Mohon tunggu...
Yoni Prawardayana
Yoni Prawardayana Mohon Tunggu... -

Seorang yang humoris, dan pintar mencairkan suasana :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Sebuah Janji untuk Ayahku

26 Maret 2015   22:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:57 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ruangan ini sangat bersih, rapi, dan berukuran cukup luas. Dindingnya berwarna putih, dan  dihiasi oleh berbagai macam pigura penghargaan, foto keluarga, serta sebuah lukisan. Di ruangan itulah, dua orang duduk saling berhadap-hadapan. Orang pertama adalah dokter yang tampak sibuk mencorat-coret berkas diagnosis penyakit. Sementara itu, orang kedua adalah pasien yang jika dilihat dari ekspresi wajahnya, ia tampak berusaha mengingat-ingat sesuatu.

“Apakah anda ingat, sekarang hari apa? Bukankah saya menyuruh anda untuk datang ke sini hari Selasa, bukan hari Senin?” Tanya dokter itu kepada pasiennya.Si Pasien kebingungan. Ia kemudian menjawab dengan penuh rasa bersalah.

“Maaf Dok, saya lupa.”

Mendengar jawaban dari si pasien, dokter kembali mencorat-coret berkasnya.

“Oh, itu tidak masalah. Bagaimana kabar anda?”

“Saya baik-baik saja dok.” Jawab si pasien sambil tersenyum.

“Oke. Jadi begini. Saya tadi sudah membaca hasil CT Scan kepala anda. Dan sekarang,saya memiliki beberapa pertanyaan yang harus anda jawab. Jawaban anda akan sangat membantu saya dalam mendiagnosis penyakit anda. Apa anda siap?”

“Saya siap, dok”

“Berapa anak anda?”

“Dua, dok. Satu laki-laki, dan satu perempuan."

"Berapa umur anak perempuan anda?"

18. Eh, 17 mungkin, dok."

“Hmmm, baik. Sekarang, apa anda ingat nomor rumah anda?”

"Dok, saya sulit mengingat angka."

Si pasien tampak kebingungan dan kesulitan menjawab.

"Berapa hasil penjumlahan 23+24?"

“Apa warna rambu lalu lintas untuk berhenti?”

“Jika anda sedang membelakangi kiblat, berarti anda menghadap ke arah mana?”

Pertanyaan bertubi-tubi ini sulit dijawab oleh si pasien. Ia hanya diam membisu, dan memilih untuk memandang jendela lebar yang menyuguhkan pemandangan gedung-gedung megah perkotaan.

Dokter menatap wajah si pasien dengan penuh rasa simpati.

"Baik. Saya akan menyimpulkan apa nama penyakit anda berdasarkan hasil CT Scan dan pengamatan yang telah saya lakukan selama ini. Apapun yang terjadi, anda harus bisa menerima." Dokter berkata dengan nada berat, pertanda sedang menyembunyikan sesuatu.

"Iya, dok. Saya siap. Katakan apa yang sesungguhnya."

"Terjadi pengerutan di otak Anda. Dalam dunia medis, pengerutan ini disebut Alzheimer."

" Alzheimer?"

"Ya. Alzheimer."

Si pasien tersentak mendengar perkataan dokter.

"Apa yang harus saya lakukan, dok?"

"Mohon maaf apabila perkataan saya terlalu kasar. Saran saya, anda harus segera keluar dari pekerjaan anda. Dari hari ke hari, kemampuan otak anda akan menurun. Anda akan kesulitan melakukan aktivitas apapun, dan bahkan anda akan melupakan diri anda sendiri. Istirahatlah, sebelum terlambat."

Si pasien tertunduk lesu, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sementara itu, dokter tak meneruskan kata-katanya lagi. Ia sungguh tak tega.

**

Ada yang berbeda dengan aula SMA Nusantara di hari itu. Ruangan aula yang biasanya sepi tampak ramai oleh hiruk pikuk siswa kelas 3 yang akan mengikuti sebuah hajatan besar. Ya, setelah berjuang keras selama 3 tahun, siswa-siswi SMA Nusantara akan diwisuda oleh kepala sekolah.

Bagiku, acara wisuda kelulusan ini begitu istimewa. Ya, selain karena lulus dengan nilai sangat memuaskan, aku juga mendapat penghargaan sebagai murid terbaik di SMA Nusantara. Berita baiknya, ayahku yang diundang oleh sekolah untuk menyaksikan acara ini akan duduk di deretan terdepan. Bisa dibayangkan nantinya, saat ayahku dengan sorot mata bangga akan melihatku menerima penghargaan prestisius dari sekolah.

Pagi itu, saat sarapan, aku berkata pada ayahku.

"Ayah nanti jangan telat ya?"

Mendengar perkataanku, ayah hanya tersenyum manis dan menjawab dengan singkat.

"Iya, Asrina."

