Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kampung Kosong dan Anjing yang Terus Menggonggong

13 Mei 2011   13:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:45 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_109292" align="alignleft" width="300" caption="southasiaconnection.com"][/caption] Embun terakhir baru saja menguap, sinar matahari telah menyelimuti seluruh dataran luas ini mengusir semua embun, memberikan nuansa keluasan yang hangat, ramah dan menjanjikan. Seekor ayam berjalan tenang dengan cakar-cakarnya menjejak tanah lembut berselimut rumput halus, sesekali kepalanya ditundukkan ke tanah lalu lehernya tampak menggembung taktala kepalanya terangkat untuk mendorong makanan ke dalam kerongkongan.

Lembar-lembar angin tipis mendayu menghembus pagi yang sangat hangat hari itu, mengusap wajah gagah seorang lelaki paruh baya yang berdiri di tengah hampar luas rerumputan. Tamrin adalah lelaki itu, berpostur sedang tapi tegap, badan tegak penuh kepercayaan diri, namun matanya memberikan warna yang berbeda, mata itu tak bercahaya, tampak mendung.

“Aku kembali ke sini kampungku yang indah, rumahku!” gumamnya tanpa suara.

Di sisi lain pemandangan kontras tampak menempeleng wajah siapapun yang barusan menikmati indahnya bentang alam yang ada di depan matanya.

Bangunan tak ada lagi yang berdiri tegak, pecahan kaca berserak tak beraturan, warna hitam arang bekas terbakar memenuhi pandang mata, abu yang tertumpuk mengeras di sekitar bekas rumah, entah itu abu dari kayu terbakar atau abu dari seseorang yang pernah tinggal di sana. Tak ada manusia, satupun tak nampak, bahkan satu jenis primata pun tak hadir di sana. Tamrin mendekati sesuatu yang nampak tertutup tanah basah dan telah dikeringkan berkali-kali oleh sang surya, berdebu tebal, berbentuk seperti manusia, kecil. Terlalu kecil untuk disebut mirip orang, disentuhnya dengan lembut, terasa empuk, benda itu adalah sebuah boneka berbentuk perempuan seukuran anak berumur 3 tahun. Tak bisa ditahan, barang itu memaksa dirinya untuk menarik citra dari ingatan lama bahwa anak pemilik boneka ini mungkin sedang tidur bersama bonekanya saat itu ketika ratusan orang menyerang kampung mereka beberapa tahun lalu, berteriak-teriak, memuntahkan serapah lalu melempar api ke dalam rumah mereka. Mungkin anak pemiliki boneka tadi merasakan tidur terakhirnya malam itu, atau anak ini bisa melarikan diri bersama orang tuanya. Sayang, boneka itu tak mampu bertutur.

Terasa gejolak kembali dalam dada Tamrin saat itu, bukan sakit, bukan kesedihan atas kehilangan, yang tersisa adalah kemarahan. ”Jadi hanya berakhir begini saja semua hingar bingar saat itu? Kasihan sekali orang-orang bodoh itu karena mau-maunya diseret oleh sekelompok orang munafik, merendahkan diri mereka sendiri bahkan lebih rendah dari binatang, mematikan akal sehat. Menciptakan orang-orang yang cuma tahu cara menghancurkan tapi tak punya kemampuan apapun untuk membangunnya kembali,” tak putus rasa marah itu dalam dada Tamrin.”Ya Tuhan, ampuni aku”

Tamrin melanjutkan langkahnya menuju sebuah alas semen berbentuk persegi tujuh kali sembilan meter, di sekitarnya tumbuh pohon-pohon kelapa, bebas berlomba dengan semak dan rerumputan untuk menutup sang alas semen tadi. Ternyata tak semuanya semen, beberapa batang kayu yang tampak juga hitam dan melapuk masih ada di sana, teronggok tak berguna. Lagipula siapa yang peduli? Di sinilah baru Tamrin tak bisa menguasai emosinya, jebol juga emosinya setelah sedari tadi menguasai diri dengan sangat baik.

Di bagian bekas sebuah ruang seluas tiga kali tiga, Tamrin melihat kenangan bahagianya hadir kembali satu persatu, yang pertama adalah sebuah ranjang dengan kasur busa kebanggaannya, kemudian satu demi satu dinding-dinding kamar itu kembali berdiri, warna kuning kamarnyapun kembali, meja rias Alya, istrinya yang manis, kembali muncul dan memantulkan wajah Tamrin yang gagah. Setiap pigura foto di dinding juga kembali, foto anaknya Asya saat ia belajar naik sepeda, foto Alya dan Aisya waktu mereka jalan-jalan di taman. Muncul juga Asya yang suka nyelonong masuk kamar, berlari-lari dengan membawa baju hasil membongkar lemarinya, menantang ayah dan ibunya supaya dikejar-kejar agar akhirnya mendapat hukuman atas kenakalannya yakni dua buah ciuman kuat di kedua pipinya yang langsung membuatnya memerah. Hal terakhir yang kembali adalah Alya, kekasih, istri, dan perempuan terindah yang pernah menikmati hidup bersamanya. Di atas ranjang itu Alya hadir begitu nyata, menyuruh Tamrin mengunci pintu kamar, mematikan lampu dan memanggilnya ke atas ranjang, memberi Tamrin segala hal terbaik yang pernah diimpikan seorang laki-laki atas seorang perempuan. Satu lelehan meluncur di pipi Tamrin tanpa disadarinya.

