Apalah arti menjaga lautan seluas 6,32 juta kilometer persegi bila penjaganya adalah kaum yang lapar dan cemas? Tentunya tak mungkin ada pengamanan yang efektif sekalipun juga mengandalkan pengamanan militer yang notabene terbatas. Penjaga yang penulis maksud adalah nelayan karena dengan jumlah dan cakupan wilayah yang besar, nelayan lah yang mengetahui pertama kali ada kapal asing masuk dan mencuri ikan.Â
Nelayan juga yang pertama tahu akan ada badai atau gelombang pasang. Nelayan lah yang pertama tahu ada sesama nelayan yang menggunakan bom ikan, trawl atau praktik perikanan yang dilarang lainnya sementara itu kekuatan pengamanan militer hanyalah supporting system yang berjalan secara periodik, dan lebih dari itu bukankah seperti itu seharusnya terjemahan sistem pertahanan semesta bila dilihat dari perspektif efektivitas.
Maka kesejahteraan nelayan merupakan resep mujarab untuk menjaga laut seluas Indonesia punya, dengan menggunakan istilah Satria, nelayan sejahtera adalah national security belt (Satria, 2009). Lalu bagaimana membangun desa-desa pesisir yang kebanyakan adalah kantong kemiskinan dengan segala turunan permasalahannya.
Kemiskinan Nelayan dan Masyarakat Pulau Kecil
Pertama, dari sisi kebijakan, mainstreaming pembangunan pesisir harus menjadi fokus utama karena hal itu melekat dengan perencanaan pembangunan (ibid). Kewajiban daerah untuk menyusun rencana tata ruang, rencana strategis pengembangan wilayah pesisir, rencana zonasi, rencana pengelolaan dan rencana aksi adalah kemajuan yang besar sejak terbitnya UU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU tentang Pemerintah Daerah, UU Desa dan yang termutakhir, UU Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.
Kedua, penguatan kelembagaan desa sebagai pengelola common resource pesisir dan darat dalam wilayah desa mereka. Hal ini termasuk kemelekatan dengan hak-hak masyarakat sampai pada hak ekslusi (menentukan siapa yang bisa memanfaatkan) yang menyertainya (Schlager&Ostrom, 1992) Asosiasi masyarakat pesisir atau nelayan juga vital dikembangkan pada tahap kedua ini.
Ketiga, perlindungan aset nelayan tradisional dan masyarakat pesisir baik berupa tanah dan lahan secara efektif yang ditetapkan dengan aturan desa yang formal dan diakui pemerintah. Keberpihakan dan tindakan afirmatif menjadi tekanan di sini agar pemerintah selalu mengedepankan kebutuhan dan kepentingan warga desa pesisir untuk mempertahankan bentang alam dan akses terhadap sumberdaya alam pesisirnya. Hal ini diperkuat oleh argumen Bryant&Bailey (1997) bahwa perubahan lingkungan tidaklah bersifat netral melainkan suatu bentuk politicised environment di mana banyak aktor terlibat mulai dari lokal hingga global. Fungsi negara pada tahap ini adalah memastikan perlindungan lingkungan berjalan di atas kelembagaan tradisional yang ada sebelumnya guna membentengi kawasan pesisir dari pembangunan oleh aktor-aktor ekonomi raksasa (Bryant&Bailey, 1997)
Yang keempat adalah promosi untuk melakukan diversifikasi mata pencaharian sehingga saat musim tak memungkinkan bagi masyarakat pesisir untuk melaut, nafkah ganda dengan melakukan pekerjaan lain dapat terjamin untuk dilakukan. Asumsinya jika perlindungan terhadap aset lahan sudah berjalan efektif.
Penutup
Keempat tahap di atas akan berjalan efektif dengan langkah terakhir yakni pembentukan pasar dan insentif infrastruktur berbasis perikanan sehingga seluruh transaksi dapat dilakukan di pasar-pasar lokal. Intinya adalah penciptaan jaminan ketersediaan rantai pasok mulai dari permodalan yang mudah diakses sampai pasar yang terbuka dan tak menimbulkan biaya besar.
Bila skema ini berjalan maka apa yang dicitakan untuk membangun benteng maritim yang kuat dengan nelayan yang sejahtera akan tercipta. Apa yang telah dilakukan Jepang dengan membangun kedaulatan nelayannya sebagai ikon pengelola laut dan pesisir yang berdaulat dapat ditiru. Yang dibutuhkan hanya niat baik untuk meningkatkan ketahanan nelayan, yang berarti ketahanan negara juga.