Saya kaget saat membaca isinya, ternyata sama persis seperti kata bapak. Padahal, setahu saya, bapak tidak bisa membaca. Namun, mengetahui ini, yakinlah saya bahwa kita, orang Sumba punya banyak cerita rakyat yang dituturkan turun-temurun. Namun, sayangnya cerita-cerita itu telah mati ditelan zaman. Aktivitas mendongeng sudah tidak dilakukan lagi, seperti yang dilakukan oleh generasi bapak saya.
Ada banyak Cerita Rakyat Sumba yang belum dituliskan, yang pada beberapa tempat, ceritanya sama persis seperti persisnya cerita Si Kancil dan Buaya milik Indonesia dan Malaysia. Pun demikian cerita-cerita lainnya yang mengandung pesan moral, tapi tidak lagi diceritakan atau bahkan dituliskan.
Tugas untuk mengenalkan Cerita Rakyat Sumba makin berat, apalagi kita sudah terbuai dengan perkembangan zaman. Para penuturnya juga sudah makin sepuh dan telah berpulang. Barangkali, ancaman kepunahan Cerita Rakyat Sumba akan mengikuti ancaman kepunahan Bahasa Kambera, bila tidak ditulis. Sebab, aktivitas mendongeng sudah jarang dan bahkan tidak ada lagi yang saya lihat. Namun, itu semua bisa diabadikan lewat tulisan.
Semoga ada orang-orang yang mau menulis Cerita Rakyat Sumba, mengikuti jejak bapa dosen, Retang Wohangara.
Terjemahan:
1. Apa sudah artinya kapuala, kek?
2. Itu artinya luka. Luka yang tak kunjung sembuh
3. Ada buku yang berbahasa Sumba, kek.
4. Mau dibaca?
5. Baca dari sini saja, kek.
6. Di nomor 34.
7. Mata saya berair.
8. Sudah sampai di mana tadi, kek?
9. Sudah sampai di sini
10. "Di mana sudah itu ayam," katanya?
.
.
: Prai Kilimbatu, 29 Juli 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H