Melihat ia tidak bermaksud memotong jalan, saya pun segera berlalu cepat. Tidak jauh, saya menoleh ke spion kanan, saya tidak lagi melihat laki-laki itu di tengah jalan, tidak juga di pinggir seberang kanan jalan. Terkejut. Saya menoleh ke spion dalam lalu spion kiri. Gelap! Tidak ada tanda-tanda ia berada di belakang mobil atau di pinggir jalan seberang kiri. Lantas ke mana ia? Saya menepikan mobil untuk berhenti sebentar. Saya meraih senter, membuka kaca, mengarahkan senter ke segala arah di belakang. Tidak tampak apa-apa. "Kemana dia?"
Terbersit keinginan untuk keluar dari mobil, mencari tahu ke mana ia pergi. Tapi segera saya urungkan.
Saya senter daerah di sekitar saya. Tampak pepohonan besar di sana-sini, saya menyadari posisi saya saat ini sedang berada di tengah hutan. Takut juga kalau itu begal atau bajing loncat.
Saya menaikkan persnelling, memijak pedal gas, kembali menapaki jalur lintas Sumatera yang membelah belantara hutan. Tidak beberapa jauh, mobil kami melaju di depan kamp bumi perkemahan Seulawah. Dua setengah jam kemudian kami tiba di rumah.
Hari-hari setelahnya saya masih memikirkan kejadian di tanjakan malam itu. Siapa ya yang saya lihat malam itu? Perawakannya seperti narapidana kabur dari tahanan. Â Â Â Â
Hingga pada suatu waktu, saya mendapati artikel di sebuah portal media internasional. Artikel tersebut berisi liputan seorang jurnalis mengenai peristiwa tahun 1965 pasca G30S/PKI di Aceh.
Saat itu, suasana salah satu kota di pesisir timur tepatnya Kota Sigli sangat gaduh. Banyak orang ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara karena dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Namun berdasarkan fakta yang terungkap, sang jurnalis melaporkan bahwa kebanyakan mereka yang ditahan semata-mata karena hasutan tidak ada kaitannya sama sekali dengan PKI. Â Â
Tanpa proses peradilan, mereka yang ditahan lalu dibawa ke sebuah tempat jauh di luar Kota Sigli. Di sana telah digali lubang-lubang besar. Para tahanan digiring ke tepi lubang lalu dipancung satu per satu oleh beberapa penjagal secara bergantian.
Menurut pengakuan seorang penjagal, ia yang di kemudian hari menyadari bahwa sebenarnya banyak korban tidak bersalah turut dieksekusi merasakan kegelisahan dalam hatinya.
Para eksekutor ini hanya menjalankan perintah.Â