Sambil menuliskan ini, dengan kerendahan hati saya menyampaikan respek setinggi-tingginya pada pihak-pihak yang tengah berjuang menyelamatkan umat manusia dari ancaman pandemi Virus Corona, sehormat-hormatnya.
Namun di sisi lain terbersit kegundahan, jika semua pageblug ini berakhir (dengan penuh harap!.pen) saya bertanya-tanya, apakah kemudian dunia akan berjalan seperti biasa?Â
Jalanan akan kembali macet, sawit-sawit bermunculan di hutan-hutan tropis, alat berat kembali menghempaskan debu dari lubang-lubang tambang, mall akan penuh sesak kembali, perdagangan satwa liar kembali marak, tsunami investasi akan kembali dipuja-puja untuk masuk? Seperti jamaknya  yang terjadi pasca bencana besar di negeri ini, semua akan lupa apa yang menjadi pangkal bencana.Â
Apakah para ekonom dan politisi akan bahu-bahu ngotot berargumen bahwa bencana adalah eksternalitas dari pembangunan, bencana tidak ada hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi, dan bahwa teknologi modern sekali lagi menang atas alam?
Herman Daly, seorang ekonom ekologis  mengatakan bahwa manusia saat ini hidup dalam dunia yang sudah penuh sesak oleh kepentingan antropogenik sehingga ruang bagi sistem lain yakni ekologi  (nature) terampas. Ketidakseimbangan ini memunculkan ketegangan karena alam juga menuntut ruang, dan Corona Virus bisa jadi satu indikasi bahwa saat ini alam sedang melakukan kickback atau memukul balik manusia untuk mengambil kembali hak atas ruangnya.Â
Secara kebetulan, saya mendapat bacaan dari buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme karya Fred Magdoff dan John Bellamy Foster (2017) yang pada bagian pengantarnya juga menyitir "Teorema Ketidakmungkinan" dari Herman Daly yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mungkin bisa tumbuh secara tidak terbatas dalam lingkungan yang terbatas.Â
ini berangkat dari kritiknya terhadap mustahilnya memperluas modus produksi  dan konsumsi rakus gaya AS ke wilayah lain dunia karena dunia telah berada di di ambang batas daya dukungnya.Â
Namun apa yang terjadi di dunia saat ini, baik di negara kapitalis utama (core capitalism) sampai kapitalisme pinggiran (peripheral capitalism) seperti Indonesia dan negara miskin lain, pertumbuhan justru digenjot, eksploitasi sumber daya ditingkatkan, atau neraca ekspor harus dipacu. Mitos pertumbuhan diabaikan seolah dunia masih penuh dengan sumber daya bagi 7 milyar orang lebih saat ini.
Sulit sekali untuk mengingatkan kembali bahwa kapitalisme yang memuja produksi dan konsumsi tanpa batas (bukan berdasarkan kebutuhan) dan akumulasi kapital sebesar-besarnya adalah sumber masalah pada lingkungan dan manusia saat ini, bukan solusi. Harari dalam bukunya Homo Deus (2018) menyampaikan kembali bahwa salah satu ancaman terbesar bagi ras manusia saat ini adalah virus-virus baru yang tak diketahui dari mana asalnya.Â
Dan kita telah menyaksikan bahwa makin lama, kekuatan virus ini makin kuat, pun globalisasi semakin memudahkannya karena interaksi ruang antar negara sudah sangat tipis bahkan hampir tidak ada. Sejak SARS, Flu Burung, Ebola, dan Flu Babi kekuatan mematikannya makin besar, dan saat ini Corona menelanjangi manusia bahwa kita tidak siap dan tidak mampu mengatasinya (setidaknya menghabiskan energi besar secara global kalaupun bisa ditangani) dan kesemuanya berhubungan dengan satwa.Â
Artinya, ada interaksi antara manusia dan non-manusia yang seharusnya tidak terjadi, seperti layaknya pada masa sebelum ada domestikasi satwa dan perdagangan satwa.