.

Langkah berikutnya adalah konsistensi dalam proses monitoring dan evaluasi layanan. Harus diakui bahwa untuk hal ini, birokrasi Indonesia masih lemah. Tidak kurang presiden Joko Widodo sendiri beberapa hari menjelang pelantikannya mengatakan bahwa kerja pengawasan dari birokrasi sangat tidak optimal dan menyebabkan buruknya kinerja birokrasi Indonesia. Dari sudut pandang administrasi negara sendiri, minimnya kerja pengawasan atau monitoring menyebabkan tidak adanya masukan umpan balik (feedback) atas proses implementasi kebijakan yang sedang berjalan. Maka bagaimana mungkin institusi birokrasi dapat melakukan evaluasi kebijakan secara tepat dan substantif kecuali sekedar pemetaan deskriptif atas masalah-masalah yang timbul. Sayangnya, inilah yang terbanyak dilakukan oleh institusi-institusi birokrasi. Kita harus paham bahwa evaluasi kebijakan sebenarnya tidak hanya dari proses implementasinya saja tapi juga harus dimulai dari proses formulasi kebijakan itu sendiri sehingga proses evaluasi tidak hanya deskriptif, contoh: kuantitas penyerapan anggaran, tapi juga mampu lebih substantif (Dunn :1999). Bagaimana memperbesar target atau sasaran kebijakan, inovasi apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukan lobi ke instansi samping dan penyesuaian indikator-indikator kebijakan. Jika kita kaitkan dengan langkah pertama standar pelayanan di atas, maka perlu pendalaman lagi apakah masing-masing instansi penyelenggara layanan sudah melakukan sebagaimana apa yang diamanatkan oleh UU no.25 tahun 2009 itu? Jika belum, apa masalahnya dan bagaimana penyelesaiannya? Jika sudah ada standar pelayanan, apakah itu benar-benar ditegakkan? Bagaimana mekanisme penyelesaian keluhan, apa hanya sekedar ditampung tanpa ada tindak lanjut berarti? Jika instansi penyelenggara layanan publik tetap tidak melaksanakan ketentuan perundangan, bagaimana mekanisme penjatuhan sanksinya? Serangkaian pertanyaan ini, dan mungkin masih bisa bertambah, merupakan ranah kerja pengawasan yang harusnya sudah dilaksanakan sejak dulu. Tidak adanya pengawasan juga sangat memungkinkan terjadinya duplikasi atau benturan kebijakan. Tidak efisien dan membuat posisi birokrasi menjadi dilematis.

Berikutnya adalah intensifikasi komunikasi kebijakan, termasuk kerja diseminasi kepada masyarakat mengenai kerja layanan publik. Berdasarkan pengalaman penulis, kerja diseminasi belum menjadi arus utama (mainstream) dalam proses formulasi dan implementasi kebijakan publik. Cukup banyak terjadi, rencana-rencana kebijakan yang sebenarnya cukup baik malah terancam gagal karena resistensi yang begitu kuat justru dari kelompok masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan. Implikasinya, birokrasi terpaksa harus menyusun ulang rencana kebijakan. Kalangan birokrasi kita masih cenderung memahami bahwa apa yang disebut dengan komunikasi kebijakan tidak lebih dari kegiatan mengundang perwakilan masyarakat, paparan konsep, dialog dan diakhiri dengan makan siang. Ini memang tidak salah tapi kalau hanya ini yang dipahami maka ini tentu saja menjadi masalah. Talkshow di media-media elektronik, debat opini, pembuatan siaran pers (press release), jajak pendapat dan pemanfaatan sosial media adalah metode-metode yang dapat digunakan oleh birokrasi dalam melakukan diseminasi isu kebijakan publik. Dan ini harus dilakukan secara kontinu atau berkala dalam satu tahun anggaran agar masyarakat dapat mengetahui dinamika proses kebijakan yang ada. Jadi bukan hanya di akhir tahun saja misalnya, memanfaatkan moment APBN atau APBD perubahan. Jajaran birokrasi di Amerika Serikat misalnya, sudah terbiasa dengan metode kerja jajak pendapat. Mereka biasa menggelar jajak pendapat untuk mencari tahu mengenai program apa yang menurut masyarakat harus mereka lakukan di tahun fiskal mendatang. Hasilnya, ditambah dengan akuntabilitas birokrasi yang sudah cukup baik,tentu dapat menjadi basis data yang memiliki kredibilitas tinggi sehingga tidak asal klaim bahwa rencana kebijakan sudah memperoleh dukungan publik. Maka instansi birokrasi penyelenggara layanan publik haruslah mendedikasikan sumber daya secara optimal agar mereka dapat menyelenggarakan kerja diseminasi secara berkala.

