[caption id="attachment_82649" align="alignleft" width="150" caption="wikipedia.com"][/caption] Selain dikenang sebagai tahun bencana alam, tahun 2010 mau tak mau juga dikenang sebagai periode buruk bagi kebebasan agama. Sebenarnya tak terlalu mengejutkan apa yang disampaikan oleh Moderate Muslim Society, sebuah lembaga studi dan kajian komprehensif atas kehidupan sosial keagamaan di Indonesia pada tanggal 22 Desember lalu yang melaporkan bahwa pada tahun 2010 saja tercatat 81 kasus intoleransi beragama, separuhnya (49 kasus) terjadi di wilayah yang selama ini memang sering terdengar melalui media sebagai lokasi tindakan kekerasan berlatarbelakang agama yakni Provinsi Jawa Barat khususnya di Bekasi, Bogor, Garut, dan Kuningan. Jumlah kasus ini meningkat dari “hanya” 11 kasus di tahun 2009 lalu. Masih menurut MMS melalui ketuanya menyatakan bahwa terdapat dua faktor kenapa eskalasi kekerasan tinggi di Jawa Barat yakni adanya pembiaran oleh negara, dan faktor kedua adalah rendahnya pendidikan toleransi beragama di provinsi ini (Kompas, 22 Desember 2010).
Dalam laporan yang sama, hal serupa juga ditemukan oleh Wahid Institute yakni 63 kasus pelanggaran kebebasan beragama. Bagian paling menarik dari laporan Wahid Institute adalah proporsi pelaku terbesar yakni 72% pelanggar toleransi adalah aparat negara melalui pemerintah daerah/kota, satpol PP dan kepolisian. Pelaku lain adalah ormas yang notabene bukan aparat namun melakukan aksi kekerasannya dengan restu aparat jika dilihat dalam konteks aparat yang membiarkan saja pelaku kekerasan agama ini beraksi brutal. Rincian jenis pelanggaran yang dilakukan adalah pembatasan dan pemaksaan meninggalkan keyakinan (25 kasus atau 40%), pencabutan ijin atau pelarangan menggunakan rumah ibadah (19 kasus atau 30%), serta pembiaran atas praktek kekerasan suatu kelompok/ormas terhadap umat beragama (14 kasus atau 22%), sisanya adalah intimidasi.
Asumsikan bahwa tak ada tindakan apapun pada detik ini di awal 2011 ini maka bisa dipastikan bahwa pada refleksi tahun 2011 nanti akan ada laporan sejenis yang mengindikasikan bahwa tingkat aksi intoleransi meningkat. Pada tahun 2009, MMS mencatat 59 kasus intoleransi, ini berarti bahwa sekitar 30 persen kenaikan jumlah kasus intoleransi ini hanya dalam setahun (Kompas, 21 Desember 2010). Sementara prediksi lain, diperkirakan korbannya masih sama saja yakni umat Kristiani, Ahmadiyah, dan kelompok yang dituduh bid’ah. Perilaku terburuk telah mereka alami dan mungkin akan terus begini jika aparat negara pimpinan pak Beye ini justru jadi pemain atas intoleransi.
Apakah memang negara buta atau sengaja membuat atas hal ini? Dimana para politisi yang katanya cerdas itu? Negara yang justru harus jadi wasit kenapa malah jadi pemain atas intoleransi ini? Secara teoritik bisa dikatakan bahwa negara dalam hal ini sudah mengkondisikan negara ini menuju pemusnahan massal atau genosida karena semua persyaratan untuk dilakukannya genosida sudah ada. Menurut Karuna Center for Peacebuilding terdapat beberapa tingkatan intoleransi yakni; a) Restriction atau penolakan atas status dan akses terhadap suatu kelompok; b) De-humanization atau merendahkan kelompok agama lain; c) Opression atau pengabaian hak-hak sipil, politik, dan ekonomi; d) Act of Aggresion atau penyerangan secara fisik; dan e) Mass Violence atau pengorganisasian dalam skala besar untuk melakukan kekerasan massal (Zuhairi dalam Kompas 21 Desember 2010). Jika semua tingkatan itu sudah nyata-nyata terjadi maka level berikutnya adalah pembunuhan secara fisik pada kelompok atau orang yang tidak disukai untuk berada dalam suatu wilayah maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa genosida hanya menunggu waktu jika negara tetap tak melakukan apa-apa.
Hal ini sangat serius dan tak bisa dianggap remeh hanya sebatas ketaksukaan perihal membangun rumah ibadah atau cara sholat semata melainkan sebuah kebencian yang terbangun dalam ideologi dan perilaku. Mari kita tarik kembali dari pembelajaran dua bulan sebelum rilis MMS dipaparkan ke publik. Bulan September 2010 organisasi lain bernama Center for the Study of Islam and Society melaporkan hasil studi dalam sepuluh tahun (2001-2010) mengenai indikasi makin meningkatnya tingkat intoleransi masyarakat Indonesia khususnya pada masyarakat muslim yang notabene adalah mayoritas. Survey dilakukan pada 1.200 muslim dewasa baik laki-laki dan perempuan mewakili seluruh negeri, dan hasilnya 57,8 % menyatakan mereka menolak pembangunan gereja maupun tempat ibadah agama lain. Lebih dari seperempat atau 26,7 % menyatakan mereka keberatan jika anak-anak mereka diajar atau dididik oleh non-muslim.
Hasil survey di atas tentu saja adalah berita gembira bagi kelompok-kelompok radikal yang memang ingin mencengkeram Indonesia dalam konflik agama selama ini. ”Intoleransi agama dapat mendorong orang untuk menjadi radikal, bergabung dengan jaringan teror, atau paling tidak mendukung agenda-agenda fundamentalis yang mampu melangsungkan kekerasan atas nama agama” begitu tambah Jajat Burhanudin, ketua lembaga pelaksana survey ini (thebalitimes.com, 29 September 2010). Di sisi lain ini adalah berita buruk bagi komunitas minoritas maupun kalangan Islam moderat yang sampai saat ini masih mendominasi karakter muslim di Indonesia.
Kebebasan dapat diartikan sebagai ketiadaan penghalang, kontrol, belenggu, atau tekanan. Atas apa yang terjadi dalam laporan tadi jelaslah jauh dari harapan akan adanya kebebasan, khususnya dalam hal beragama jika dilihat dari dua aspek yakni aspek sosial maupun pemerintahan. Dalam kasus kita tadi kita menemukan bahwa tensi atau ketegangan sosial justru kebanyakan diciptakan oleh negara dari level terendah sampai tertinggi. Tentu kita masih ingat ucapan Menteri Agama Suryadharma Ali yang menyatakan bahwa bagaimanapun Ahmadiyah tak boleh dan tak bisa dibiarkan tumbuh di Indonesia, bagaimana kita bisa memahami ada seseorang sekapasitas menteri yang tak memiliki perspektif toleransi dalam ucapannya. Ironi sekali karena justru ucapannya itu yang meningkatkan ketegangan terhadap kelompok minoritas sehingga yang terjadi kemudian adalah aparat polisi mengawal proses penghancuran rumah ibadah milik Ahmadiyah. Alangkah gilanya negeri ini?
Rasanya percuma jika solusi dialog ditawarkan kepada pihak pelaku yang selama ini sering mempraktekkan perilaku kekerasan ini, mereka bukan tipe orang yang mau hadir di seminar atau diskusi untuk adu argumentasi secara ilmiah. Butuh kebijakan politik yang tegas dalam hal ini dari negara agar situasi ini tak memburuk. Pada era Orde Lama tak tercatat kejadian konflik agama, Orde Baru dicatat sebagai era militeristik di awal namun berkompromi dengan kelompok radikal di akhir periodenya, dan pasca Orde Baru bisa dikatakan adalah awal pesta poranya kelompok radikal atau garis keras. Saat ini apa yang bisa diharapkan ketika justru ketika SBY menjalin hubungan dengan salah satu kelompok Islam dalam pemerintahan koalisinya, kekerasan berlatarbelakang agama justru meningkat. Mampukah negara dalam hal ini menjadi mediator antara kelompok-kelompok radikal dengan kalangan moderat? Rasanya jika kita melihat bagaimana cara berkomunikasi Suryadharma Ali (menteri Agama) atau MUI yang baru-baru ini menilai bahwa hiasan natal di toko-toko berlebihan, harap dimaklumi jika saya tetap pesimis. Agama dalam politik Indonesia saat ini sangatlah manipulatif dan tendensius, partai berlogo agama belum tentu membawa semangat perdamaian sejati.
Seperti biasa, seperti kejadian-kejadian sebelumnya, masyarakat sipil lah yang masih memiliki kekuatan besar dalam membangun budaya toleransi ini. Berapa kali tampak bahwa negara ini lumpuh dan impoten seolah tak mampu berbuat apa-apa terhadap para pelanggar hukum maupun hak-hak sipil dan politik warga, dan pada saat itulah maka masyarakat lah yang bergerak dan memperbaiki. Tantangan terbesar adalah bagaimana membangun kekutan pro toleransi beragama lebih besar untuk menandingi perselingkungan menjijikkan antara negara dan preman bergaya relijius ini. Sampai tahun ini kita masih bisa berharap bahwa kelompok moderat di kalangan sipil tetap kuat dan mendominasi perilaku sosial keagamaan warga, serta secara politik ke depan kita mengharapkan hadirnya kekuatan-kekuatan yang mampu berdiri di atas semua kelompok untuk menghindari tingkat kekerasan lebih tinggi dalam beragama.
Sebagai akhir, untuk saya, tak ada yang perlu diselamati dari tahun 2010 dalam hal kerukunan dan toleransi, dan mari kita sama-sama mengembangkan wawasan seluas-luasnya mengenai agama, agama apapun itu, mau bidah atau tidak bukanlah urusan kita karena tak ada yang salah untuk mengenal karena jika tak mengenal tak mungkin bisa memahami. Mungkin orang yang menghancurkan rumah ibadah itu tak pernah tahu apa yang dihancurkannya dan mengapa, mobilisasi sangatlah mudah dilakukan pada orang-orang dengan pengetahuan terbatas. Kedua adalah mengembangkan pendidikan toleransi berbasis keluarga dan masyarakat sekitar kita karena insitusi pendidikan formalpun sudah diracuni oleh ideologi ekslusif. Melalui hubungan dan pendidikan di wilayah terkecil inilah nilai toleransi dapat dikenalkan, dikembangkan, dan dijadikan tameng sosial untuk menghadapi gempuran masif garis keras maupun kenaifan selingkuhannya yakni negara (ll)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H