Sesekali dia melirik Safitri Gading, wanita cantik yang mendampinginya bertanding tatkala bola dinyatakan out. Dia hendak mengatakan, "Out melulu sayang. Mungkin bukan hari keberuntungan kita."
Tetapi, wanita cantik yang tak lain adalah istri sekaligus pelatih dan managernya itu menyorot tajam. Dia seolah mengatakan, "Kamu bisa. Sekaranglah saatnya!"
Sony Dwi Kuncoro akhirnya meraih juara tunggal putra di ajang super series Singapura Open 2016.
Berbeda jauh tatkala dia masih di Pelatnas. Ada kepercayaan diri. Tampil bersama sejumlah label sponsor.
Dia seperti bukan siapa-siapa. Terlalu sederhana untuk menjadi seorang juara. Bahkan seperti seorang pemain tunggal yang sedang bertanding di ajang GOR antarwilayah atau antarclub.
Benar akunya. "Bahkan untuk masuk bertanding ke ajang super series saja susah karena rangking saya rendah. Saya harus melewati babak kualifikasi." Tetapi, Sony tidak patah arang.
Dia memang tidak seperti Lee Chong Wei. Akibat doping, Chong Wie harus menepi setahun. Rangkingnya melorot. Tetapi, dia tidak ditinggal sponsor. Kembali, mulai dari kualifikasi, kompetitif, dan saat ini berada di peringkat kedua dunia.
Dibekap cedera panjang, pertaruhannya lebih berat. Dia tidak bisa bertanding. Namanya bahkan hampir hilang di kancah internasional.
Padahal, di masa jayanya, segudang prestasi diukir. Sony adalah satu-satunya tunggal putra Indonesia dengan gelar super series terbanyak. Bukan Taufiq Hidayat. Dia juga meraih perunggu Olimpiade Athena 2004.
Sesekali terdengar Sony bertanding di Macau, lalu memperkuat klub, dan beberapa kali tampil di ajang pertandingan dalam negeri.
Dia mungkin sudah habis. Kalah pada ajang sebelumnya di India Open dan Malaysia Open, Sony mungkin tidak diperhitungkan. Namun, dia berhasil membuktikan kerja kerasnya.