------------------

Itu sepuluh tahun yang lalu, saat Tamrin menjadi seorang guru biasa di sini namun dihormati sebagai orang yang berilmu dan pastinya bukan orang yang bodoh. Sampai pada suatu hari datang lah seorang guru yang lain bersama dua pembantunya. Guru ini lebih pandai daripada Tamrin karena ia memberikan apa yang selama ini Tamrin tidak pernah tahu. Tamrin yang selama ini menjadi orang pandai pun kalah awu dengan guru baru ini, apalagi para petani miskin dan tak berpendidikan lain yang juga menjadi tetangganya. Guru baru Tamrin adalah seseorang yang baik, sangat baik karena ia juga mengajarkan mereka mengenai hal yang baik bagi mereka, bagi keluarga, maupun bagi masyarakat kampung itu. Maka dengan cepat popularitas sang Guru ini begitu meroket di kampung itu, bahkan tetangga desa pun banyak yang berdatangan untuk menjadikan guru tersebut sebagai pemandu hidup mereka. Melihat begitu besarnya sumbangan sang guru tadi pada desa, maka desa sampai meminjamkan tanah desa agar dibangun tempat pertemuan dan tempat tinggal sementara bagi sang guru agar bisa mengajar dan menerima orang-orang yang hendak belajar. Lagipula pihak desa juga berpikir, dengan menjadi desa yang terkenal, desa mereka akan mendapat perhatian lebih besar pula dari pemerintah, ujung-ujungnya kan akanmendapat bantuan pembangunan untuk kebutuhan masyarakat umum juga, begitu pikir perangkat desa dan para tokoh masyarakat. Maka, tak ada pihak yang mempermasalahkan itu.

Di atas langit masih ada langit, pepatah lama mengatakan demikian, bahwa tak ada pihak yang betul-betul memiliki kuasa mutlak, masih ada yang akan lebih kuat, dan seterusnya. Kejadiannya diawali oleh kedatangan dua orang tegap ke rumah Guru baru Tamrin tadi, Tamrin ingat sekali hal itu karena saat itu ia ikut menemui di halaman depan sebelum masuk ke ruang terima tamu. Tapi memang tak ada yang istimewa, seperti tamu-tamu yang lain, seselesainya pertemuan tamu tadi berpamitan dengan ramah, sang Guru pun membalas salam mereka dengan sangat akrab.

Setelah kejadian itu, yang jadi sering tampak berbeda bagi Tamrin dan para tetangganya adalah Guru itu lebih sering keluar desa, sesuatu yang jarang sekali ia lakukan karena segala kebutuhannya pasti sudah dibantu dan disediakan oleh para tetangga dan muridnya. ”Sesekali jalan-jalan ke kota supaya ngga jadi katak dalam tempurung,” begitu jawaban sang Guru setiap kali ditanya. Namun pada suatu hari, sesuatu yang lebih aneh terjadi yakni sang Guru tidak kembali ke rumah. Satu hari, dua hari, tiga hari, seminggu sang Guru tak juga kembali. Mau dicari, ke mana sang Guru pergi tak ada yang tahu, mau cari informasi ke siapa juga tak tahu. Tinggalah tanya dan kasak-kusuk di desa mengenai keberadaan sang Guru yang hilang secara misterius.

Waktu berlalu, kehidupan kampung itu berlanjut, siang di isi dengan kerja keras para peladang dan petani, sedangkan malam hari diisi dengan kegiatan sosial baik keagamaan, kemasyarakatan, maupun sekedar kongkow-kongkow saja sambil menjaga keamanan kampung. Semua berjalan seperti layaknya sebuah kampung, asri, teduh, sederhana, namun itulah surga bagi Tamrin, Alya, dan Asya dan manusia-manusia bersahaja lainnya. Hilangnya sang guru tetapjadi pertanyaan namun tak ada yang terlalu memikirkannya secara dalam karena masyarakat kampung itu berpikir bahwa guru itu mungkin telah berjalan ke tempat lain lagi dan menebar kebaikan yang sama seperti yang ia lakukan pada mereka. Dalam hati maupun secara verbal, mereka berterimakasih pada sang guru.

----------

Malam, saat gelap terasa begitu pekat, hujan sesorean meninggalkan kabut yang menusuk tulang, memaksa orang-orang meringkuk dalam rumah dan mencari kehangatan bersama anak, istri maupun kekasih. Hanya beberapa orang di luar karena memiliki kewajiban sosial menjaga kampung, maklum biarpun kampung sedehana, sapi, kambing, dan anak-istri mereka tetaplah sesuatu yang bernilai dan pantas untuk dijaga. Rembulan pun ikut memberi nuansa kelam saat itu, tak tampak wajahnya di atas sana.

Tiba-tiba terdengar gonggongan anjing di kejauhan, disambut dengan gonggongan dari anjing lain, sahut menyahut memecah malam, sekilas beberapa seperti raungan. Sontak bulu roma para peronda pun berdiri, merasakan hal yang sama, tiba-tiba terasa begitu sesak nafas mereka. ”Ada apa ini?” tanya Tamrin. ”Akan ada peristiwa apa malam ini?” tanya setiap orang dalam hati, tak hendak mengatakannya karena khawatir akan membuat ketakutan dan ketegangan ini semakin luas. Namun ketegangan itu tak berkurang juga bahkan telah merinding semua pori-pori mereka, keringat dingin muncul entah karena apa. ”Ya Tuhan, tanda-tanda apa ini, tolong beri kami petunjuk!” terdengar desis dan doa-doa menyebut nama Tuhan mereka, saat itu cuma itu sandaran yang dimiliki para peronda.

Setelah mengalami ketegangan irasional itu, yang terjadi kemudian betul-betul menggentarkan mereka semua, raungan ratusan kendaraan roda dua tampak semakin besar suaranya, artinya keramaian itu menuju ke sini, ke arah desa, ke arah mereka. ”Cepat ke rumah pak kades dan perangkat lainnya, yang lain panggil para pemuda keluar dari rumah, cepaaat!” teriak Pak Asmi, tokoh senior kampung itu. Tamrin pun bergerak cepat, tujuannya adalah rumah kepala desa, seorang yang cukup berumur tapi sangat dihormati berkat kebijaksanaan dan keterbukaannya. Namun mereka tak pernah bisa menyiapkan barisannya, pasukan penyerang bergerak jauh lebih cepat, jauh lebih efektif.

Tak bisa dipastikan padamenit ke berapa sejak para peronda mengkonsolidasi diri, gelombang manusia dengan suara mesin meraung-raung telah menggebubu masuk ke desa, menggilas apa saja yang mereka temui.

”Bidah...!”

”Orang sesat.!”

”Terkutuk..!”

”Usir dari sini!”

”Bakaaaarrr!”

”Bakaaar semua, biar mereka tahu...!!!”

”....!”

Cuma itu yang sempat Tamrin dengar, tak tahu lagi di mana yang lain, tak tahu dimana pak kepala desa yang terhormat, setelah itu tampak warna merah menerangi malam ketika seorang dari penyerbu itu melemparkan obor ke sebuah rumah kayu milik tetangganya. Ternyata bukan hanya sebuah obor yang mereka bahwa, ada ratusan karena setelah lemparan pertama, secara serempak para penyerbu itu melecut kuda besi mereka ke arah dalam kampung dan menghadiahi batu-batu dan obor ke masing-masing rumah.

”Asya, Alya!!” sontak pikiran Tamrin tertuju pada mereka. Ia sempat melihat sebuah rumah terbakar dan tampaknya ada sosok manusia di dalamnya yang meraung sekarat tapi Tamrin tak berdaya, tujuannya cuma satu...rumah!. Ia tak bisa lagi membendung rasa takutnya akan kehilangan Asya dan Alya.

”Hei kemana kau anjing?,.........Dug,” suara bentakan dan rasa kelu itu adalah hal terakhir yang Tamrin bisa rasakan sebelum ia tersungkur ke tanah hitam kampungnya. Sebuah batu sebesar kepal tangan telah menghantam kepalanya, menghantarnya ke kegelapan...

Raungan anjing juga lah yang membangunkan Tamrin dari ketidaksadarannya. Namun kini dunia di depannya sudah tak sama lagi. Dalam tangis putus asa, tersaruk kaki Tamrin mencoba mencari rumahnya, memastikan Asya dan Alya baik-baik. Tentu saja itu tidak terjadi.

Lolongan itu terdengar kembali, anjing-anjing sialan itu masih ada di sana. Tak berbuat apa-apa, hanya melolong dan meraung. ”Tak ada bedanya dengan para penyamun yang menyerbu mereka di tengah malam buta itu. Tapi anjing-anjing itu tak pernah menyakiti kami, warga desa ini, lalu siapa yang bisa melebihi tindakan para anjing sialan itu?”, tanya Tamrin tak juga terjawab.

”Aaauuuuuuuuuuuuuuuuuuuu,” lolongan ajing kembali terdengar... (ll)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun