Ingin sekali melihat Korea Selatan membungkam Argentina. Pesta bola itu terasa nikmat dengan melihat si paru-paru tiga Park Ji Sung bisa menundukkan kepala Lionel Messi. Sang Tangan Tuhan Diego Maradona itu perlu diberi pelajaran untuk menghormati sepak bola sebagai permainan tanpa nama besar dan mulut besar.
Saya respek terhadap Carlos Tevez. Dia mawas diri, rajin mengejar bola, mudah menjadi pelayan, dan tidak sungkan-sungkan memberikan peluang emas kepada sesama timnya untuk sebuah kemenangan. Saya ingin Gonzalo Higuain bisa tampil cemerlang seperti sepak terjangnya di Real Madrid. Intuisi golnya bekerja secara lembut, hampir tak kelihatan, tetapi berdaya hasil besar.
Namun, saya tidak suka Argentina. Mereka (Argentina) adalah satu negara dengan kesombongan atas sepak bola yang berlebihan. Messi menjadi opium dari kesombongan itu, yang merasa seolah bergerak sendiri dan menciptakan sensasi kemenangan tanpa kerja sama tim. Messi meniadakan, Messi melupakan, dan Messi memberanguskan. Dan sonata kesombongan itu menjadi lengkap dengan kehadiran Sang Dirijen Diego Maradona, yang lupa akan dirinya sendiri, lupa pula terhadap permainan yang efektif dan efisien: mematikan dalam menyerang, dan solid dalam bertahan.
Saya merindukan Korea Selatan yang dulu, tatkala kesebelasan ginseng itu mengalahkan Spanyol dan Italia. Park Ji Sung bukanlah satu-satunya yang memiliki paru-paru tiga. Pada putaran piala dunia 2002, Korea Selatan tampil bak kesetanan. Mereka seperti barisan prajurit dalam perang kolosal, berlapis-lapis dalam menyerang dan bertahan. Bola dari kaki ke kaki itu mengalir seperti sebuah nyanyian dari bait pertama hingga bait terakhir, mengejutkan sekaligus memuaskan penikmat bola dengan gol sebagai reffreinnya.
Namun, Korea Selatan tetaplah kesebelasan dengan kerja sama tim yang solid. Kalau Yunani dulu berhasil masuk ke kota Troya dengan kuda Troya dan merebut kota tersebut dalam perang Peloponesos, kini giliran Korea Selatan yang tampil bak Kuda Troya dalam mencabik-cabik pertahanan Yunani.
Korea Selatan tidak melegendakan tokoh, karena itu kekuatannya tersembunyi dan nampak tidak berbahaya. Mereka menyusup dalam kerja sama yang tidak terduga dan berani mempertaruhkan benteng terakhir pertahanannya sebagai ksatria.
Benar, kalau Diego Maradona menyebut Korea Selatan sedang bermain taekwondo dalam sepak bola. Karena Maradona tahu, Argentina bakal menemui kesulitan teramat besar untuk menembus pertahanan, bahkan untuk mengembangkan permainan sejatinya tarian Tango. Itulah kejujuran dan ketakutan yang sedang diembuskan Maradona. Kendati dia harus membungkus sebutan taekwondo sebagai permainan kasar.
Saya malah lebih setuju kalau Korea Selatan sedang bermain Judo, ketimbang Taekwondo dalam sepak bola. Taekwondo memang mengandalkan kekuatan dan serangan mematikan dalam merubuhkan lawan. Sebaliknya, Judo meminjam kekuatan lawan untuk menjatuhkan lawan.
Carlos Tevez juga Messi sadar betul akan kelemahan Argentina. Dalam beberapa kesempatan, Tevez dan Messi mengatakan lawan yang paling ditakuti Argentina adalah dirinya sendiri. Lengkap sudah. Korea Selatan adalah pemain Judo terbaik dan Argentina sedang merancang boomerang atas dirinya sendiri. Karena itu, ingin rasanya menyaksikan Korea Selatan memukul Argentina.
Jabulani, ayo bantu Korea Selatan mengalahkan Argentina. Dan Asia pun turut berbangga. Kecuali, PSSI!(*) Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H