[caption caption="Sumber:World Resource Institute"][/caption]
Tanggal 22 April 2016, untuk kesekian kalinya kita memperingat Hari Bumi, hari dimana kita mengingat bahwa pada suatu hari komunitas dunia menginginkan terwujudnya bumi, rumah tinggal seluruh makhluk hidup sebagai tempat yang layak bagi kemanusiaan. Tentu sebuah itikad yang mulia dan rasanya kita semua akur dengan niatan ini namun yang tak bisa dilupakan bahwa membangun bumi adalah mengatur politik negara dan antar negara. Bumi bukan sebuah global common resource atau sumber daya milik bersama yang dikelola dan dilindungi bersama demi kemanusiaan universal. Bumi adalah tanah, udara dan air yang sudah dikapling-kapling oleh entitas negara dan karenanya setiap tindakan yang dilakukan terhadap bumi tentu memiliki dimensi politis sebuah negara, yang tentunya tak secara naif kita yakini ditujukan bagi kemanusiaan universal. Amerika Serikat dan Cina dengan prestasi pembakaran emisi terbesar dunia tak serta merta mendistribusikan manfaat dari emisi tersebut ke seluruh dunia melainkan ke masyarakat Amerika Serikat sendiri khususnya masyarakat konsumsi tingginya dan korporasi raksasanya, namun ironisnya risiko yang ada dari emisi karbon dan penghancuran lingkungan tersebut dibagi rata ke seluruh dunia. Jargon environmentalis yang menyatakan sikap “not on my backyard” dalam praktik perusakan lingkungan otomatis tak lagi relevan karena kita tahu bahwa bukan lokalitas lagi sumber masalahnya melainkan dampaknya yang ikut terbagi secara global. Beck (1992) merumuskannya dengan ungkapan “ kemiskinan adalah hirarkis, kabut asap adalah demokratis” untuk mendeskripsikan ironi lama yang tak disadari bahwa kesejahteraan tak bisa dinikmati oleh semua orang namun dampak dari kegiatan perusakan lingkungan itu dibagi rata.
Lalu apa sumbangan modernisasi terhadap bumi hari ini? Apakah sebuah progress menuju masyarakat maju ala Rostow, sudah tinggal landaskah kita? Atau malah kita sedang menjalani modernisasi sebagai “creative destruction” versi Schumpeter? atau malah sebenarnya kita mempercayai saja adanya konsep “modernisasi” sementara kita tidak yakin bagaimana bentuk “modern “ itu? Untuk mencoba memahami bagaimana modernisasi hari ini, hari lalu dan masa depan modernisasi, thesis Ulrich Beck dapat kita gunakan sebagai lensa.
Beck dalam bukunya The Risk Society: Toward New Modernity menjelaskanbahwa dunia saat ini telah menjalani tiga sejarah narasi penting yakni fase pra-industrial, fase industrial, dan yang terakhir saat ini adalah masyarakat risiko. Fase pra-industri adalah fase dimana kejadian bencana selalu dihubungkan dengan causa yang berasal dari luar, bersifat lokal dan bersifat sementara sampai akhirnya tertib sosial akan berjalan kembali. Fase industrial adalah fase dimana narasi sejarah masyarakat menempatkan bahwa selain penyebab eksternal, terdapat faktor kebiasaan maupun perilaku manusia yang turut menyebabkan bencana atau masalah sedangkan pada fase masyarakat berisiko adalah fase dimana diakui bahwa bencana dan masalah yang terjadi saat ini merupakan risiko yang diciptakan oleh manusia atau “manufactured risk.” Risiko yang diciptakan ini bersifat luas, holistik dan tak langsung berdampak, dapat berlangsung lama serta bisa jadi berada di ruang gagasan tiap individu (Beck, 1992)
Fase masyarakat risiko sendiri merupakan dampak dari kapitalisme yang gemilang pada sekitar awal abad 20 dimana terjadi industrialisasi dan mekanisasi besar-besaran, munculnya kelas buruh dan masyarakat konsumsi yang tinggi. Namun kemudian terbukti bahwa kapitalisme meninggalkan jejak yang menghancurkan, semakin menguatnya kapitalisme justru membangun kerusakan sistem sosial. Kekuatan uang telah menghancurkan integrasi masyarakat, pengambilan lahan-lahan kerja, pemujaan terhadap teknologi yang men-dehumanisasi, terkurasnya sumber daya alam dan pangan serta rusaknya ekologi. Pada pertengahan abad 20 dunia mengalami krisis ekologis yang parah dan masyarakat menghadapi tekanan besar khususnya untuk menjaga kekuatan modal sosial mereka.
