Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus terdepresiasi hingga menyentuh angka Rp12.800 an. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Sofyan Djalil bahwa pelemahan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS dalam beberapa waktu terakhir disebabkan faktor eksternal. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun mengatakan pemerintah belum perlu mengambil langkah antisipasi menghadapi pelemahan rupiah terhadap dolar AS mengingat penyebabnya faktor ekternal. Pelemahan rupiah justru disebutkan menguntungkan terutama dari sisi ekspor.
Meski ekspor dengan nilai rupiah tersebut diharapkan naik tetapi di sisi lain, kok nggak diperhitungkan bahwa peranan Rupiah sangat berdampak signifikan kepada masyarakat umum (konsumen), apalagi bahan baku kita masih banyak impor, misal : kedelai sampai barang hardware IT (berupa CBU maupun non CBU yang komponen dasarnya sebagian besar masih impor) yaitu komputer & perlengkapannya.
Sebagai konsumen IT yang membutuhkan sebuah komputer server dan sudah merencanakan dari bulan Nopember 2014 untuk kelompok barang komputer dan perlengkapannya yang harganya selalu mengikuti fluktuasi dollar pengennya sih dolar turun dikisaran Rp.10.000,- sebagaimana dulu pernah diprediksi sejumlah analis ekonomi luar negeri yang pernah mengatakan, dolar AS bisa turun ke Rp.10.000,- bila Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) terpilih menjadi presiden, tapi toh itu semua sulit diharapkan, apalagi sudah ada statemen Menko Perekonomian, "Jangan juga masyarakat mengharapkan rupiah balik ke Rp10.000/US$ karena tidak bagus buat ekspor kita. Jadi era mata uang Rp.10.000/US$ sudah lewat," tegasnya (sumber : detikfinance). Pasalnya, posisi tersebut justru tidak menguntungkan ekspor, Karena Rupiah di level Rp.12.000,- cocok untuk mendongkrak kinerja ekspor.
Dan dolar pun sepanjang Januari ‘enjoy’ dengan rata-rata nilai tukar Rp 12.581/US$.
Konsumen computer dan printer yang sudah mengalah dengan menghitung kembali budgetnya Rp.12,000/ US$ (sesuai statement Menko), akhirnya tetap “wajib menyerah total” karena dalam APBN-P (disetujui pada bulan Pebruari 2015) ditentukan Rp12.500/US$.
Dan celakanya sekarang pun untuk dolar fluktuasinya hanya dikisaran Rp.12.800,- kok ya nggak “secepatnya” turun sesuai dengan APBN-P, mungkin masih dianggap “normal’ sesuai statement Menteri keuangan yang mengatakan "Saya brief (diskusikan) ke Presiden, angka Rp 12.000 per USD menjadi Rp 13.000 per USD itu hal biasa, normal. Dulu pas 1998, dari Rp 2.000 - Rp 3.000 per USD menjadi Rp 15.000 per USD, ya itu krisis," (sumber : Merdeka, Desember 2014).
Walah ajuur deh … sebagai konsumen komputer & printer pun harus “mengelus dada”, karena nilai dolar segitu dirasakan udah nggak normal, maklum lah harus merogoh kocek lebih dalam untuk men”subsidi” selisih harga demi mendapatkan barang, yaitu sebuah komputer atau printer.
Yaah… mau gimana lagi, paling pool bisanya cuman ngedumel “…Revolusi ‘mental’an tenan….”.
(mentalan (bhs Jawa ngoko) dari kata dasar mentolo yang artinya tega).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H