Putusan kasus Ahok telah diambil hakim: hukuman dua tahun penjara dan ia langsung ditahan. Menyimak pendapat hakim, justru memudahkan memahami rangkaian rencana dan upaya yang telah disusun untuk memenjarakan Ahok. Ahok tak akan pernah sendiri, kita biarkan saja dia ditemani oleh keberanian dan ketangguhan, agar membesar, menguat selama dalam tahanan. Terbukti, penjara selalu ada dalam riwayat para pengubah sejarah.
Maka disini, diluar tahanan Cipinang, di sosial media berseliweran pernyataan-pernyataan yang berusaha menenangkan dan memberi optimisme, sembari menghembuskan angin “semuanya akan baik-baik saja”. Awalnya serasa biasa membaca satu persatu pesan-pesan “positif bin pasti ada hikmahnya”, lama kelamaan justru meredupkan pijar keberanian.
“ Jangan khawatir,Ahok banding, upaya hukum masih panjang”.
Tentu saja, upaya hukum terus dikerjakan oleh tim pengacara. Apapun hasil dari upaya tersebut, tidaklah signifikan untuk peran Ahok sebagai gubernur DKI. Selain itu, putusan ini mengisyaratkan bahwa –melalui jalur hukum- agama dapat dimanipulasi sedemikian rupa untuk menghancurkan hidup orang dan ditonton oleh anak-anak Indonesia; anak-anak yang nalar berbahasanya diruntuhkan dengan kata “pakai”.
“Jokowi pasti punya rencana, ini hanya strategi untuk melakukan tindakan yang lebih hebat”. Hampir tiga tahun Jokowi menjadi Presiden, rakyat seperti terbiasa berharap cemas sambil menebak tindakan Presiden menghadapi isu-isu penting. Bahwa beliau Presiden tak berjarak dengan rakyat, kita mafhum. Tetapi belum ada citra berani, tegas dan jelas ditampilkan beliau, terutama dalam merespons kelompok anti Pancasila. Membagi hadiah dengan pertanyaan-pertanyaan berujung candaan dan tawa lepas Presiden, rasanya tidak pas menjadi berita saat ini. Ketegasan dan keberanian untuk memandu negara, itu yang diperlukan, bukan merasionalisasi aksi Presiden. Toh beliau tak bernafsu menjadi Presiden dua periode, jadi tak memiliki beban untuk menjaga dukungan elit politik secara permanen.
“Ahok harus dipenjara, kalau tidak akan ada keributan lebih besar”.
Mungkin saja hal ini terjadi, namun yang pasti, saat ini kelompok radikal fundamental merasa diatas angin, mulai berteriak rasis dan intimidatif. Rasa superior ini akan mendorong mereka melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Ibarat cerita seram tentang rumah kosong, tentang hantu yang bersemayam dalam rumah tersebut, mengeluarkan suara tawa terbahak-bahak. Padahal itu adalah suara pesta pora penjahat membagi hasil rampokan. Mereka tertawa karena dua hal, pertama, karena berhasil merampok dan kedua, mengetahui bahwa tidak akan ada orang masuk ke dalam rumah tersebut. Berhantu, soalnya.
Mitos “semua akan baik-baik saja” merupakan mantra semu yang tak bakal ampuh menghempang gelombang radikal di Indonesia. Keadaan tidak akan baik-baik saja, sebab kelompok-kelompok anti Pancasila, meski berbeda metode, namun terus bersatu dalam menghadapi “musuh bersama”. Siapa musuh bersama itu? Sesuka mereka saja mereka tentukan, bisa etnis, bisa pemeluk agama, bisa kelompok bisnis, tergantung kepentingan temporer. Sebagai anak bangsa, kita tidak punya hak untuk diam melihat geliat merekai. Kasus Ahok menunjukkan bagaimana jika kekuatan massa terkelola, isu dan tipu dinarasikan sebagai kebenaran untuk menggelorakan keberanian (baca: arogan) dapat melakukan pengaruh kuat secara politik; menghisap enerji yang seharusnya telah membawa kita negara dan bangsa pada kemajuan dan kesejahteraan.
Sementara itu, anak-anak bangsa berjumlah besar menjadi mayoritas yang diam, tak bersuara, hanya berkomat kamit, membisikkan mantra penenang jiwa, sehingga otot-otot nalar untuk bergelut mempertahankan Pancasila menjadi kaku, tak mampu bergerak. Hingga nantinya tersadar ketika kemunduran yang dialami Pakistan, Afghanistan, Suriah dialami Nusantara juga.
Jadi jangan tenangkan aku, karena ini bukan tentang aku, ini tentang Tanah Airku, tanah Airmu, sedang diganggu.
Yordan Panggabean