"I Rambu Kahi Kapuala," kata kakek saat membaca satu judul cerita rakyat Sumba dari bukunya bapa dosen, Retang Wohangara.
"Nggarra wanna ka na kapuala, bhoku?"
"Bhe ma-pongu dhuya ni. Ma-pongu nda lu-langa ya."
Hari masih teramat pagi, saat saya menawarkan untuk membaca buku yang baru saja saya peroleh beberapa waktu lalu. "Ninya na mbuku na ma pa-hillu humbangu, bhoku," kata saya saat kakek dan saya menikmati secangkir minuman penghangat berupa kopi dan teh untuk kami masing-masing. "Mbuhangu pa-mbaca ya?"
Tanpa menunggu aba-aba darinya, saya lalu pergi mengambil buku yang saya maksud. Segel pertama buku ini dibuka oleh kakek. Sebab, saat mengambil buku ini di SMP Katolik Anda Luri, hingga pagi tadi, saya belum ada waktu untuk membuka segel buku ini, lalu membaca isinya. "Ai ku-ngandi ayaka latti na kaca mata-nggu kangiau," sesal kakek saat menerima buku ini.
Waktu saya mengambil buku ini di ibu kepsek SMP Anda Luri tanggal 25 lalu, saya jelaskan bahwa buku ini pernah saya baca saat masih SMP dulu. Itulah sebabnya segel pertama buku edisi revisi ini saya berikan pada kakek untuk dibuka, lalu dibaca sebagai yang pertama. Kebetulan, kemarin kakek datang ke rumah untuk berobat ke Puskesmas. Maka, jadilah buku ini dibuka dan dibaca olehnya.
Seperti biasa, kakek adalah seorang pembaca buku yang tuntas. Maka, saat mendapat buku ini, hal pertama yang dibaca kakek adalah sambulnya. Lalu satu demi satu halaman depannya dibaca perlahan sampai pada daftar isi, termasuk yang berbahasa Inggris, walaupun dalam penulisan judulnya sama semua, yang membedakannya hanyalah dialeg Kambera pada terjemahan bahasa Sumba-nya.
"Mbaca pakiringu la i yohu bha, bhoku," kata saya menuntun. "La nomur tailu kambulu patu." Kakek kemudian membuka perlahan halaman buku ini sampai pada nomor yang dimaksud.
"I Rambu Kahi Kapuala," kata kakek saat membaca satu judul cerita rakyat Sumba dari bukunya bapa dosen, Retang Wohangara. Lalu paragraf pertama dilahapnya dengan tenang dan pelan. "Ai na tamba kalillangu na mata-nggu." Mata kakek sudah rabun. Ia memang masih bisa membaca buku, tapi harus jeda. Sebab, kata kakek, tulisan di dalamnya hilang.
Sambil menemanu kakek membaca buku ini, tiba-tiba bapak datang dari belakang. Ia mendengar cerita yang dibaca oleh kakek, yang, tiba-tiba berhenti karena matanya sudah tidak kuat lagi. Saya mencoba melanjutkan bacaan yang kakek baca. "Takka mia lai nggi-ka nikawai, bhoku?"
"Lai ni ka," balas kakek menunjukkan pada saya mana yang telah dibaca kakek. ""Ho...rambu Kahi, laku li ka u hpa-na," wdha-nya. Laku li," kata saya saat membacakan isi buku ini. Lalu, tiba-tiba bapa menimpali, "Ka nggi- ka yia na manu?" wanna?"