Banyak yang mengatakan kegagalan Tim Thomas Cup Indonesia menjejaki Semifinal adalah peristiwa yang tragis. Â Juga memalukan untuk sebagian orang. Apalagi dipecundang Tim Jepang. Tetapi, hasil itu masih menyisakan ketidakadilan. Lebih baik, Tim Thomas Cup Indonesia rontok lebih dulu di babak penyisihan grup. Ini hasil yang justru lebih adil untuk Tim Indonesia.
Apakah kesedihan itu menggurat dalam di hati para pemain, sama besarnya dengan hati fanatik pencinta badminton di Tanah Air? Mohammad Ahsan, Alvent Yulianto Chandra, dan Simon Santosa mungkin menangis setelah keringat kemenangan mereka berlalu hanyut di Bengawan Solo. Mungkin, Dionysius Hayom Rumbaka menyakiti dirinya karena tidak bisa tampil sebagai eksekutor kemenangan. Bisa terjadi, Markis Kido, Hendra Setiawan, dan Taufik Hidayat memukul-mukul raketnya hingga patah karena gagal menyumbang poin.
Mengapa harus malu dan mengatakan ini kekalahan yang tragis? Mengapa harus dihubung-hubungkan dengan sejarah 25 tahun, yang meletakkan Indonesia selalu diposisi lima bahkan tiga besar dalam kancah Thomas Cup?
Kondisi badminton Indonesia memang sudah terpuruk jauh-jauh hari sebelum perhelatan Thomas dan Uber Cup tahun ini dilangsungkan. Prestasi para pemain yang terjun bebas di sebagian besar ajang internasional maupun nasional juga sudah lama menjadi kenyataan. Tidak ada lagi dominasi tunggal dan ganda putera Indonesia di top rangking yang dikeluarkan Badminton World Federation (BWF). Lalu, mengapa harus malu dan mengatakan kekalahan ini tragis?
Taufik Hidayat berulang kali sudah mengatakan, ketiadaan kaderisasi pemain pelapis yang sama mutunya atau barangkali lebih kualitasnya dengan pemain senior menyebabkan prestasi badminton nasional melorot. Taufik bahkan sudah terang-terangan enggan menjadi bagian dari Tim Nasional karena merasa sudah kadaluarsa dan tidak lagi mampu bersaing dengan pemain-pemain dari negara lain. Tetapi, di Tanah Air ini, untuk sektor tunggal putera, belum ada yang bisa mendominasi permainan Taufik hingga kini. Lantas, Taufik pun berberat hati menyabet raket dan sadar diri untuk mempermalukan dirinya sendiri berikut negara, karena ketiadaan pemain pelapis.
Simon Santosa bahkan sudah memasuki masa peluruhan. Dia hanya bisa menempati peringkat ke-9 dalam daftar peringkat BWF. Sementara itu, kualitas Rumbaka dan Tommy Sugiarto masih jauh di bawah level permainan seperti Lee Chon Wei, Lin Dan, bahkan Sho Sasaki dan Kenichi Tago. Â Dua pemain tunggal putera Jepang itu malah bisa mengalahkan Simon Santosa dan Taufik Hidayat sekali pun karena berada dalam level yang sama.
Sektor ganda putra tidak jauh berbeda. Duet Mohammad Ahsan/Alvent Yulianto Chandra saat ini adalah ganda atraktif yang bisa menyaingi level permainan ganda dunia seperti Cai Yun/Fu Haifeng dan Jun Jae Sung/Lee Yong Dae. Selebihnya, ganda putera lain timbul tenggelam dalam prestasi yang tidak pernah mampu menembus level permainan ganda top dunia. Sekali lagi, di manakah pemain-pemain muda, yang bisa menjadi pelapis sekaligus penerus tongkat estafet gengsi Indonesia ini?
Jika masih ada yang mengatakan, keoknya Tim Thomas Cup Indonesia dari Jepang adalah memalukan dan tragis, itu tidaklah benar! Ini justru hasil yang tidak adil, karena seharusnya Indonesia sudah pulang duluan di babak penyisihan.
Dengan cara demikian, rasa sakit itu harus lebih dalam dirasakan oleh seluruh insan dan pemerhati badminton di Tanah Air. Supaya dari rasa sakit itu, Indonesia harus serius berbenah diri. (Tapi dari mana yah….kok sudah teriak-teriak tapi tetap begini saja!) Ah, betapa senangnya Indonesia kalah dari Jepang.
Sudah tidak ada tempatnya lagi untuk mengingat peristiwa romantis nan ciamik yang dipertunjukkan Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma, ketika untuk pertama kalinya menyanding emas olimpiade dari cabang bulu tangkis. Juga perlu dihapus jejak para maestro seperti Rudy Hartono, Liem Swie King, Lius Pongoh. Tinggalkan sudah cerita kehebatan ganda putera, seperti duet maut Rexy Mainaki/Ricky Subagya dan pemain ganda pelapis saat itu yang sama ‘gilanya’ seperti Tony Gunawan/Candra Wijaya, Candra Wijaya/Sigit Budiarto, Flandy Limpele/Eng Hian, hingga Markis Kido/Hendra Setiawan. Yah, tutup sudah cerita tentang sepak terjang Alan Budikusuma, Icuk Sugiarto, Ardi Wiranata, Haryanto Arbi, Hendrawan, yang silih berganti menduduki tampuk top rangking BWF.
Mari, lihat kondisi bulu tangkis nasional saat ini. Terpuruk begitu dalam!(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H