Namanya Udin. Tak pernah aku ketahui dengan pasti siapa nama lengkapnya, entah Jalaludin atau Saefudin atau Nurdin. Orang seputaran kampung ini juga tak pernah mengetahui dengan persis siapa nama lengkapnya. Menurut pak dukuh, Udin tak pernah bikin KTP. Meski sudah berkali-kali disuruh untuk membuat KTP dengan segala argumentasi hukum sampai yang berbau klenik, tetap tak mau Udin mengajukan pembuatan KTP. Penanda lain seperti SIM tampaknya juga tak ada karena Udin cuma punya sepeda jengki butut. Jelas tak perlu SIM untuk menggenjot sepeda jengki.
Udin tak ada keluarga, di rumah hanya sendirian. Tak pernah ada tamu yang datang ke rumahnya. Satu-satunya yang selalu datang ke rumah Udin adalah para peronda yang tiap hari memutari desa untuk mengambil uang jimpitan 500 perak. Tapi mereka datang bukan untuk Udin melainkan cuma mau mengambil uang jimpitan tadi. Selain itu mungkin cuma sebangsa lalat, tawon, nyamuk atau tikus got saja yang suka mampir ke rumahnya.
Dalam pandangan Udin, semua orang desanya adalah pecundang, para manusia gagal yang menyerah pada materialisme dan kemunafikan. Tak sudi dirinya bergaul dengan para belatung seperti itu. Udin, sudah 40 tahun hidup di dunia, berperawakan kecil kurus tapi sehat, lulus SMA kira-kira 20 tahun lalu, entah di mana SMAnya tapi yang pasti setamat SMA ia bekerja keras dan dapat meneruskan kuliah, entah juga dimana. Saat itu apa saja akan dia lakukan, mulai dari membersihkan rumput sampai memperbaiki VCD karena dia memang cukup trampil. Dari seluruh perjalanan hidupnya, tak pernah ia melakukan sesuatu yang tercela dan melawan hukum. Merugikan orang lain adalah haram hukumnya menurut Udin.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, tetangga sebelahnya makin tumbuh, rumahnya makin besar, tetangga yang awalnya tampak culun, muda dan naif, saat ini muncul seperti seorang cendekiawan yang dewasa dan matang, yang dahulu anak-anak yang jorok dan brisik hari ini berubah menjadi para mahasiswa yang sayangnya masih saja brisik, para gadis kecil di tahun-tahun lalu masih polos saat ini tumbuh dengan cepat dan suka memamerkan tonjolan dadanya dengan pongah, dan para orang tua dahulu di hari ini tampak makin bersih karena selalu berada dalam mobil merekayang senantiasa ber-AC.
”Belatung,” pikir Udin.
”Mereka orang-orang yang cuma bisa memamerkan kekayaannya tapi miskin nurani. Memang mereka suka ke mesjid atau gereja tapi mereka terus menumpuk kekayaan diri, munafik!” umpat Udin lagi.
Di kampung, tinggal juga Haji Rusli, tentu saja dengan anak-anak, pembantu, dan sopir-sopirnya. Orang terkaya di kampung, bergarasi dua, bermobil 5, rumah seluas 3000 meter persegi bertembok tebal dengan gaya modern. Haji Rusli orang yang ramah, dermawan, taat beribadah, dan seorang yang aktif bermasyarakat. Pokoknya orang yang disukai oleh masyarakat. Tipe orang yang sempurna di kampung: senior, kaya, baik, pintar bergaul dan tidak sombong.
Tiap hari, Udin memandangi kesibukan yang terjadi di rumah Haji Rusli, pagar terbuka berkali-kali karena mobil keluar masuk, belum lagi tamu-tamunya.
”ck..ck..ck..apa sih kerjaan pak haji nih? makan tanah siapa ya dia?” tak habis pikir si Udin.
”Kasihan anak-anaknya, masih kecil sudah diberi kemewahan seperti itu, tak heran jika nanti anak-anaknnya cuma jadi benalu, ngga perlu susah payah kerja sudah kaya mereka itu,” sesal Udin lagi.
Jika sore, Udin melihat sang sopir pak Haji naik motor cina nya, pulang ke rumah. ”Wajah mereka tampak capek, tak bahagia tampaknya. Mau-maunya dipekerjakan kayak kuli gitu!” nanar sedih mata Udin. Pembantu mereka tak tampak berbeda di mata Udin, kuyu dan kering. Jika istri dan anak-anak Pak Haji tampil cantik dengan busana keluaran butik. Pembantunya yang berjumlah sepuluh orang dikenali oleh Udin dari kaos dan baju murahan yang pasti dibeli di abal-abal. ”Betapa tak adilnya, di jaman seperti ini masih ada feodalisme, majikan cantik pembantu hancur lebur penampilannya,” gumamnya.
