Mohon tunggu...
Alexander Yopi
Alexander Yopi Mohon Tunggu... -

Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Prediksi: Paul Benar, Spanyol Akan Menang!

7 Juli 2010   04:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:02 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Saya tidak sedang berkolaborasi dengan Paul, si gurita peramal dari Sea Life Aquarium, Oberhausen, barat Jerman. Tetapi, bisikan tentakelnya yang merangkul Spanyol sebagai pemenang partai semifinal versus Jerman rupanya akan terbukti. Banyak fanatisme bola kembali akan merengkuh kecewa.

Spanyol memang tampil terseok-seok. Tidak meyakinkan. Tumpuan Spanyol saat ini hanyalah seorang David Villa. Sementara itu, Fernando Torres belum juga menunjukkan tajinya. Casillas tidaklah lagi gemilang. Gawangnya mudah dirobek. Iniesta dibekuk cidera, sehingga nyawa Spanyol kadang berada di zona kritis.

Lain halnya dengan Jerman. Tim Panzer itu sudah seperti Brasil atau Portugal, malah lebih Argentina dari pada Argentina. Philipp Lahm, Jerome Boateng, Mesut Oezil, Bastian Schweinsteiger, Cacau, Miroslav Klose, dan Lukas Podolski sedang berada di puncak permainan. Kendati Thomas Mueller tidak bermain, pasukan diesel itu kini tengah menjelma menjadi jet F1 yang siap menyerang dalam alunan musik Mozart. Selaksa seribu lebah, bergelombang, dalam satu kekuatan, tetapi tetap mempesona.

Dua kali Jerman tampil membabi buta mengalahkan Inggris (4-1) dan Argentina (4-0). Jerman juga mencukur Australia (4-0). Namun, Jerman kalah dari Serbia (0-1) dan menang tipis melawan Ghana (1-0).

Betapa hidupnya tim Panzer di lintasan menyerang. Berhadapan dengan tim berdarah menyerang seperti Inggris, Argentina, dan Australia mesin Panzer seolah mendapat ruang untuk meliuk lebih kencang. Cacau, Oezil, Podolski, dan Klose adalah Jerman keturunan. Mereka terlahir dengan dua jantung. Yang satu berdegub mengikuti irama mesin diesel, sementara yang lainnya mengikuti tarian negeri diasporanya. Mereka bukan keturunan yang konservatif asli Jerman. Sisi diasporanya memberikan irama penyeimbang, yang mampu meladeni kultur seni sebagai ‘kesemberonoan hidup'.

Inilah tesis Joachim Loew. Traktat ilmiah Jerman, dengan riset dan diktatisme yang radikal saat ini harus mengakui bahwa Cacau, Oezil, Podolski, dan Klose bukan sepenuhnya lahir dari dunia akademis. Sepak bola mereka lebih dulu lahir di jalanan, seperti anak-anak Brasil dalam diri Cacau, Turki dalam diri Oezil, Podolski dan Klose dari Polandia. Mereka adalah anak-anak dari seni sebagai kesemberonoan hidup, di jalan-jalan, dan bukan di dunia akademisi. Demikian Jerman tampil mengagumkan.

Namun, Jerman kecolongan atas Serbia dan terengah-engah meladeni Ghana. Sayang Serbia tidak memiliki penyerang dengan naluri haus gol. Demikian pun Ghana. Namun, kolektivitas Serbia dan Ghana yang mumpuni dalam menutup setiap ruang gerak Lahm, Boateng, Oezil, Schweinsteiger, Cacau, Klose, dan Podolski telah terbukti mampu menenggelamkan ketajaman Jerman. Ghana laksana benteng dalam bertahan hanya menyisakan satu kesempatan bagi Jerman untuk menceploskan bola ke gawang.

Diego Armando Maradona benar bahwa menyerang adalah pertahanan yang paling kokoh. Tetapi, cara penyerangan Argentina sama sekali tidak mencerminkan filosofi itu. Menyerang untuk bertahan mengandaikan Argentina mampu mencuri setiap bola yang mengalir di lapangan tengah dan merangsek ke jantung pertahanan lawan. Artinya, pertempuran yang sesungguhnya terjadi di lapangan tengah, tanpa memberi ruang bagi bola itu menyusup ke kotak pinalti.

Yang terjadi justru sebaliknya. Argentina menyerang tetapi tidak menguasai lapangan tengah. Semua menginginkan dirinya tampil sebagai pahlawan yang menumbangkan Jerman. Egoisme bahkan melanda sebagian besar pemain, sehingga kolektivitas sebagai elemen utama dalam filosofi menyerang sebagai pertahanan yang paling solid terlupakan. Demikian pun Inggris.

Yang paling menakutkan adalah kebangkitan Spanyol pada era semifinal melawan Jerman. Spanyol kini telah lepas dari jerat yang melilit, dari keterseok-seokan pada babak penyisihan, belenggu Portugal dan Paraguay. Spanyol telah menjalani laga-laga sebelumnya dengan kaki terikat pada beton. Naluri mereka kini sedang mencari kepuasan yang belum terpenuhi sejak babak penyisihan tersebut.

Jika naluri itu tumbuh, kebangkitan Spanyol akan melahirkan kolektivitas yang mematikan di setiap lini. Di topang oleh sayap menyerang yang tak kalah tajamnya, Spanyol akan kembali bermain sebagai Serbia, seperti Ghana, dan mencetak gol serupa Jerman yang sudah-sudah. Torres atau Villa, sesudah itu Iniesta dan Xavi Hernandez, didukung oleh Puyol, Ramos, Pique, Busquets, dan Alonso adalah mereka yang mampu mencuri setiap kesempatan menjadi gol. Mereka sepenuhnya datang dan terlahir dari seni sebagai kesemberonoan hidup.

Inilah yang menakutkan Jerman. Terutama ketika Jerman sudah merasa berpuas diri, terlena oleh sanjungan atas kemenangan melawan Inggris dan Argentina, rasa puas itu akan menjadi momok yang membunuh dari dalam. Ini pulalah yang menakutkan Jerman, yakni luka yang telah terbawa dari Piala Eropa pada 2008 lalu. Kendati mereka mengatakan tim Jerman sudah berbeda, tetapi luka dan rasa puas diri itu adalah hantu yang mematikan.

Saya mendukung Spanyol, karena rasa tak terpuaskan selalu akan mengalahkan rasa puas diri. Berharap ada kebangkitan kedua pada generasi yang tumbuh dari kultur seni sebagai kesemberonoan hidup.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun