Aliansi Jurnalis Independen (AJI) baru-baru ini memberikan penghargaan, salah satunya kepada Forum LGBT di hari ulang tahunnya yang ke-22. Melalui penghargaan Tasrif Award. Pemberian penghargaan memang hak mereka. Tapi, saya kira, sebagai bagian dari masyarakat yang punya daya kritis terhadap beragam produk jurnalistik, kita juga perlu waspada atas efek negatif yang mungkin berkembang pasca penghargaan tersebut diberikan.
Kita tahu, salah satu Dewan Juri adalah Ignatius Haryanto, dikenal sebagai pendukung eksistensi LGBT. Tokoh ini pernah nyaris lolos menjadi anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Tapi, tak satupun anggota DPR yang memberikan suaranya. Maka tak mengagetkan ketika menjadi salah satu juri dan kemudian mengantarkan Forum LGBT, lebih tepatnya Forum Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer Indonesia (Forum LGBTIQ Indonesia) sebagai pemenangnya.
Di media, (Tempo.co/27/8/16) diungkapkan beberapa alasan kenapa penghargaan tersebut diberikan. Dikatakan bahwa apa yang diperjuangkan oleh lembaga, kelompok dan komunitas ini sebetulnya adalah reaksi ketika negara berdiam diri dan tak melakukan perlindungan atas hak mereka sebagai warga. Bertubi-tubi aksi diskriminasi terjadi di ruang publik, semisal larangan muncul di media televisi dan radio, larangan untuk berpendapat dan berekspresi dalam berbagai penyelenggaraan acara, dan rencana pemblokiran situs mereka di jaringan internet.
Atas alasan tersebut, dewan juri melihat perjuangan yang mereka lakukan adalah bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang mengajak semua warga negara untuk memperbaiki apa yang menjadi problem politik warisan masa lalu, serta memberikan tempat setara bagi mereka yang selama ini terpinggirkan.
Saya tentu tidak berada dalam posisi mencampuri keputusan tersebut. Lagi pula saya bukan anggota AJI. Tapi, saya hanya sedikit ingin menyoroti efek ke depannya setelah penghargaan tersebut diberikan dan sikap seperti apa yang perlu diperjuangkan publik menyikapi eksistensi kaum LGBT khususnya di ranah media.
Saya setuju dengan perjuangan dalam kebebasan berekspresi. Tapi saya beranggapan bahwa pemberian penghargaan kepada kaum LGBT oleh AJI adalah sebuah ironi. Perjuangan publik misalnya memperjuangkan bagaimana tayangan kebanci-bancian tidak muncul di televisi saja mendapatkan pertentangan besar. Dengan adanya penghargaan demikian, seolah memberi pembenaran bahwa pilihan mereka menyandang status LBGT itu benar, wajar, bukan persoalan, tidak menyebarkan penyakit, tidak bertentangan dengan ajaran agama dan bebas mengekspresikan diri di televisi sekaligus mungkin mengkampanyekan komunitas LGBT itu.
Inilah bentuk ironi yang nyata. Tapi apa boleh buat, komunitas ini yang kemudian mendapatkan penghargan. Padahal saya kira banyak komunitas, pejuang kebebasan berekspresi lain yang layak untuk diberikan penghargaan.
Di lain sisi, bagi jurnalis anggota AJI, tentu yang terjadi setelahya punya semangat lebih kencang lagi untuk mengabarkan, memberitakan komunitas yang dinilai sering terpinggirkan ini. Melihat potensi demikian, tak ada yang bisa dilakukan publik untuk terus kritis membaca, mendengarkan dan menonton media agar LGBT tidak terus menerus mendapatkan panggung dan akhirnya diterima sebagai sebuah kewajaran bahkan kebenaran.
Saya mengerti kaum LGBT memang fakta dan ada di masyarakat. Tapi, menganggapnya sebagai sebuah kewajaran jelas sebuah problem. Dan sampai kapan pun usaha untuk mengkampanyekan eksistensi LGBT di media perlu terus kita tolak. Ini sedikit sikap “politik media” saya. Mungkin agak berbeda. Tapi apa boleh buat, inilah sikap yang saya kira perlu terus dinyalakan sebagai obor menghidupkan akal sehat bermedia. Demi masa depan yang baik bagi anak-anak kita. Semoga.
Penulis. Yons Achmad. Pengamat Media. Founder Kanetindonesia.com. WA:082123147969.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H