[caption caption="Dibutuhkan kesadaran untuk bertoleransi"][/caption]
MANADO - Terjadinya gesekan antar kelompok umat beragama di Indonesia bukan merupakan indikasi lemahnya intelijen dan aparat keamanan. Penilaian tersebut diutarakan oleh aktivis Gerakan Bina Tanah Air Sulut, Salman Charles Ngantang, SH. "Tentunya kita semua menyesalkan adanya insiden seperti di Tolikara dan Aceh Singkil. Evaluasi sistem keamanan perlu dilakukan, tapi secara obyektif", ujarnya.
Menurut Salman, pihak intelijen dan aparat keamanan sudah berbuat maksimal mengamankan NKRI. "Dalam menilai permasalahan, jangan pakai kacamata kuda. Ketika Indonesia aman, tidak ada yang memuji mereka (intelijen dan aparat keamanan), tapi saat ada kerusuhan sedikit, masyarakat langsung menghujat". Pola pikir seperti dirasa kurang adil. "Aparat kita sudah bekerja keras, buktinya insiden Tolikara dan Aceh Singkil bisa dilokalisir sehingga tidak merembet ke daerah lainnya", lanjutnya. Dalam penanganan masalah di lapangan, sering muncul dinamika.
"Intel, polisi, dan tentara kita jumlahnya sangat sedikit dibandingkan penduduk Indonesia. Mereka (sudah) antisipasi, tapi jika bertindak keras, malah nanti dibilang melanggar HAM lagi". Guna menjaga kerukunan antar umat beragama, Gerakan Bina Tanah Air Sulut menilai bahwa seluruh komponen ikut bertanggungjawab. "Di negara adikuasa saja kerusuhan rasial masih bisa terjadi. Sehebat apapun aparat kita, tapi kalau masyarakatnya intoleran, ya percuma saja" imbuh Salman. Menyikapi kondisi ini, pria penggemar akik ini mengharapkan agar Wawasan Nusantara digalakkan. "Mari torang samua jangan berpikir sektoral, jangan menilai dari satu sisi saja. Negara kita beragam suku bangsa dan agama, jika wawasan kebangsaan diabaikan, maka jalannya akan buntu", tutupnya.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H