Eksistensi manusia terpola oleh ambisi yang sama. Ambisi yang bersifat primordial: Kekuasaan. Eksistensi berdasarkan ambisi akan kekuasaan telah membentuk peradaban manusia menindas dan tertindas. Manusia menindas, tidak berarti kuat. Manusia tertindas, tidak berarti lemah.Â
Manusia menindas, seolah-olah kuat. Demi menutupi kelemahan, manusia pun menindas. Kelemahan tersebut ialah kesepian. Manusia menindas demi menambal kesepian yang memberi lubang pada eksistensinya.Â
Eksistensi manusia menindas akan mengeras di kulit, tetapi rapuh di daging. Eksistensi tersebut berlubang oleh kesepian. Rongga yang kosong, diisi dengan menindas.
Manusia tertindas, seolah-olah lemah. Kelemahannya ada pada keraguan. Keraguan pada potensi untuk menyeimbangkan skor. Eksistensi manusia tertindas, lunak di kulit, kenyal di daging. Keraguan melenturkan eksistensi yang sebenarnya keras.Â
Manusia menindas menuliskan peradaban. Peradaban manusia lebih banyak mengagungkan karya manusia menindas, tanpa menyebut eksistensi manusia tertindas.Â
Eksistensi manusia-manusia tertindas hilang dalam buku peradaban. Statistik pun tidak akan menghitung jumlah eksistensi tersebut.
Peradaban manusia menindas, peradaban yang telah mengkhianati eksistensi manusia tertindas, padahal eksistensi manusia tertindas adalah balok penyangga peradaban itu sendiri.
Peradaban bergerak mengikuti arah kekuasaan. Kekuasaan sejatinya adalah milik purba. Kekuasaan memaksa peradaban untuk meninggalkan eksistensi manusia tertindas. Â Peradaban memang bergerak pada rel perubahan, tetapi lokomotif yang dipakai adalah lokomotif milik purba.
Manusia menindas dengan kekuasaan di tangan kanan, menindas manusia tertindas. Manusia tertindas pasrah pada kekuasaan. Manusia menindas senang mengisi rongga kesepian dengan bunyi teriak manusia tertindas. Manusia tertindas sebenarnya sedang melakukan dosa, sebab keraguan terhadap potensi dari eksistensi manusia, memunculkan penindasan oleh manusia-manusia penindas yang sebenarnya lemah. Menghadirkan penindasan terhadap diri, bisa disebut sebagai dosa.
Menjadi dosa, apabila manusia tertindas pasrah terhadap peradaban manusia menindas. Keraguan terhadap potensi sebagai manusia merdeka, sama artinya dengan menyangkal eksistensi diri. Penyangkalan eksistensi diri membuahkan dosa. Â Dosa oleh karena menyiksa eksistensi diri.Â
Manusia menindas pun berdosa. Dosa karena kesepian, kesepian menghadirkan penindasan, penindasan mengakibatkan eksistensi manusia menindas memonopoli setiap lembar halaman kisah peradaban. Manusia menindas bertanggung jawab atas pelenyapan kontribusi manusia tertindas bagi peradaban.Â