Diluar dugaan sama sekali, tiba-tiba saja istri membangunkan saya sore tadi. Ia mengingatkan saya, bahwa hari ini adalah tanggal 07 Nopember 2009, hari Ulang Tahun WS Rendra. Dimana hari itu pula merupakan hari terakhir digelarnya kenduri nasional Mengenang Rendra di Jakarta. Saya terkejut, karena saya fikir sejauh ini ia menolak untuk menghadiri acara bersejarah itu. Dengan gembira kami pun segera bersiap, berangkat menuju Gedung Kesenian Salihara di Selatan Jakarta.
Tuhan memberkati perjalanan kami. Jakarta sabtu malam bukan waktu yang tepat untuk menikmati kota raya. Namun ajaib, jalanan begitu ramahnya. Pukul 06.30 WIB kami sudah tiba di Salihara. Pengunjung memenuhi suasana, tua-muda, bercampur baur sedemikian padatnya. Segera saya mendatangi loket dan memesan tiket teater yang tersisa. Khawatir sekali jangan-jangan sudah tidak ada, bersyukurlah masih ada tempat bagi kami berdua.
Satu acara yang terlewat adalah Ceramah Sihir Rendra yang disampaikan Sapardi Djoko Damono. Tapi tentu tidak begitu menyesal, karena acara berikutnya juga berharga yaitu Pembacaan Puisi Rendra. Tiga tokoh drama telah didaulat membacakan Puisinya. Dramawan pertama, Slamet Rahardjo Djarot yang membacakan Blues Untuk Bonnie dan Pemandangan Senjakala.
Dramawati kedua adalah Ine Febriyanti, membacakan Ada Telegram Tiba Senja dan Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang. Sementara dramawan terakhir sebagai penutup adalah Nano Riantiarno yang membacakan Doa Seorang Pemuda Rangkas Bitung di Rotterdam. Sempat terfikir oleh saya, kenapa para dramawan-dramawati yang dipilih membacakan puisi?. Tetapi kesadaran saya menjawab sendiri, bahwa Rendra juga seorang Dramawan dan malam ini kawan-kawannya ingin mengenangnya dari sisi yang lain.
Sisi itu kemudian dilengkapi dengan pementasan Kereta Kencana, saduran WS Rendra dari Les Chaises karya Eugene Lonesco ditahun 1961. Kisah menarik tentang sepasang suami istri berusia 200 tahun yang menunggu kematian yang tak kunjung juga tiba. Disutradarai oleh Putu Wijaya dan dibintangi sepasang dramawan-dramawati senior Ikranegara dan Niniek L Karim. Pementasan yang hanya dilakoni dua orang, dibantu tata cahaya dan suara saja, namun begitu menarik dan hidup.
Ketika pementasan usai, kami segera meninggalkan Salihara. Mengingat malam telah larut dan putri kami menunggu gundah dirumah. Dan diperjalanan pulang, saya terus memikirkan kesejatian cinta dalam drama tadi. Dua abad lamanya, diantara kebangkitan dan kejatuhan, mereka terus mesra dan bercinta. Bahkan kematianpun mengawinkan mereka sebagai sepasang pengantin.
Wahai-wahai! Dengarlah engkau dua orang tua yang selalu bergandengan dan bercinta, sementara siang dan malam berkejaran dua abad lamanya. Wahai-wahai! Dengarlah aku memanggilmu. Datanglah berdua bagai dua ekor burung dara. Akan kukirimkan kereta kencana untuk menyambut engkau berdua. Bila bulan telah luput dari mata angin, musim gugur menampari pepohonan dan daun-daun yang rebah berpusingan. Wahai-wahai! Ditengah malam di hari ini akan kukirimkan kereta kencana untuk menyambut engkau berdua. Kereta kencana, sepuluh kuda satu warna!
Tuan guru di swargaloka,
telah kubawa istri dan putraku dikandungnya menapaki jejakmu...
miror-blog: http://www.yordan.web.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H