MASA kontrak Blok Siak yang dikelola PT Chevron Pasifik Indonesia (CPI) akan berakhir 27 November 2013. Produksinya saat ini berkisar antara 1.600-2.000 barel per hari. Berakhirnya kontrak Blok Siak merupakan angin segar, peluang untuk perusahaan pengelola minyak milik Negara dan daerah. Betapa tidak, menguasai ladang minyak berarti pula sama halnya menguasai sebuah Negara. Karena minyak merupakan sumbangan terbesar bagi anggaran pendapatan Negara. Menguasai sumber minyak sama juga menguasai Negara. Tanpa minyak dan gas alam ekonomi akan runtuh. Untuk saat ini, minyak: energi yang berasal dari endapan fosil-fosil jutaan tahun lamanya masih menjadi daya pikat rebutan bagi seluruh Negara di dunia. Salah satunya Negara adidaya: Amerika.
Riau, salah satu Provinsi di Indonesia yang mempunyai potensi cadangan minyak terbesar di Asia Tenggara. Pertanyaanya, Negara mana yang tidak berminat mencicipi minyak Riau? Apalagi, Duri salah satu wilayah Provinsi Riau merupakan penghasil minyak dengan kualitas minyak tebaik dunia (Duri crude). Di bawah nama besar Chevron, pada bulan November 2006, ladang minyak Duri, telah mencapai rekor produksi 2 Miliar barrel sejak pertama kali dipompa pada tahun 1958 (dalam buku, Duri: tanah air baru Amerika).
Bahwa kekayaan sumber daya alam salah satunya sektor migas. Merupakan kekayaan alam yang harus dinikmati oleh rakyat secara keseluruhan. Beroperasinya korporasi asing PT CPI di Provinsi Riau selama 88 tahun tidak memberikan efek positif bagi kesejahteraan masyarakat Riau. Justru, masih banyak terdapat masyarakat dengan tingkat garis kemiskinan yang semakin meningkat. Kontribusi untuk pembangunan daerah masih tergolong minim. Ironisnya lagi, terdapat 4.085 bangunan kelas rusak berat dan 2.830 anak usia SMP putus sekolah (Data Dinas Pendidikan Provinsi Riau tahun 2012). Hal ini patut dipertanyakan dimana komitmen perusahaan dalam andilnya memberikan sumbangsih bagi pembangunan daerah?
Dapat dibayangkan bila produksi minyak mentah Duri mencapai 200.000 barrel per hari, dengan harga minyak mentah di pasaran dunia mencapai 100 dollar AS per barrel, dengan kurs 9.000 rupiah per dollar AS maka dari perut bumi Mandau mengucur 180 Miliar rupiah per hari. Data dari sumber (in the record) yang penulis wawancara menyebutkan: produksi Blok kilang minyak yang ada di seluruh Provinsi Riau apabila di rupiahkan hasilnya mencapai 400 Miliar per hari. Maka apabila di jumlahkan, total pendapatan produksi minyak Riau mencapai 140 triliun per tahun.
Chevron tak ubahnya penjajah baru di negeri Bumi melayu ini. Publik harus tahu, kemanakah berkah minyak Riau mengalir? Padahal secara komposisi APBN, Riau telah menyumbangkan 35%. Khusus migas Riau telah menyumbangkan 40% devisa minyak mentah nasional. Namun, lagi-lagi masyarakat Riau  hanya bisa menjadi penonton di negeri Petrodolar ini. Walaupun selama ini mayoritas produksi PT CPI merupakan Production Sharing Contract. Dengan mekanisme pendapatan yang diserahkan ke Negara 88% dan  Chevron sendiri mendapatkan keuntungan 12% dari hasil produksi minyak. Tetapi perlu di kritisi:  pembebanan cost recovery yang dilakukan oleh Chevron juga luput dari pantauan masyarakat khususnya SKK Migas (dulu BP Migas). Permainan kotor berkaitan dengan cost recovery adalah pembebanan overhead cost dalam cost recovery, yang dipandang sebagai penggelembungan biaya karena tidak berhubungan dengan kegiatan produksi. Misalnya biaya-biaya yang berkenaan dengan perkantoran, jasa dan administrasi umum, biaya community development, biaya CSR dll. Semua ini dimasukkan dalam cost recovery yang dilakukan oleh Chevron. Tentu Negara rugi besar terkait dana siluman ini. Pemerintah melalui SKK Migas harus berani menyetop cost recovery untuk perusahaan minyak asing. Data yang penulis dapatkan, berdasarkan temuan BPK 2004-2005: Pelaksanaan Authorization For Expenditure (AFE) No.oo-2112 untuk proyek Polytechnic Caltex Riau (PCR) membebani cost recovery sebesar US$6,563.16 ribu. Chevron melakukan mark up terkait cost recovery.
Atas minyak bawah minyak, itulah sebutan untuk Riau dulu dan kini. Namun apa boleh buat, perusahaan asing telah lama mencekram di Bumi Melayu ini. Sehingga wajar apabila keterbelakangan juga kemiskinan masih mengintari masyarakat Riau. Prof. Mubyarto, Direktur Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK-UGM), berdasarkan hasil penelitianya di Sumatera. Menurutnya, kaya minyak bumi dan gas alam belum tentu membuat rakyat desanya makmur. Buktinya Riau, Aceh, Sumatera Selatan. Ternyata penghasilan per kapita desa-desa di daerah itu jauh di bawah desa-desa di Yogyakarta dan Sumatera Barat. Provinsi Riau dengan kekayaan minyak bumi itu memang mampu memacu pertumbuhan ekonominya melalui kilang minyak, tetapi berkahnya tidak menetes sampai penduduk pedesaan.
Mengkritisi persoalan migas, pemerintah melalui Pertamina yang mengekspor minyak mentah ke Negara Singapura perlu dipertanyakan. Lucunya Pertamina melalui anak perusahaanya Petral juga melakukan impor minyak mencapai Rp. 275 Triliun (data tahun 2011) untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Ada aroma asing yang mencampuri kebijakan ini. Sama halnya dengan menaikkan harga BBM. Wacana pemerintah SBY yang akan menikkan harga BBM di akhir kekuasaanya merupakan nuansa kebijakan asing. Hal ini timbul karena aset migas Indonesia masih dikuasai oleh asing. Sekitar 85% lebih aset migas dikuasai asing (dalam buku Indonesiaku tergadai). Maka dengan kondisi bangsa yang carut marut dalam mengelola migas, dengan kondisi pemerintah SBY yang kurang memperhatikan kesejahteraan bagi rakyatnya, dengan kondisi terjajahnya wilayah kekayaan sumber daya alam Riau oleh Amerika. Sebagai solusi pemerintah harus berani mengambil kebijakan yang serius, nasionalisasi aset migas merupakan jawabanya. Tidak ada yang tidak mungkin, bangsa kita pasti bisa. Blok Siak hsrus dikelola Negara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H