Negara Indonesia selain dikenal sebagai negara beriklim tropis yang kaya akan sumber daya alam dan keelokan pemandangannya, juga dikenal sebagai negara dengan kerawanan bencana yang tinggi. Sebut saja semua potensi bencana yang ada: gempa bumi, banjir, angin ribut, gunung meletus dan tanah longsor. Indonesia bahkan menyandang status “ring of fire” sebagai konotasi atas banyaknya populasi gunung berapi yang berada di Indonesia.
Dari kesemua peristiwa-peristiwa bencana yang ada, sayangnya selain menyaksikan efek destruktif dari bencana alam, kita juga terpaksa harus menyaksikan hal-hal yang masih terasa kurang dalam manajemen penanganan bencana alam.
Ketidaksiapan, baik dari elemen masyarakat maupun aparatur pemerintah kerap terlihat ketika bencana alam terjadi. Selain kerusakan infrastruktur yang terbilang cukup parah, jumlah korban jiwa manusia kerap muncul dalam jumlah yang signifikan. Jangan melihat jumlah korban hanya dari kuantitasnya, hanya puluhan misalnya, namun efeknya secara jangka menengah-panjang. Tidak jarang, banyak diantara para korban adalah para angkatan kerja produktif yang masih bisa memberikan kontribusinya kepada masyarakat.
Dalam banyak kasus bencana alam, suka tidak suka kita harus mengakui bahwa faktor kesalahan manusia (human error) juga berperan besar atas bencana yang terjadi. Kita dapat menyebut kasus banjir Jakarta yang rutin terjadi setiap tahun. Perilaku masyarakat yang tinggal di bantaran sungai yang kerap menjadikan sungai sebagai tempat sampah raksasa menyebabkan pendangkalan dan penyempitan alur-alur sungai sehingga pada musim penghujan ketika konsentrasi air meningkat pesat, alur sungai tidak mampu menampung air hujan dan meluap ke permukiman penduduk. Contoh lain adalah ketika bencana tsunami dahsyat melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada 2004 lalu. Surutnya air laut setelah terjadinya gempa bumi tidak membuat masyarakat kota pesisir NAD waspada dan tetap berada dekat pantai sehingga ketika tsunami melanda, jumlah korban jiwa sangat fantastis. Demikian pula sewaktu terjadinya bencana erupsi gunung Merapi tahun 2010 lalu. Melalui media televisi, kita masih menyaksikan sulitnya mengajak warga lokal untuk mengungsi sampai-sampai harus digotong oleh tim SAR gabungan.
Memang pasca 2004, mulai timbul kesadaran untuk melakukan mitigasi atau upaya pengurangan resiko bencana. Pemerintah pusat mendirikan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana tahun 2005 yang diubah menjadi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2008. Jajaran pemerintah daerah juga mengantisipasi dengan mendirikan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tiap-tiap daerah otonom.
Selain itu sebenarnya juga ada kearifan lokal yang hidup di tengah-tengah masyarakat secara turun temurun berupa ajaran orang tua kepada generasi muda mengenai langkah yang harus dilakukan ketika terjadi bencana. Sebagai contoh : “smoong” di P. Simeulue, NAD, ketika terjadi gempa, maka masyarakat harus segera lari ke dataran tinggi untuk menghindari kemungkinan tsunami dan ini terbukti tahun 2004 lalu, korban jiwa di Simeulue sendiri ketika tsunami tidak sampai belasan orang (http://kkn-watch.blogspot.com); binatang yang turun gunung saat gunung hendak meletus.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern, mayoritas nilai kearifan lokal makin tergerus zaman. Hal ini juga ditambah aspek mitigasi bencana yang kurang mendapatkan prioritas dalam perencanaan kebijakan pembangunan, utamanya di daerah-daerah.Jika di paragraf sebelumnya saya menyebutkan bahwa telah ada instansi birokrasi yang mengurusi bencana, namun secara kualitatif masih ada hambatan berupa pemahaman aparatur birokrasi terhadap mitigasi bencana dan keterbatasan anggaran. Belum tentu sebenarnya personel BPBD memiliki kompetensi merata untuk melakukan kerja mitigasi bencana alam. Pada akhirnya, hal ini tentu saja ikut mempengaruhi kualitas dan kuantitas kerja nyata yang dilakukan oleh instansi tersebut kepada masyarakat.
Untuk dapat mengisi celah kekurangan ini, disamping peningkatan kompetensi institusi BPBD maka alternatif lain adalah dengan pemanfaatan fasilitas internet gratis. Melalui fasilitas internet gratis, maka setiap lembaga yang berkompeten atau ingin ikut terlibat dapat menggunakan sarana ini sebagai media mitigasi bencana alam.
Bentuk kongretnya adalah penyediaan sambungan internet di kecamatan dan kelurahan selaku institusi pemerintahan yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Di masing-masing kantor, dapat disediakan ruang khusus sebagai media sosialisasi potensi dan mitigasi bencana alam, jadi bukan seperti MPLIK (mobil pusat layanan internet kecamatan) yang dibuat kementerian kominfo. Petugas kecamatan atau kelurahan selanjutnya dapat terjun langsung ke forum warga untuk mensosialisasikan adanya fasilitas ini. Pemetaan potensi bencana tentunya telah dimiliki oleh masing-masing daerah namun kurang terkomunikasikan ke tingkatan masyarakat. Adanya fasilitas ini tentu saja akan mendekatkan masyarakat karena lebih dekat dengan domisili mereka sendiri.
Bentuk kongret lainnya dengan internet gratis adalah adanya warga masyarakat tertentu seperti kepala dukuh, ketua RT/RW yang dapat dibekali perangkat ponsel cerdas (smartphone) yang memiliki media sosial seperti blackberry messenger, what’s app, facebook, twitter dan media-media sosial lainnya yang terkoneksi dengan pusat data BPBD. BPBD dapat melakukan pesan siaran (broadcast) yang antara lain berisi potensi terjadinya bahaya bencana alam ketika musim penghujan misalnya, atau pembaharuan pengetahuan (update) perihal data-data terbaru mengenai potensi bencana yang terdeteksi di suatu wilayah.
Diluar masa rawan bencana, saluran ini tetap dapat digunakan sebagai media sosialisasi kepada warga masyarakat. Adanya sosialisasi yang kontinu tentunya mampu menjaga kewaspadaan masyarakat sehingga tidak terlena begitu saja mentang-mentang sudah merasa aman dari kemungkinan terkena bencana alam. Materi sosialisasi dapat berbasiskan pada kearifan lokal yang sudah mengakar di masyarakat setempat atau yang lebih modern seperti manajemen tanggap darurat bencana alam. Kita tentunya tidak ingin pemahaman tentang “smoong” di Simeulue misalnya tidak dikenal oleh generasi muda disana karena tidak ada yang mengajarkan kepada mereka dan lagipula, metode “smoong” ini tentunya harus menjadi referensi bagi BNPB dan BPBD lainnya, dengan kemasan materi yang lain, untuk disebarluaskan kepada masyarakat yang tinggal di pesisir. Bagi penduduk yang tinggal di lereng perbukitan misalnya, pada saat musim penghujan harus sering diingatkan agar memperhatikan bila ada retakan tanah atau mata air yang muncul secara tiba-tiba. Ini penting agar tragedi longsor seperti yang baru saja terjadi di Banjarnegara, Jawa Tengah tidak terulang kembali, khususnya terkait korban jiwa yang besar.
Ini adalah bentuk-bentuk kongret mitigasi bencana dengan internet yang saya angankan dapat terwujud jika ada fasilitas internet gratis. Kesimpulannya, internet gratis dapat menopang aspek preventif mitigasi bencana. Aspek preventif tidak bisa dipandang enteng. Jika aspek preventif sudah lebih optimal, maka potensi kerusakan infrastruktur dan korban jiwa yang besar tentunya dapat diminimalisir. So, IwantITnow dan WewantITnow!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H