Cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Kalimat itu selalu menjadi pegangan Fatria, sahabat baikku. Ya, Fatria adalah seorang pejuang yang kisahnya mengundang decak kagum. Oke, aku akan mendeskripsikan Fatria secara singkat. Fatria, memiliki anugerah wajah yang rupawan, macam Bebi Romeo. Kulit Fatria putih bersih, rambutnya lurus, disertai dengan tulang pipi yang memanjang. Dengan badan yang besar tegak lurus dan dipenuhi bulu, serta ditopang oleh bahu kokoh, tanpa sengaja ia memancarkan kesan pada semua orang, bahwa: aku, adalah Fatria, seorang pria yang sangat macho.
Meskipun berwajah sangar, Fatria adalah pria yang baik hati. Sahabatku yang hobi menebar senyum kepada semua orang ini juga memiliki kepedulian tinggi kepada binatang. Ya, terkadang jika aku melihatnya bersenda gurau dengan binatang peliharaannya, aku seperti melihat Nabi Sulaiman hidup kembali. Ada banyak jenis binatang yang pernah dipeliharanya, mulai dari ikan, belut air tawar, hamster, musang, kucing, tikus, hingga bahkan kalajengking dan kecoak. Ya, apa yang aku katakan ini betul sekali dan tidak mengada-ada. Deretan panjang jenis binatang yang aku sebutkan tadi, pernah dipelihara oleh Fatria. Banyak di antara binatang-binatang itu masih lestari hingga sekarang (yang lainnya ada dua kemungkinan, mati, atau dijual), seperti belut ikan air tawar yang kami beri nama Poseidon, dewa laut Yunani Kuno, serta seekor tikus putih gemuk nan rakus yang kami beri nama Android.
Pada masa-masa awal ketika kami berkuliah dulu, Fatria bisa dikatakan sebagai pria yang kurang produktif. Hampir sebagian besar kehidupannya dalam sehari dihabiskan untuk berdiam diri di kamarnya yang sempit, mengaktifkan koneksi internet, sambil sesekali mengawasi tingkah polah binatang peliharaannya yang lucu, dan terkadang juga sangat menyebalkan. Ia jarang keluar kamar. Dan jangan membayangkan jika kuota akses data internet yang dimilikinya digunakan secara tepat sasaran, misalnya mencari referensi materi perkuliahan atau mengerjakan tugas. Ia hanya menggunakan kuota akses data internetnya, untuk bercengkrama melalui media sosial, dengan kekasihnya yang terpisah jauh ratusan kilometer.
Kekasih Fatria ini bernama Ginolia. Ya, Ginolia. Ia adalah satu-satunya alasan Fatria untuk berjuang. Ginolia berasal dari sebuah kabupaten paling tandus di Yogyakarta, kabupaten Gunung Kidul. Saya lupa entah bagaimana awal kisahnya, Fatria yang berasal dari Jember, Jawa Timur, bisa menjalin kasih dengan Ginolia, yang berasal dari Yogyakarta. Ginolia yang sekarang bekerja sebagai pelayan restoran di Yogyakarta ini, berusia 27 tahun, selisih dua tahun lebih tua daripada Fatria.
Dulu terkadang aku tidak habis pikir, saat Fatria sering tidak masuk kuliah, hanya, hanya demi bertemu Ginolia. Aku juga sangat tidak habis pikir, saat uang kiriman orang tua Fatria yang seharusnya digunakan untuk biaya kuliah, lebih banyak dialokasikan untuk membayar biaya transportasi bis, yang mengantarnya menuju Yogyakarta, tempat Ginolia menanti.
Oke, tantangan perjuangan Fatria tidak berhenti di situ saja. Betapa memiriskannya, ketika aku tahu, bahwa jalinan kasih antara Fatria dan Ginolia tidak direstui oleh orang tua Fatria, hanya gara-gara tradisi keluarga. Ya, tradisi tak tertulis dalam keluarga Fatria menyatakan bahwa untuk mempererat tali persaudaraan, seorang pria, sangat dianjurkan untuk menikah dengan saudara dekatnya, misalnya sepupu. Tradisi ini sudah berlangsung turun temurun dalam keluarga Fatria. Dan sesuai dengan tradisi itu, orang tua Fatria sudah memilihkan gadis lain untuk Fatria, yaitu sepupu Fatria sendiri.
Tentu saja Fatria memberontak. Ia tak rela, Ginolia yang dicintainya mati-matian, harus dilepaskan hanya demi mematuhi tradisi keluarga. Fatria benar-benar tak rela. Perih, perih sekali membayangkan perasaan yang berkecamuk di dada Fatria. Dan aku bisa apa? Aku hanya bisa memberikannya motivasi dan semangat, dengan harapan bahwa setidaknya hal itu bisa meringankan penderitaan Fatria.
Kini, sementara aku sudah lulus dan sekarang aku sudah bekerja, Fatria masih belum bisa menyelesaikan kuliahnya. Tapi aku bangga karena Fatria sekarang telah berubah. Ia menjadi pria yang produktif. Bertekad untuk mandiri, ia bekerja serabutan.
Terkadang tatkala ia terlelap dalam tidur selepas bekerja, aku menyempatkan diri untuk menengok kamarnya, dan melihat wajah yang kelelahan. Kasihan ia. Menurutku, ia terjebak dalam situasi yang mengenaskan, antara cinta yang tak direstui hanya gara-gara tradisi keluarga, studi perkuliahannya yang mendekati batas akhir DO, serta Ginolia, kekasihnya yang kini beranjak usia 27 tahun.
Aku berkata dalam hati: Fatria, teruslah berjuang. Semoga nantinya, episode akhir kisah cintamu ini akan berakhir bahagia. Semoga.
Aku tak mampu meneruskan kata-kata lagi, tak tega melihat wajah Fatria, dan memutuskan untuk segera mematikan lampu kamarnya.