Masyarakat risiko muncul sebagai antitesa atas kapitalisme dan industrialisasi, secara lebih tegas adalah sebagai antitesa modernisme. Modernisme yang berjalan di Eropa, Amerika, Afrika serta Asia terbukti gagal dan meninggalkan limbah industri dan kerusakan sosial yang bersifat massif, lintas negara, lintas masyarakat, serta mematikan kekayaan ekologis. Pada tingkat individu, modernisme juga berdampak pada munculnya kecemasan-kecemasan atas hilangnya kesempatan baik kesempatan kerja, kesempatan mendapatkan kue sumber daya dan kecemasan pada hilangnya rasa aman. Kondisi ini berlangsung lama karena situasi tidak bisa lagi dibalik, beberapa sumber daya tak bisa dikembalikan, dan ini mengonfirmasi bahwa premis “bumi pada akhirnya akan menemukan keseimbangan” adalah tidak tepat. Bumi bisa sakit, hancur dan itu akan menimbulkan kehancuran ekologis pula pada manusia. Penggurunan adalah salah satu contoh, marjinalisasi masyarakat adat sampai mereka musnah dari atas bumi adalah contoh lain, berlubangnya ozon tak bisa menemukan ekuilibriumnya. Maka singkatnya, ekuilibrium hanyalah mitos sementara ekstensifikasi bencana ekologi itu riil (Scoones 1999)
Kita hidup di mana ketidakpastian melingkupi semua peran maupun pengambilan keputusan karena dukungan ekologis telah sangat kecil, setiap pengambilan keputusan dipaksa harus berkompromi dengan semakin mengecilnya kapasitas daya dukung ekologis sementara persoalan lingkungan yang ditinggalkan fase indutrial sendiri belum selesai. Seperti dikatakan oleh Giddens (1991) saat ini kita berada dalam sebuah juggernaut atau kereta yang berjalan tak terkendali, dan pada siapa keputusan atas keselamatan itu berada, bukan lagi bersifat eksternal dan impersonal melainkan ada pada individu itu sendiri . Negara manapun tak bisa dipercaya, private dan kapitalis (yang mengklaim pro-lingkungan sekalipun) tak akan menyelamatkan masa depan manusia meski punya milyaran dolar (Klein 2014) Motif yang berjalan pada era saat ini baik pada sektor ekonomi maupun politik adalah era dimana terjadi ketidakpastian dalam arah ekonomi, politik yang fluktuatif dan ketidakamanan nasional. Singkatnya kita hidup di ‘runaway world’ atau “dunia yang sedang berlari kencang” yang ditandai oleh ancaman bahaya, konflik militer dan ancaman lingkungan.
Modernisasi dan industrialisasi berdampak luas tak hanya pada ekonomi dan politik melainkan pada sistem sosial bahkan sampai yang terkecil yakni keluarga. Selain itu dampak pada masyarakat posmodernisasi adalah ancaman pada perubahan iklim sebagai hasil emisi karbon dan perubahan lahan, sesuatu yang tak terpikirkan pada setengah abad 20. Kita harus mengakui bahwa sejarah pertengahan abad 20 dipenuhi dengan praktik-praktik pemusnahan ekologi, nuklir, kimia dan bahan genetik yang diterapkan pada diri kita sendiri, pun masih ditambah dengan jebakan yang kita buat sendiri yang menempatkan manusia sebagai alat produksi yang pada akhirnya teralienasi dari kerja-kerja berdaulat. Kembali ke Beck, ia merumuskan gambaran tentang apa itu masyarakat berisiko saat ini dengan rumusan: “Masyarakat risiko bukanlah masyarakat yang berorientasi pada “kepemilikan pada yang terbaik” tapi justru pada “pencegahan dari yang terburuk.” Pada masyarakat berbasis kelas, kelompok terlemah hidup dengan frase “saya lapar” sedangkan pada masyarakat risiko yang menjadi penggerak kelas sosialnya diwakili dengan frase “saya takut!” (Beck 1992). Takut akan keracunan, takut radiasi infra merah, takut makanan berpengawet, takut pada menipisnya air bersih, dsb.
Maka mohon maafkan saya kawan, di Hari Bumi ini saya tidak bisa memberi selamat karena rasanya tak ada keselamatan yang bisa dijanjikan dari praktik manusia dan keserakahan kapitalisme saat ini terhadap bumi. (ll2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H