Indonesia dalam Ruang Gelap Globalisasi
Pada masa ini terasa sulit menemukan keindonesiaan yang genuine, yang merdeka dari atribut dan kemelekatan dengan kekuatan besar yang dijadikan sebagai sandaran bagi perjalanan bangsa ini. Saat ini seluruh sendi kehidupan bangsa tak ada yang bebas dari himpitan dan tekanan eksternal sehingga memaksa bangsa Indonesia hanya memiliki sedikit kebebasan untuk menemukan formulasi terbaik bagi tujuan mulia kemerdekaan yang dibangun di atas darah dan air mata. Ketiga trinitas raksasa telah menelikung tubuh bangsa sehingga sedemikian sulit untuk bergerak secara optimal guna menemukan moral peradaban bangsa dan kehendak untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial. Ketiga trinitas tersebut adalah kapitalisme, liberalisme dan globalisasi yang tak bisa dibantah telah mencengkeram kuat tubuh bangsa ini selama berpuluh tahun.
Globalisasi hari ini merupakan sebuah kata yang bisa mendeskripsikan betapa rapuh, tak pasti dan frustrasinya identitas sebagai konsekuensi dari individualisasi dalam dunia yang terbuka dan saling berjalin dimana kita semua anak bangsa hidup. Perlu ditegaskan, globalisasi di sini bukan hanya soal masifnya teknologi informasi atau soal distribusi barang lintas negara melainkan sebuah ruang imajiner berskala global dimana setiap negara terhubung dalam relasi kuasa antara yang kuat dan yang lemah namun hubungannya bersifat saling meniadakan. Globalisasi tak berjalan sendirian, ekspansi kapitalisme pasar bebas mendorong hadirnya pemain-pemain kelas internasional -sebagai aktor utama yang dalam hal ini bisa diwakili oleh korporasi multinasional (MNC) dan organisasi internasional- dalam halaman negara kita dan mengatur anak-anak kita. Di sisi yang lain, globalisasi menyurutkan peran negara dalam mengelola kesejahteraan dan keamanan anak-anaknya.
Globalisasi berarti pagar rumah kita sudah terbuka lebar sehingga siapa saja dapat melihat dan bergumul di dalamnya, sebuah dunia yang terbuka yang diklaim sebagai pemenang atas dunia tertutup yang pernah dikuasai oleh kaum sosialis-komunis pasca perang dingin. Sekarang inilah yang kita miliki, sebegitu terbukanya rumah kita sehingga halaman kita tampak benderang dalam mitos kampung global yang indah, modern, maju dan paripurna.
Apakah Indonesia sudah sampai sejauh itu berada dalam cengkeraman trinitas raksasa tadi, kita dapat setidaknya melihat dari sejauh mana empat mesin globalisasi telah bekerja di Indonesia bila kita menggunakan konsepsi Luigi Tomasi (2001) dalam The New Horizons in Sociological Theory and Research: The frontiers of sociology at the beginning of the twenty-first century. Yang pertama adalah terbentuknya pasar baru, liberalisme ekonomi menuntut adanya pasar terbuka karena keterbukaan pasar menjamin efisiensi. Maka segala aturan tarif dan pajak dihilangkan atau seminimal mungkin melalui deregulasi serta privatisasi. Hal ini merupakan resep pertama menuju kesejahteraan atau kekayaan. Konsekuensinya adalah akumulasi kekayaaan akan terjadi dan sekelompok orang akan lebih kaya dari yang lain, ketimpangan meningkat. Fenomena lain adalah terjadinya saling makan antar pemilik kapital, yang kuat akan mengalahkan yang lemah. Mode survival of the fittest dan creative destruction akan mengemuka jelas akibat pasar baru yang terbuka ini.
Mesin kedua adalah teknologi baru. Teknologi informasi tak terbendung akan mengisi setiap kebutuhan orang: wi-fi, internet murah, kabel optik, semua memudahkan terjadinya transfer informasi. Yang ketiga adalah agen atau aktor baru. Globalisasi difasilitasi oleh MNC, pemerintah, beberapa individu berpengaruh, NGO internasional, dan pengguna rutin internet. Di antaranya, MNC adalah aktor terpenting dibanding yang lain karena mampu menyediakan investasi asing. Saat ini semua negara berlomba berebut investasi namun orientasi keduanya berbeda, MNC menghendaki keuntungan maksimal sementara negara menginginkan pertumbuhan ekonomi, sungguh pasangan yang klop meski orientasinya berbeda. Disadari atau tidak, peran negera kemudian berubah, negara tak lagi menjadi pelindung kepentingan publik melainkan hanya menjadi instrumen kepentingan swasta, bahkan menjadi lebih ekstrim lagi, menjadi centeng korporasi (Wibowo 2010). Sedangkan mesin keempat adalah norma baru. Liberalisme ekonomi dalam bentuk kapitalisme pasar bebas juga beriringan dengan berkembangnya demokrasi liberal dan demokrasi ini ditransfer langsung dalam relasi-relasi internasional. Dalam dunia globalisasi, relasi antar negara diatur dengan perjanjian bilateral atau multilateral atau jenis konvensi lain, Indonesia harus tunduk dengan ketentuan multilateral, tak bisa tidak. Dari keempat mesin kebaruan tersebut, kita dapat melihat apakah Indonesia sudah memenuhi kondisi di empat aspek tadi, bila menurut Anda Iya berarti sudah sahlah kita sebagai sebuah periferi atas lingkaran kekuatan pusat internasional.
Mencari Pancasila
Ikut mengingat 1 Juni 201sebagai hari dimana tujuh puluh satu tahun yang lalu Pancasila dirumuskan oleh beragam wakil negarawan, pertanyaan yang kemudian muncul: Di manakah Pancasila hari ini? Apakah Pancasila sebagai dasar negara dan fondasi moral, ekonomi dan politik sudah waktunya ditegakkan lagi agar identitas kebangsaan dapat kita ambil kembali? Untuk itu, uraian panjang dalam Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila karya monumental Yudi Latif (2012) dapat digunakan sebagai alat bantu bagi kita untuk melongok kembali karya besar bernama Pancasila.
Bertahun-tahun cita-cita mulia dalam karya besar ini diingkari melalui pengkultusan Pancasila seolah-olah dogma keramat atau diklaim sebagai simbol penguasa tertentu sehingga Pancasila dipandang sebelah mata dan bukan sesuatu yang menarik untuk dikaji secara mendalam. Ini tentu suatu kesalahan besar yang dilakukan bangsa ini karena Pancasila adalah buku terbuka yang bisa dibaca bersama oleh setiap warga bangsa ini, siapapun kelompoknya untuk membaca sejarah bangsa. Pancasila harus diselami sebagai butir-butir falsafah yang mewakili bangsa Indonesia tanpa membebek pada kekuatan lain di luar Indonesia. Terbayang pada saat Soekarno memandang bintang di langit semalam sebelum pidatonya tentang dasar negara, yang dilakukannya adalah menggali dari sejarah bangsa, menggali dari bumi Indonesia tentang apa dasarnya menyatakan diri sebagai bangsa Merdeka.
Ironisnya setelah Sukarno dan para negarawan di seputar lahirnya Pancasila tak lagi berada di kekuasaan, substansi Pancasila ditinggalkan, falsafah dan pilihan ekonomi politik bangsa direbut oleh penguasa baru dan justru membawa perjalanan bangsa semakin menjauh dari substansi Pancasila sendiri. Kita menjalani sebuah fase terang benderang di luar namun gelap di dalam. Sebuah dialog metaphorik dalam buku ini mungkin bisa menggambarkan bagaimana kondisi bangsa Indonesia di tengah globalisasi saat ini: Seseorang bertanya pada sekelompok anak negeri yang sedang sibuk mencari sesuatu di halaman, “Apa gerangan yang kalian cari?” Anak-anak negeri itupun menjawab, “Kunci rumah”. “Memangnya di mana hilangnya kunci itu?” Jawab anak-anak itu, “Di dalam rumah kami sendiri”. “Lantas, kenapa kalian mencarinya di luar?” Jawabannya, “Karena rumah kami gelap” (Latif 2012: 49-50)
Krisis yang bangsa ini alami merupakan akibat yang tak jauh dari apa yang dirumuskan oleh Mahatma Gandhi (1925) sebagai tujuh dosa sosial (the seven deadly social sins) yakni politik tanpa prinsip; kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas dan peribadatan tanpa pengorbanan. Seharusnya jika sejak awal Pancasila dijalankan secara konsekuen, tujuh dosa sosial dapat dihindari. Pancasila memang merupakan sebuah visi baru sebagai suatu negara-bangsa namun berakar dari sejarah dan kekayaan buminya sendiri sehingga tak perlu mencari jawaban di luar yang jelas tak akan menemukan apa-apa.