Aku suka senyuman ayah. Bagiku, senyuman ayah memberiku spirit.Aku masih ingat betul saat ibu meninggal beberapa tahun yang lalu, aku menangis tak henti-henti. Ayahku, yang begitu tegar, menepuk bahuku sembari tersenyum. Senyuman penuh makna, yang seolah-olah berarti "kamu harus kuat, Asrina." Sejak saat itulah, aku bertekad untuk membuat ayahku bangga. Dan momen itu akan tiba di hari ini.

Sebelum berangkat, aku meraih tangan ayah dan kucium berulang kali.

"Ayah, Asrina tunggu di sekolah, ya?"

Seperti biasanya, ayah tersenyum dan menjawab singkat.

"Iya, Asrina. Selesai rapat di kantor, ayah langsung ke sekolah kamu."

Aku membalas senyuman ayah, melambaikan tangan ke arahnya, dan bergegas berangkat sekolah.

Aku sampai di sekolah, dan segera menggabungkan diri dengan teman-temanku. Kemudian, aku masuk aula dan duduk di tempat yang telah ditentukan. Tiba-tiba telepon genggamku bergetar, tanda ada pesan yang masuk. Saat kubuka, rupanya ada pesan dari mas Tio, kakak kandungku yang tinggal di luar kota.

Asrina, selamat ya? Maaf, mas tidak bisa datang. Salam untuk ayah.

Aku tersenyum membaca pesan dari Mas Tio. Aku sangat maklum. Tugas mas Tio di angkatan udara membuatnya jarang berkumpul dengan keluarga. Aku sudah terbiasa dengan hal itu, dan pesan dari mas Tio setidaknya sudah bisa mengobati kerinduanku pada kakakku satu-satunya ini.

Setelah membalas pesan dari mas Tio, aku memandang ke sekeliling aula, mengamati tingkah teman-temanku yang begitu bahagia karena hari ini, aku dan mereka semua akan wisuda. Aku kemudian memandang ke deretan kursi yang ditempati oleh wali murid. Ayahku belum tampak. Mungkin rapat ayah belum selesai, batinku.

Acara demi acara sudah berlangsung. Aku mulai gelisah. Ayahku tak kunjung datang. Padahal sebentar lagi, acara penyerahan penghargaan akan segera dimulai.

"Siswa-siswi yang berbahagia, kini tiba saatnya bagi kami untuk memanggil beberapa siswa yang prestasinya membanggakan sekolah. Yang pertama, Asrina Kusumawardhani, silahkan menuju ke podium!" Ucap MC dengan penuh semangat. Aku pun maju ke podium diiringi tepuk tangan meriah. Di atas podium, kepala sekolahku sudah menunggu. Beliau langsung menyalamiku dan memberi ucapan selamat.Kepala sekolah kemudian memberiku piagam penghargaan dan mengajakku untuk foto bersama. Di atas podium inilah, aku melirik ke deretan kursi wali murid. Ada satu kursi yang kosong. Itu kursi yang seharusnya ditempati oleh ayahku.

Selesai wisuda, aku menuju ke toilet. Di sana aku membuka tas dan mengambil telepon genggam. Tak ada panggilan maupun pesan yang masuk. Aku kemudian menelepon dengan gelisah. Tak ada yang mengangkat. Hanya terdengar nada dering telepon yang membosankan. Aku mematikan telepon genggam, dan akhirnya pulang ke rumah dengan hati yang dongkol.

Ketika sampai di rumah, ayahku sedang duduk di kursi malasnya sambil menyeruput teh. Tak ada wajah bersalah. Aku jadi semakin jengkel.

"Ayah tadi kemana aja?"

Ayah melirik ke arahku. Tetap dengan ekspresi wajah tak bersalah.

"Ada apa, Asrina?"

"Ya ampun, yah. Apa ayah lupa kalau hari ini Asrina wisuda? Ayah kan sudah janji akan datang ke wisuda Asrina?"

Ayahku hanya bengong. Beliau berusaha mengingat-ingat sesuatu. Selang beberapa detik, beliau menepuk-nepuk jidatnya.

"Waduh, ayah minta maaf, Asrina. Ayah lupa."

Hanya itu? Batinku. Tak terasa air mataku berlinang. Aku yang sangat kesal memutuskan untuk menuju kamar dan menguncinya. Meninggalkan ayahku sendirian dalam kebingungan. Semalaman, terdengar beberapa kali ayahku mengetuk pintu dan meminta maaf. Aku tak menghiraukan ayahku. Aku sudah terlalu kecewa.

**

Hari ini, saat aku bersiap-siap berangkat kuliah, ayahku mengeluh pusing. Aku pun menyuruh beliau untuk istirahat. Ketika aku datang ke kamarnya untuk menuangkan teko ke dalam gelas, ayah berkata.

