Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Penerbangan Icarus

16 Mei 2011   20:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:34 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_110037" align="alignleft" width="300" caption="Flight of The Icarus (betweentheburiedandme.com)"][/caption] Saat berada dalam penjara Raja Minos di Kreta, sang pengrajin hebat Daedalus menyusun rencana untuk melarikan diri bersama anaknya, Icarus. Dikumpulkan lah sejumlah bulu lalu direkatkan oleh lilin, akhirnya jadi lah dua pasang sayap nan bersahaja. Dikenakan satu pasang pada dirinya sendiri, sementara sepasang lain dikenakan pada Icarus, anak kesayangannya. Sebelum terbang meninggalkan pulau buangan itu, Daedalus mengingatkan Icarus agar tidak terbang terlalu dekat dengan matahari dan juga tidak boleh terlalu dekat dengan permukaan air. Setelah menguasai diri dari limbung, Icarus mengangkasa dengan anggun melintasi langit, menari indah dengan kepakan bak burung phoenix. Tanpa disadari dirinya telah terbang terlalu dekat dengan matahari yang pelan-pelan melelehkan lilin di antara bulu-bulunya. Icarus terus berusaha mengepakkan sayapnya namun lama-kelamaan ia menyadari bahwa tak ada lagi bulu yang tersisa, hanya tertinggal kedua lengannya menepuk-nepuk ruang kosong di udara. Dan jatuhlah Icarus ke lautan. Mati di bawah pandang sedih sang pengrajin yangtak berdaya.

Icarus itu aku sekarang, dan aku sedang jatuh ketika sinar matahari mulai membakar segenap lilin yang menjalin asa ku untuk hidup dan berjuang. Aku pernah yakin bahwa aku bisa terbang meninggalkan pulau dimana aku terasing, ya aku terasing meskipun di sekitarku ramai oleh kerumunan orang, baik yang aku kenal maupun wajah-wajah asing itu. Aku tak punya Daedalus untuk merangkai sayapku, sayap itu aku buat sendiri, satu demi satu kulekatkan namun aku telah lupa bahwa sayap ini begitu lemah, untuk terbang pun tak sanggup tinggi, apalagi menari di angkasa di bawah pandang mata dewa matahari yang agung. Aku kehilangan kesadaran tanpa harus menikmati lintingan ganja ataupun teguk-teguk blue vodka sahabatku, kehilangan akal sehat untuk berpikir, terlalu berani menantang langit untuk terbang dan meliuk indah, berharap dapat menemukan bidadari di atas sana, ternyata yang kutemui cuma ruang hampa yang kosong, aku tak punya pilihan lain, jatuh adalah satu-satunya yang bisa kuhadapi.

Ketika pertama kali datang ke satu slot surga di pojok bumi ini, aku datang dengan niat besar bahwa semua maksud baikku akan bisa kutumbuhkan, agar nantinya akan mekarlah bunga-bunga indah di sana. Aku tak peduli apakah aku akan melihat bunga itu mekar atau tidak, aku cuma ingin menanam dan menyaksikannya bersenggama dengan sang bumi, menumbuhkan benih kehidupan yang baru, harapan, kegembiraan, warna baru, namun apa yang kudapatkan hari ini, kecewa mungkin kata yang paling umum yang bisa kugunakan saat itu, getir rasanya. Kubawa getir dan kecewa itu memasuki pekatnya malam, bersimpuh dalam hening dan kesendirian bersama purnama bisu. Bunga itu tak pernah kusaksikan, entah mati entah hidup, tak bisa lagi kunikmati hadirnya. Mungkin saja sebenarnya bunga itu tumbuh dan aku yang sebenarnya telah mati...mungkin. Aku tak mungkin bertanya pada siapapun, cuma aku yang bisa merasakan bahwa aku sudah tak ada lagi, tinggal enerji bebas yang melayang-layang.

Rumput dan langit mungkin mendengar keluh kesahku ini namun sayang mereka tak bisa menjawab, manusia yang ada memang mendengar, tapi tidak mendengarkan, mereka lebih ingin mempercayai kata-kata mereka sendiri, kata empati dan simpati yang sering kudengar pun terasa basa-basi saja karena bagiku sebenarnya tak ada yang benar-benar peduli. Muka-muka yang awalnya sangat kukenal sekarang tampak asing dan jauh, wajah ramah itu masih ada namun semakin ramah wajah-wajah itu makin jengah aku dibuatnya. Sampai pada suatu waktu, datanglah Malena, satu wajah yang hadir di saat lilin itu mulai terbakar dan meleleh habis, wajah teduhnya membuatku merasa paling tidak aku tak akan jatuh dengan keras. Sekali lagi aku salah!

Malena hadir tapi tak pernah betul-betul untukku, ia hadir untuk dirinya dan orang lain dalam hatinya, aku tetap orang asing baginya, ia hanya mengasihaniku. Waktu yang ada terasa indah bagi Icarus yang hendak menghantam air ini, sebuah kematian yang indah, paling tidak itu yang tersisa dari asaku. Malena bukan Daedalus yang bisa kumintai tolong untuk memperbaiki sayap-sayap patahku, namun ia penghantar tidurku yang terindah saat ini, dan berharap ketika aku bangun aku bisa mengucapkan selamat pagi baginya, entah saat itu aku masih di bumi ataupun sudah di surga, aku cuma berharap itu, itu saja.

Icarus lupa diri, ia lupa bahwa ia lemah dan tak punya banyak pilihan, ia bukanlah orang yang patut diselamatkan, tak pantas untuk berharap lebih selain memasuki kegelapan dengan indah. Tapi aku persis berlaku seperti Icarus, hal yang tak pernah boleh kulakukan, tak boleh dan tak bisa, aku tak layak meminta itu karena akan membuat lilin-lilin rapuh ini musnah lebih cepat dan menjaminku jatuh dengan keras. Tapi sekali lagi, aku khilaf, aku tak bisa menahan itu, aku minta terlalu banyak, aku mencintainya, lebih tepatnya aku menginginkannya. Betapa dungunya aku saat itu...aku jatuh cinta pada Malena!

Tak perlu diingatkan, saat itu aku sedang melayang turun ke lautan luas, Malena hadir untuk menemaniku menemui kematian dengan indah bukan untuk menemaniku hidup selamanya. Mustahil membangun harapan terlalu tinggi saat itu ketika ujung jalanku sudah di depan mata.

”Apakah aku memanipulasinya?”

”Apakah aku memanfaatkan senyum teduh itu?”

”Apakah pikiran sehatku sudah musnah, mati mendahului ragaku?”

”Tapi aku mencintainya, Malena”

”Dungu.....!”

Malena hanya ada menjelang akhirku, ia memang ada tapi bukan untukku. Seperti bunga yang tak pernah bisa kusaksikan mekarnya, aku pun kehilangan Malenaku. Ia justru membuatku jatuh lebih keras, jauh lebih keras daripada yang aku bayangkan sebelumnya. Ia menolak untuk bersamaku di kehidupanku, jika itupun masih ada. Ia ada untuk hanya mengucapkan selamat jalan, lalu pulang dan menemui kekasihnya, memberikan seluruh jiwa raganya di atas ranjang penuh bunga mawar merah, jiwa dan raga yang kupuja dan kukagumi itu. Aku cemburu. ”Hei bodoh....apa hakmu untuk cemburu! Ingat lah, kamu bukan siapa-siapa, cuma seorang laki-laki idiot yang siap menjemput sang maut, seorang pemimpi yang angkuh, pejalan tidur yang bermimpi bisa mengubah dunia dalam semalam, bangun!” iblis di sampingku mulai berteriak meracau.

Tapi aku menolak bangun, kulempar jauh iblis berekor itu dari sisiku, aku tak membutuhkannya saat itu, tapi anehnya kenapa tak ada malaikat yang mendatangiku, kenapa cuma iblis tadi yang datang, bukan kah seharusnya mereka berpasangan?. ”Hei, kemana malaikat penjagaku, seharusnya kau di sini menjalankan tugasmu,” tangisku dalam keputusasaan. Malena pergi dalam kebenciannya dan rasa jijik terhadapku, pecundang konyol ini, dan sekarang malaikat penjagaku pun mengingkariku.

Maafkan aku Malena karena telah mencintaimu, pergilah dalam kasih pecintamu. Sekarang aku siap untuk waktu penghabisan, sendiri seperti aku pada awalnya. ”Hei lautan luas, aku siap datang menghadapmu, untuk kali ini jangan lah dirimu pun menolakku, aku tak punya siapa-siapa lagi!” (ll)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun