Ribuan karangan bunga mengalir ke Balai Kota Jakarta. Gedung dengan kuasa menentukan puluhan trilyun rupiah berubah menjadi taman bunga penuh haru, ceria dan canda tulisan-tulisan di papan bunga. Ini bukanlah perayaan kemenangan, sebab berdasarkan hasil hitung cepat berbagai lembaga survei (terutama yang kredibel) Ahok bukanlah pemenang dalam pertarungan pilkada DKI kali ini. Kalah bukanlah akhir dan menang bukan pula segalanya jika kesejahteraan rakyat dalam pemerintahan bersih yang menjadi tujuan.
Keinginan serta harapan agar Ahok sebaiknya diangkat menjadi menteri merupakan ide yang dapat diterima, melihat jejak rekam politik dan kinerjanya. Namun ide ini beresiko tinggi, sebab melihat dinamika politik (dipelopori oleh kelompok sektarian) saat ini, tidak ada satu posisi yang aman untuk Ahok emban. Jika Ahok menjadi menteri, maka akan menjadi beban bagi Jokowi, tanpa henti diterpa permasalahan hakiki dari sebuah bangsa, persatuan. Anggota DPR yang terang benderang berseberangan dengan Ahok pasti akan menghadang, belum lagi struktur birokrasi kementerian akan lebih sulit diawasi ketimbang pemerintahan setingkat gubernur. Partai koalisi pendukung Jokowi –yang tidak maksimal di Pilkada DKI- sontak akan merasa gerah dengan keputusan semacam ini.
Kesulitan sama akan ditemui jika Ahok diangkat menjadi pejabat, apapun institusinya. “Kesalahan”nya sebagai pejabat dapat dengan mudah dilempar ke Jokowi, dengan massa jika perlu. Semua ini akan mudah ditepis Ahok karena keberaniannya, akan tetapi dua tahun kedepan telah menjadi pertarungan pilpres sangat sengit, bukan saja karena kompetisi antar kandidat. Menjadi sengit karena isu agama terbukti berhasil menjadi faktor kemenangan Anies-Sandi, untuk kemudian isu ini dikelola di mana-mana sehingga berskala nasional. Ketika agama direduksi menjadi bahan bakar kemenangan politik, ia justru menghanguskan apapun yang senilai, senafas dengan agama itu sendiri, yaitu kedamaian, keadilan dan toleransi.
Pilihan yang dapat diambil Ahok yang juga bisa menjawab tantangan bangsa saat ini ialah, Ahok memimpin pergerakan sipil dengan menjadikan persatuan dalam kebhinekaan menjadi tema utama pergerakan. Bukankah Dr Sjahrir dan Gus Dur telah cukup memberi teladan bagaimana menjadi seseorang yang konsisten merawat kebhinekaan dalam persatuan bangsa? Bukankah kerinduan masyarakat Indonesia akan sosok Ahok bukan hanya ada di Jakarta? Waktunya untuk Ahok memotivasi dan menginspirasi ke berbagai daerah di Indonesia, bertemu ratusan ribu anak muda dan mengajari bagaimana berpolitik dengan cerdik, berjuang penuh berani dan bertarung terhormat. Ini akan menyemai pemimpin-pemimpin muda masa depan Indonesia yang saat ini hanya disuguhi politik koruptif juga intimidatif.
Mengikuti cerita tentang Nemo yang disampaikan Ahok di persidangan, ini waktunya Si Nemo berenang kebawah, terus bergeliat untuk melepas Indonesia dari jerat kebencian, kemarahan yang mengukuhkan keserakahan! Agar silent majority berubah menjadi kekuatan dinamis, untuk menjaga satu kebenaran tak terbantahkan, bahwa Indonesia adalah kesatuan dalam keberagaman untuk kemajuan, bukan pemaksaan keseragamaan berpasungkan kebodohan
*Yordan Panggabean (Penunggu grup WA "ORI")
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H