Politik citra Dahlan Iskan akhirnya menjadi bumerang. Pada periode awal kepemimpinan Dahlan Iskan, tokoh ini disambut hangat oleh masyarakat luas. Mulai dari menyapu tempat kotor di Monas, tidur dengan petani gula miskin, mempersilakan pengendara mobil untuk masuk tol tanpa membayar dengan alasan agar tidak lama mengantri. Belum lagi naik KRL serta ojek dalam kunjungan kerjanya. Selain itu gaya penampilannya juga tak nampak mewah. Kebiasaannya memakai baju santai dan sepatu ket sering disorot media. Hari-hari berlalu, media baik televisi, cetak maupun online memberitakan kebaikan dan citra baik Dahlan Iskan. Tak ketinggalan, buku-buku biografi serta novel Dahlan Iskan bermunculan di toko-toko buku. Tapi apa yang terjadi kemudian? Politik citra itu “membunuh” dirinya.
Dari segi psikologi massa, karena kelewat batas dalam melakukan politik pencitraan melalui beragam media, akhirnya sampai pada level “Annoying” (Mengganggu bahkan menjengkelkan), setidaknya membuat bosan. Sejauh ini publik memang cenderung diam dan menerima saja tingkah polah Dahlan Iskan. Sementara Dahlan Iskan rupanya tidak terlalu memperdulikan semua itu. Suatu ketika saya menonton acara Mata Najwa di Metro TV, ketika ditanya tentang tuduhan politik citranya, Dahlan Iskan menjawab tenang “Saya tidak peduli kalau dianggap begitu, bagi saya pokoknya saya bekerja-bekerja-bekerja”.
Nah, untuk membaca politik citra Dahlan Iskan ini dengan lebih adil, kita coba menganalisisnya dalam beberapa faktor. Keempat faktor ini saya ambil dan disesuaikan seperlunya dari pemikiran seorang pemikir komunikasi politik luar negeri bernama Dan Nimmo:
Pertama: Person (Figur). Sosok Dahlan Iskan memang dikenal dengan kesederhanaannya, orangnya spontan, tidak terlihat sombong, cukup murah senyumwalau gayanya agak “ndeso”.Dengan figur semacam itu membuatnya mudah diterima dengan hangat oleh publik. Karena itu pulalah buku-buku biografi Dahlan Iskan banyak ditulis untuk memberikan inspirasi kepada banyak orang, begitu juga novel dan cerita-cerita fiksi lainnya ditulis dan menghiasi banyak toko buku ditanah air.
Kedua: Party (Ideologi). Ini dia juga kelebihan Dahlan Iskan. Sosok yang independen. Tidak masuk partai apapun. Dengan bekal inilah, ideologinya adalah (barangkali) ideologi untuk kemajuan bangsa. Bukan ideologi untuk kemajuan dan kepentingan partainya. Walaupun begitu, karena sosoknya yang cukup unik tentu saja tak lepas dari lirikan partai-partai politik untuk mendukungnya. Sebagai presiden Indonesia 2014 misalnya. Saya kira, Dahlan Iskan juga menyadari potensi itu. Maka politik pencitraan baginya barangkali memang diperlukan.
Ketiga: Presentation (medium komunikasi). Sebagai mantan wartawan, raja media sekaligus pemilih media group Jawa Pos, sudah tentu paham betul logika media. Tentang peristiwa-peristiwa menarik apa yang layak dan pantas diberitakan sehingga menyedot perhatian publik. Maka tak heran kemudian pemberitaan tentang Dahlan Iskan begitu mewarnai berbagai media baik televisi, cetak maupun online. Terus menerus media menyajikan pemberitaan tentang sisi posifif Dahlan Iskan.
Keempat: Policy (Kebijakan, isu, program kerja). Nah, ini yang sering luput dari pemberitaan.Sebenarnya, apa sih kebijakan, isu atau program-program kerja konkrit Dahlan Iskan ketika menjadi pejabat publik. Seharusnya, yang demikianlah menjadi pemberitaan, sehingga publik tahu apa yang sudah dikerjakan Dahlan Iskan, bukan apa yang baru atau akan dilakukan Dahlan Iskan. Arah pemberitaan Dahlan Iskan seharusnya menukik pada ranah ini. Sayang seribu sayang, media arus utama kita (mainstream) banyak yang luput mengkavernya. Padahal demikianlah pendidikan politik yang perlu, agar publik bisa tahu dan bisa mencontoh hal-hal positif apa yang telah dilakukan pejabat publik dalam rangka keberpihakannya kepada masyarakat, meningkatkan kualitas hidup mereka dengan kebijakan-kebijakan yang progresif serta kerja-kerja konkrit ikut menyejahterakan masyarakat.
Kabar paling kini, mobil listrik Dahlan Iskan ditabrakkannya ke sebuah bukit dan hancur lebur jadi rongsokan. Kasus ini, membuka wacana kembali tentang sosok Dahlan Iskan dan kerja-kerjanya selama ini. Kejadian yang seharusnya tak terjadi karena mobil tersebut baru dalam rangka uji coba dan harusnya seorang “ahli” yang mengujicobanya. Belum lagi ternyata plat nomornya palsu pula.
Begitulah, Dahlan Iskan yang memulai dan Dahlan Iskan pula yang barangkali mengakhiri. Politik citra telah menjadi bumerang dan “membunuh” citra dirinya. Pada akhirnya kalau boleh kita simpulkan, kerja-kerja konkritlah yang akan menjadi ukuran untuk mendapatkan penilaian positif publik (masyarakat luas), bukan pencitraan remeh-temeh yang diberitakan wartawan-wartawan polos dimana tidak kritis dan hanya suka isu permukaan, tidak mau menggali dan memberitakan pokok-pokok masalahnya. Baiklah, kita tunggu kabar Dahlan Iskan selanjutnya. (Yons Achmad)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H