"Biar ayahsaja. Ayah bisa menuangkan gelas sendiri, Asrina." Jawab ayah sambil berusaha menuangkan air ke dalam gelas. Entah karena sebab apa, ayah begitu kesulitan. Terlihat hanya separuh air yang berhasil masuk gelas. Sisanya, tumpah ke meja dan menggenangi lantai. Aku dengan spontan langsung meraih teko dari tangan ayah, dan menuangkannya sendiri ke dalam gelas hingga penuh. Kemudian aku mengelap meja dan lantai yang basah.

Apa yang kuceritakan di atas hanya sebagian kecil dari keanehan-demi keanehan yang terus terjadi pada diri ayah. Beliau sering lupa tentang suatu hal, sulit fokus, serta bingung dengan angka dan tanggal. Karena keadaan yang demikian, ayahku memutuskan untuk pensiun dini dari pekerjaannya di kantornya. Sejak ayah pensiun dini, biaya kuliahku ditanggung oleh mas Tio.

Aku yang khawatir dengan keadaan ayahku memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter Eva, tetanggaku. Dokter Eva mendengarkan ceritaku dengan seksama. Lantas, dokter Eva meminta izin kepadaku untuk menelepon seseorang. Setelah dokter Eva selesai menelepon, ia menghampiriku.

"Mbak Asrina, saya tak berani mendiagnosis begitu saja tentang apa yang dialami ayah mbak Asrina. Begini, tadi saya telah menelepon teman saya. Ia adalah seorang dokter spesialis. Kebetulan hari ini ia bisa ditemui. Ayo ikut saya, mbak."

Teman dokter Eva itu bernama dokter Firman. Ketika aku dan dokter Eva menemuinya, dokter Firman tampak sedang mencorat-coret berkas.

"Apa anda yang bernama Asrina?" Tanya dokter Firman sambil membersihkan kacamatanya.

"Iya, dok. Saya Asrina. Kedatangan saya ke sini...." Aku belum selesai berbicara, saat dokter Firman memberiku sebuah berkas diagnosis. Saat kubuka, dengan jelas-jelas, kulihat nama ayahku tertera di sana.

"Ayah anda, Bapak Kusuma sebenarnya berpesan bahwa jangan sampai anak-anaknya tahu tentang penyakit yang beliau derita. Akan tetapi, demi kebaikan bersama, saya harus memberitahukan ini kepada anda selaku salah satu anak beliau. Jadi begini, ayah anda terserang penyakit langka yang bernama Alzheimer."

" Alzheimer?"

"Ya, Alzheimer. Penyakit yang menyerang otak."

"Apakah penyakit ini ada obatnya, dok?

"Sementara ini, obat Alzheimer belum ditemukan, mbak Asrina."

Mendengar jawaban dokter Firman, mataku tiba-tiba merah. Aku kemudian menutup wajah dengan menggunakan kedua tanganku, berusaha menahan air mata agar tak jatuh berlinang. Namun, usahaku gagal. Dokter Firman dan dokter Eva berusaha menguatkan aku dengan menepuk bahuku secara bergantian. Aku mulai sedikit terhibur. Sembari mengusap air mata, aku dengan terbata-bata bertanya pada Dokter Firman.

"Apa yang harus saya lakukan untuk ayah saya, dok?"

"Mbak Asrina, mulai dari sekarang, luangkanlah waktu untuk ayah anda. Ayah anda butuh perhatian lebih, karena lambat laun, ayah anda akan kesulitan melakukan aktivitasnya. Bahkan, jika keadaannya begitu parah, ayah anda tidak akan bisa mengenali dirinya sendiri."

Aku tertunduk lesu. Namun, dalam hati aku berkata, bahwa aku tak ingin kehilangan ayahku. Aku harus kuat.

"Mbak Asrina tenang saja. Saya akan bantu ayah anda sekuat tenaga saya. Saya janji mbak."

Aku terbangun dari lamunan, dan menatap wajah dokter Firman dalam-dalam. Sedikit-demi sedikit, seulas senyum pun muncul.

**

Dengan ditemani dokter Firman dan dokter Eva, aku pulang ke rumah untuk menemui ayahku. Sesampainya di rumah, kami bertiga langsung menuju kamar.Ayahku ternyata belum tidur.

Begitu melihatku, ayah langsung menyapaku.

"Asrina." Kata ayah sambil melempar senyum.

Belum sempat aku membalas senyuman ayah, aku melihat lantai tempat ayah berdiri kasur telah basah. Bau pesing menyeruak. Ayah tak sadar telah buang air kecil.

Aku tak sempat berteriak. Bahkan, aku tak sempat menangis lagi. Aku berlari dan memeluk ayahku kuat-kuat, tak memperdulikan bau pesing di bajunya. Dalam hati, aku berjanji kepada diriku sendiri,bahwa aku akan menjaga ayahku sekuat tenagaku. Sampai nanti.

TAMAT

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun