Lawan Indonesia yang sesungguhnya adalah diri sendiri. Bukan Cina, Korea, Malaysia, Denmark, atau Jepang. Jika berhasil mengalahkan diri sendiri, tradisi emas Indonesia di ajang Olimpiade bisa dipertahankan.
Ada tiga super body yang harus dilawan. Pertama, jika Tim Merah Putih ini berjuang untuk sebuah lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan tatkala berhasil meraih emas, pemerintah dari bangsa ini acuh tak acuh Âdengan nasib olahraga. Bangsa lain begitu menghormati atletnya karena perannya sebagai prajurit di garda depan yang mengusung bendera bangsa, panji kebanggaan. Bangsa ini, dengan pemerintah yang karut marut, hanya melihat olahraga dan atlet sebagai seremoni. Selebihnya, olahraga itu proyek. Proyek itu proses politik.
Kedua, karena proyek dan proses politik, olahraga sebagai olahraga, dengan prestasi yang mengharumkan nama bangsa bukanlah tujuan utama. Rekayasa pun dilacurkan demi mengedepankan proses politik dengan logika proyek. Lantas, standar olahraga yang seharusnya dijunjung tinggi sebagai ukuran untuk berprestasi diletakkan pada tempat terakhir. Masing-masing orang berupaya selamat dan pulang membawa sesuatu dari proses politik dan logika proyek tersebut. Nasib atlet dan olahraga hanya menjadi pemanis untuk kesinambungan proses politik dan proyek tersebut.
Ketiga, masyarakat banyak sebenarnya tutup mata dengan gocekan kelas atas tersebut. Satu-satunya hiburan yang bisa membuat mereka katarsis dari keterhimpitan dan ketidakberpihakan adalah olahraga. Layar kaca pun penuh mata. Menyaksikan. Bersorak. Memuji. Mengumpat. Itu semua terjadi, dengan membawa gelombang beban yang sangat besar di pundak para atlet yang berlaga. Beban itu dipikul sendiri bersama hati yang luka akibat perlakuan yang tidak fair dari gocekan kelas atas.
Mereka tetap bertanding. Berjuang dengan optimisme dan ambisi yang tertanam oleh karena dua hal: tiada pilihan lain lagi untuk bertahan hidup di Tanah Air, kecuali bergelut dengan obsesinya di olahraga saat ini, dan ambisi itu pun lengkap oleh dorongan mengalahkan untuk membalas rasa sakit hati dan dendam bagi kalangan atas.
Mereka akan bertanding. Bertahan melawan gempuran para gajah yang cenderung lebih siap baik secara tim, dengan dukungan penuh negaranya, dan ambisi pribadi. Tim lain punya tiga amunisi ini. Tetapi, amunisi atlet Indonesia yang tersisa cuma satu peluru. Yakni, bertahan hidup.
Melihat seremoni pelepasan rombongan atlet yang akan bertanding di Olimpiade London, sama halnya melihat para prajurit yang dilepas ke medan tempur tanpa membawa amunisi yang lengkap. Mereka berjuang untuk menahan malu, bila ambisi untuk bertahan hidup itu goyah.
Mari kita lihat badminton sebagai cabang olahraga yang selalu menyumbangkan emas di ajang olimpiade. Persis.
Ketika harapan itu begitu didapuk dengan beban yang teramat berat di pundak ganda campuran Liliyana Natsir/Tantowi Ahmad. Simon Santosa, Taufik Hidayat, Bona Septano/Muhamad Akhsan, Meiliana Jauhari/Greysia Polii, dan Ardianti Firdasari adalah sebuah keajaiban yang membuat mereka bisa lolos ke babak final. Praktis, Indonesia hanya mengharapkan kejutan dari cabang ini. Karena Liliyana Natsir/Tantowi Ahmad sekalipun dipaksa bersandar pada dewi fortuna karena terbatasnya amunisi, dan tangguhnya persenjataan para lawan.
Yah, benar. Lawan Indonesia yang sesungguhnya adalah diri sendiri. Bukan Cina, Korea, Malaysia, Denmark, atau Jepang. Jika berhasil mengalahkan diri sendiri, tradisi emas Indonesia di ajang Olimpiade bisa dipertahankan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H