Bimo, seorang pengusaha warung ayam penyet juga warga kampung ini, selain dikenal sebagai pemilik warung ayam penyet, Bimo dikenal juga sebagai preman. Tatonya di mana-mana, meski norak tapi masih tetap menghadirkan aroma mengerikan jika ditambah dengan paduan badan besar dan rambut gondrongnya. Satu hal, Bimo membenci Udin. Udin di mata Bimo adalah sarjana gagal, kere yang sombong, sok tahu, individualis dan lembek. Berpuluh tahun Bimo tahu bahwa Udin tak pernah berubah, hidupnya gitu-gitu saja dan merasa dia tak memerlukan siapapun karena dia bisa menyelesaikan semuanya. Tapi Udin tak pernah bikin gara-gara dengan Bimo maupun orang lain, maka tak ada alasan untuk Bimo menghajar Udin. Yang pasti dia benci sekali Udin, entah kenapa.
Sampai pada suatu sore, saat Udin kembali mengamati rumah Haji Rusli, Bimo lewat untuk menyiapkan gerobak ayam penyetnya.
”Ngapain mas Udin?” sapa Bimo, agak berbasa-basi.
”Eh mas Bimo, itu Haji Rusli, rumahnya sudah kayak istana, ilmu pun tinggi tapi kelakuan kaya raja saja. Pelayan di mana-mana, pembantu bolak-balik harus buka pintu, anak-anaknya begitu manja sampai buka pintu pun gak mau. Kalau mobil mau masuk, mereka hanya hidupkan klakson.. tan tin tan tin..berkali-kali dengan tak sabar memanggil pembantu untuk bukakan mereka pintu. Kenapa gak turun dan buka sendiri sih, dasar haji koruptor,” jelas Udin.
”Lalu apa urusanmu dengan itu?” tanya Bimo. ”Para pembantu itu bekerja dengan senang meski capek, dan mereka dapat duit dari Haji Rusli sehingga anak-anak mereka bisa sekolah, pak Haji orangnya baik, memang anak-anaknya beda dengan Haji Rusli, tapi sekali lagi, apa urusanmu dengan duitnya Pak Haji?” suara Bimo.
”Duit korup itu pasti,” tuduh Udin.
”Kamu pikir kamu bisa berikan lebih baik? Mampu kamu bayar orang, kamu saja tak mampu mengubah hidupmu. Tak ada orang yang pernah kamu dermai, tak ada orang kampung ini yang pernah kamu bantu , kamu tu siapa?”, kejar Bimo.
”Kamu sendiri pasti dapat bocoran kekayaan Pak Haji, kalau tidak, kenapa kamu jadi ngotot gitu?” balik Udin.
Bimo tak perlu waktu lebih lama lagi. Ditinggalkan gerobaknya, menghampiri Udin dan sebongkah kepalan sekeras kelapa tiba-tiba menghantam pipi Udin. Telentang tak berdaya, beringsut, mencoba bangkit dan bergerak kembali ke rumah. Tak ada marah dan emosi berlebihan dari Udin.
“Kesian preman kampung tak berpendidikan itu,” desis Udin.
Udin kembali ke rumahnya, sepi, sendirian. Membuka buku yang baru dibelinya kemarin, dan meneruskan membaca dalam sepi hening dan sendiri. Ruang ini adalah surga karena di luaran hanya berisi setan munafik dan para manusia tak berotak yang mau-maunya jadi pion materi dan iklan.
Udin aman dalam kesendirianya.
Kebisingan dunia luar adalah arena para manusia rendah.
Tapi Udin terasing, apakah mampu dia mengubah dunia?
Udin tetap diam, sambil memaafkan tindakan Bimo tadi, terpejam, dan berpikir kembali bahwa dia pun belum melakukan apa-apa. Seorang preman kampung macam Bimo pun mampu membangun sesuatu, tapi dia, seorang sarjana..yang dia punya hanya buku dan catatan-catatan kusam yang bahkan tak pernah dibaca orang.
Udin tersenyum, getir. ”paling tidak aku tak ikut merusak dunia,” lalu dia terlelap.
Dan Udin itu adalah aku. (ll)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H