Ketika saya menerima broadcast message tentang hilangnya seorang anak perempuan di Denpasar, Bali, memunculkan berbagai pertanyaan dan asumsi dalam pikir, kemudian diselesaikan dengan doa dan harap agar anak bernama Angeline itu dapat ditemukan. Imajinasi puteri kecil tersebut dapat ditemukan dalam waktu dekat, kemudian bayangan akan ada broadcast susulan dengan isi pesan "Terima kasih untuk dukungan dan doa semua sahabat, Angeline, anak kami telah kembali" pun melegakan diri untuk membiarkan melupakan dalam kesibukan.
Pemberitaan yang intens di media massa terutama televisi terkait kunjungan pejabat negara serta lembaga perlindungan anak kembali mencuatkan memori tentang Angeline. pernyataan-pernyataan pejabat terkait kerap didengar, Â informasi tentang upaya yang dilakukan pihak berwenang serta liputan tentang latar belakang Angeline, menarik atensi yang luas di masyarakat. Hingga akhirnya Angeline ditemukan, dalam keadaan di luar harapan, tidak bernyawa. Tragis dan mengenaskan.Â
Kekerasan terhadap anak bukanlah suguhan asing bagi publik Indonesia. Kasus demi kasus yang muncul, seolah-olah telah tergeneralisasi menjadi suatu fakta yang menghasilkan rasa iba, kasihan dan sedih pada korban, untuk kemudian memproteksi masing-masing keluarga dalm cemas dan kuatir. Sungguh tidak memberdayakan.
Rasa sungkan dan sikap "tidak mau mencampuri urusan keluarga orang" di masyarakat merupakan salah satu faktor penyebab kekerasan pada anak tetap dijumpai di Indonesia. Seyogyanya setiap kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia, mendorong kita untuk mengevaluasi dan mengkritisi upaya serta kebijakan yang telah dilakukan. Seorang praktisi perlindungan anak menyatakan bahwa peran masyarakat dalam kasus-kasus kekerasan ialah melaporkan ke polisi, kantor perlindungan anak maupun pihak terkait lainnya. Masuk akal dan praktis, namun tidak memberi perubahan progresif di masyarakat.Â
Saatnya negara  menggunakan kekuasaan untuk melindungi anak Indonesia, tidak hanya berbentuk negara vis a vis keluarga, namun mulai melibatkan masyarakat dengan menyentuh sisi koersif dalam upaya tersebut. Satu langkah dapat dilakukan ialah menjadikan kekerasan pada anak sebagai persoalan di tingkat tetangga/komunitas; jika seorang anak mendapat perlakukan kekerasan yang tidak wajar dari orangtuanya, bahkan berlangsung terus menerus, maka komunitas ketetanggaan di sekitar keluarga tersebut juga dikenai hukuman, semisal memenuhi jam kerja sosial (menyapu jalan, menjadi pertugas penyeberangan di sekolah, dan sebagainya). Sehingga orangtua yang melakukan kekerasan pada anaknya tidak lagi dapat meneruskan kebiasaannya dengan berkata "Ini anak saya, terserah saya!", atau "Apa urusan kalian?", karena kekerasan pada anak telah menjadi urusan komunitas, termasuk sekolah bahkan.
Berbagai terobosan lain untuk melakukan perlindungan anak dapat dibangun dan dilakukan jika setiap kita tidak berputar dalam hiruk pikuk politik (berebut celah kekuasaan) ataupun keriuhan pembangunan ekonomi (yang merasa tak berdaya dengan limpahnya sumberdaya) untuk mau mendengarkan suara tangis anak Indonesia, memperhatikan wajah murung mereka dan memegang tangan para penerus Indonesia.
Karena anak tak berdaya, ia butuh keluarga
Karena anak tak punya kuasa, ia perlu negara
Karena anak benih bahagia, kita rindu mereka
*dalam dimensi barumu Angeline..tertawa dan bermainlah sepuasnya..
Â