Terkait dengan layanan publik, adanya kerja diseminasi yang kontinu dapatmembangkitkan kesadaran kritis masyarakat sebagai subyek layanan. Artinya masyarakat dapat diajak urun rembug bersama melalui kerja diseminasi untuk ikut menyumbangkan suaranya demi peningkatan kualitas layanan yang diharapkan, tidak sekedar cuek bebek atau acuh tak acuh. Dengan adanya diseminasi, maka ini dapat menjadi wadah menghimpun opini dari masyarakat. Melalui moment ini pula, penyelenggara layanan publik dapat memaparkan mengenai hasil olah data atas keluhan atau respon masyarakat yang dihimpun secara daring (on-line) dari kanal-kanal aduan yang disediakan. Masyarakat dapat mengetahui bahwa masukan-masukan yang mereka berikan memang direspon oleh institusi birokrasi penyelenggara layanan publik jadi mengurangi perasaan apatis masyarakat dan juga perasaan hanya membuang-buang pulsa atau data seluler untuk menyalurkan keluhan yang dirasakan.

Langkah berikutnya adalah pemublikasian peringkat layanan diantara instansi-instansi penyelenggara layanan publik. Hal ini sebaiknya dilakukan oleh seluruh jajaran pemerintahan mulai dari jajaran pemerintahan kabupaten/kota, provinsi dan pemerintah pusat. KPK telah memulai inisiatif dengan melakukan survei integritas layanan publik dengan lingkupnya lebih berat ke instansi pemerintah pusat. Penilaian kinerja pelayanan publik sebenarnya juga sudah dilakukan oleh pemerintahan daerah seperti Pemda DIY misalnya, namun sifatnya masih kurang masif. Kita tentunya berharap adanya pemeringkatan serupa secara terbuka untuk misalnya, kelurahan atau kecamatan terbaik; kantor polisi terbaik level Polsek, Polres atau Polda; institusi pengadilan terbaik level Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi; atau KUA terbaik. Jadi implementasinya bisa merata di seluruh level birokrasi.

Dari hasil pemublikasian peringkat layanan, masyarakat dapat mengetahui instansi atau layanan publik manakah yang sudah bagus dan mana yang perlu pembenahan. Untuk layanan publik yang sudah bagus bisa saja diberikan bonus insentif sebagai stimulan untuk mempertahankan prestasi yang telah diraih dan untuk layanan publik yang kurang baik karena kinerja yang memang buruk, maka menjadi tugas elite kebijakan untuk menjadikan layanan tersebut sebagai fokus kerja perbaikan di tahun anggaran mendatang.

Anda juga tentu masih ingat istilah “instansi basah instansi kering”, “meja mata air dan meja air mata”, konsekuensinya ada instansi yang menjadi rebutan pegawai karena dianggap lebih menjanjikan. Kita sangat berharap setiap personel birokrasi mampu memberikan kinerja terbaiknya di manapun dia ditempatkan dan tidak diganggu bayangan kekurangan penghidupan karena berada di “instansi kering” misalnya. Adanya kebijakan renumerasi khusus bagi instansi dengan kinerja terbaik merupakan terobosan yang sangat layak untuk dilaksanakan.

Langkah-langkah taktis yang disebut di atas memang sudah ada yang dilaksanakan oleh jajaran birokrasi namun sifatnya masih sporadis. Idealnya, ini harus menjadi semacam tradisi atau kebiasaan. Jika ingin membangun integritas birokrasi, maka langkah-langkah di atas harus diterapkan secara konsisten. Layanan publik adalah kerja birokrasi yang paling nyata dirasakan oleh masyarakat. Minimnya integritas akan membuat kualitas kerja layanan publik menjadi rendah. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kinerja layanan birokrasi saat ini telah menjadi indikator, oleh lembaga-lembaga audit dan internasional apakah suatu pemerintahan, suatu negara atau suatu bangsa dianggap cukup layak untukmensejahterakan warganya melalui pelayanan yang diberikan. Jika dianggap layak, maka kehidupan warganya dapat terlihat lebih maju, semangat kompetisi dijalankan, kemudahan berusaha atau berbisnis memang ada dan ada kepastian hukum yang mampu menjadi pedoman bagi seluruh warga negara. Kita semua memiliki harapan yang sama bahwa kondisi Indonesia yang belum dapat dikatakan benar-benar baik saat ini, secara gradual dapat meningkat ke arah yang lebih baik di bawah pemerintahan nasional yang baru hasil pemilihan umum 2014 dan ini tentunya harus dipelopori oleh birokrasi selaku pengampu kebijakan publik dengan membangun integritas di dalam lingkungannya. Kita berharap ada kemajuan dalam pemerintahan baru ini. AMIEN!

Nb: paper seminar Universitas Negeri Yogyakarta "Mewujudkan Administrator Publik yang Berintegritas di Era Pemerintahan Baru"/ 28 November 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun