Mohon tunggu...
Yoni Prawardayana
Yoni Prawardayana Mohon Tunggu... -

Seorang yang humoris, dan pintar mencairkan suasana :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Megahnya Budaya di Balik Pegunungan: Kesenian Bantengan

24 Oktober 2014   22:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:51 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia menjadi salah satu negara yang mempunyai banyak produk seni pertunjukan dengan segala macam variasi media dan bentuk pementasannya. Keanekaragaman produk seni pertunjukan di Indonesia ini memiliki bentuk dan ciri khasnya masing-masing dan tersebar di segala penjuru mulai dari Sabang hingga Merauke. Salah satu produk seni pertunjukan Indonesia adalah Bantengan. Bantengan adalah seni pertunjukan yang mengombinasikan sendratari dengan pencak silat, adu kesaktian, musik, danmantra (Desprianto, 2013:1). Para pemain kesenian Bantengan mengenakan tiga kostum binatang, yaitu banteng, macan, dan monyet sebagai simbol dalam rangka mengomunikasikan sebuah pesan moral kepada penikmatnya, yaitu tentang sifat kebaikan yang pasti akan mengalahkan sifat kejahatan. Binatang yang dianggap sebagai simbol kebaikan adalah banteng. Binatang yang dianggap sebagai simbol penjajah, kejahatan, dan angkara murka adalah macan. Binatang yang dianggap sebagai simbol provokator dan antek-antek penjajah adalah monyet (Desprianto, 2013:158).

Secara garis besar, pementasan kesenian Bantengan dibagi menjadi dua bentuk, yaitu model menetap dan model arak-arakan (Herwanto, 2012:54). Model menetap adalah model pementasan yang memusatkan semua rangkaian pementasan dalam suatu tempat secara tetap (Herwanto, 2012:54). Sementara itu, model arak-arakan adalah model pementasan yang menunjukkan formasi karnaval dan menekankan pada gerakan berjalan dari suatu tempat ke tempat lain (Hidajat, 2005:25).

Apapun model pementasannya, ritual pertama yang selalu dilakukan oleh para pemain kesenian Bantengan sebelum mengikuti pementasan adalah ritual pamit ke pundhen. Pundhen merupakan tempat cikal bakal atau bedah krawang leluhur penunggu desa (Hidajat, 2006:32-33). Masyarakat Jawa meyakini bahwa pundhen adalah tempat tinggal para dhanyang. Dhanyang adalah adalah roh yang menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat desa,dukuh, ataukampung (Koentjaraningrat, 1984:338-339). Dhanyang begitu dihormati karena konon semasa hidupnya merupakan orang penting dalam sejarah desa tertentu (Danandjaja, 2002:162). Masyarakat Jawa mempercayai bahwa roh pendiri desa yang telah meninggal tersebut masih bersemayam di pundhendan menjaga ketentraman desa, sehingga perlu diselenggarakan ritual-ritual sebagai wujud penghormatan kepada para roh leluhur desa atau dhanyang.

Wujud penghormatan terhadap dhanyang selaku roh pendiri desa merupakan sisa kepercayaan Animisme yang dianut oleh masyarakat Indonesia jauh sebelum masuknya agama Hindu dan Buddha. Animisme adalah aliran kepercayaan terhadap eksistensi jiwa (roh) sebagai daya kekuatan luar biasa yang bersemayam di dalam manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan segala yang ada di alam raya ini. Kepercayaan animisme ini memunculkan penyembahan roh-roh nenek moyang (Suwito, 2007:2). Kekuatan-kekuatan roh ini dianggap sebagai Tuhan atau dewa yang dapat memberi rasa aman, kebahagiaan, dan kesejahteraan dalam wujud materi, atau sebaliknya dapat memberikan kekacauan, keresahan, kesusahan, dan kemiskinan (Sardjuningsih, 2013:72).

Wujud kepercayaan terhadap eksistensi roh ini juga tercermin dalam ritual pamit ke pundhen yang dilakukan oleh para pemain kesenian Bantengan sebelum melakukan pementasan. Maksud dan tujuan ritual pamit ke pundhen adalah meminta izin dan permisi kepada para dhanyang selaku roh pendiri desa agar pementasan berlangsung dengan lancar tanpa suatu halangan apapun. Permintaan izin secara simbolis ini diwujudkan dalam bentuk doa bersama dan pembakaran dupa. Dupa merupakan salah satu jenis sesaji yang dipergunakan sebagai sarana ritual pamit ke pundhen. Dupa yang baunya harum konon paling disukai oleh roh halus (Endraswara, 2004:185), sehingga para dhanyang selaku roh pendiri desadiharapkan bisa memberikan izin dan restu demi kelancaran dan kesuksesan pementasan.

Selain ritual pamit ke pundhen, ada juga satu ritual yang biasanya digelar di tempat pementasan. Ritual ini dikenal dengan istilah ritual suguh. Ritual suguh pada dasarnya merupakan sebuah rangkaian prosesi doa bersama yang dipimpin oleh para sesepuh dan dibantu oleh para pendekar perwakilan masing-masing grup partisipan dalam pementasan tersebut. Maksud dan tujuan dilaksanakannya ritual suguh di arena pementasan ini adalah untuk memohon keselamatan dan kelancaran acara, mengumpulkan aura-aura positif, serta membuat “pagar”. Pembuatan “pagar” ini dimaksudkan untuk melindungi para pemain maupun penonton dari kekuatan jahat yang berbahaya.

Ritual suguh di tempat pementasan ini menjadi juga menjadi ajang komunikasi secara simbolis antara para sesepuh dan para pendekar dengan para makhluk halus atau pihak ketiga. Benda yang menjadi perantara komunikasi tersebut adalah sesaji. Sesaji yang digunakan dalam ritual suguh ini ditempatkan di tengah-tengah arena pementasan. Sesaji adalah suatu bentuk kepercayaan terhadap makhluk halus dengan melakukan semacam penyerahan sajian pada saat-saat tertentu dan di tempat tempat tertentu. Sajian ini dapat diletakkan di bawah tiang rumah, persimpangan jalan, kolong jembatan, pohon besar, tepi sungai, dan tempat-tempat lainnya yang dianggap keramat sertaangker (Kodiran, 1974:341).

Upacara berkorban sesaji atau sajen memang ada dalam setiap upacara masyarakat Jawa. Sesaji ini bahkan dibuat masyarakat Jawa tanpa memperingati suatu kejadian tertentu atau peristiwa apapun. (Koentjaraningrat, 1984:364).Pembuatan sesaji dilatarbelakangi oleh aktualisasi pikiran, keinginan, dan perasaan dari seseorang untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sesaji menjadi wacana simbol yang digunakan sebagai sarana untuk negoisasi spiritual kepada hal-hal gaib. Hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak menganggu. Pemberian makan secara simbolis kepada roh halus diharapkan akan membuat roh halus tersebut menjadi jinak (Endraswara, 2003:95-96).

Bahan-bahan sesaji yang digunakan sebagai media dalam ritual suguh sangat bervariasi, yaitu terdiri dari pisang jenis Raja Bali, kelapa, gula merah, beras, daun sirih, bumbu kinang, rokok kelobot (daun jagung), kemenyan, dupa, minyak wangi merek Fanbo, kendi berisi air dari mata air, kaca kecil, sisir kecil dari kayu, benang, badheg atau air sari tape ketan, bucet atau irisan tumpeng kecil, minyak goreng, jenang abang, kembang telon atau bunga tiga warna (mawar, melati, dan kenanga), telur ayam kampung, kemiri, garam, terasi, kencur, jeruk purut, cabe merah, bawang merah, bawang putih, dan cikalan atau irisan kelapa kecil.

Penyelenggaraan ritual pamit ke pundhen dan suguh di tempat pementasan pada dasarnya merupakan sebuah tahapan awal sebelum menuju ke tahapan inti pementasan. Tahapan inti dalam pementasan kesenian Bantengan adalah penampilan berbagai jenis atraksi. Jenis-jenis atraksi itu secara garis besar terdiri dari peragaan jurus pencak silat dan solah. Penjelasan masing-masing atraksi tersebut adalah sebagai berikut:

Peragaan Jurus Pencak Silat

Peragaan jurus pencak silat ini dilakukan oleh masing-masing perwakilan dari grup-grup yang tampil, baik itu grup tuan rumah, maupun grup tamu. Peragaan jurus pencak silat biasa disebut kembangan. Sebuah kembangan mengombinasikan empat teknik dasar pencak silat, yaitu pembentukan sikap pasang, pola langkah, belaan, dan serangan (Maryono, 2000:9-11). Pada saat membentuk sikap pasang, seorang pesilat mengekspresikan status siaga dan waspada yang sewaktu-waktu dapat dirubah untuk melaksanakan suatu tindakan taktis tertentu. Sikap pasang ini dapat menggunakan tangan atau kaki yang terdiri dari sikap berdiri, jongkok, duduk, dan berbaring. Apabila sikap pasang adalah bagian statis dalam gerakan pencak silat, maka pola langkah adalah bagian yang dinamis. Seorang pesilat harus menentukan arah, cara dan pola gerak untuk kepentingan pembelaan dan serangan. Upaya-upaya pembelaan merupakan tindakan untuk menghindari (menggunakan teknik tangkisan serta elakan), menangkap, mengunci, dan menggagalkan serangan lawan. Sementara itu, serangan merupakan tindakan dalam menjatuhkan lawan dengan berbagai cara seperti memukul, menendang, dan membanting (Maryono, 2000:9-11). Empat teknik dasar ini juga dapat diaplikasikan ke dalam sebuah adegan perkelahian antara sepasang pesilat. Para sesepuh dan pendekar kesenian Bantengan Karya Muda menyebut adegan perkelahian itu dengan istilah bladonan. Bladonan ini dapat dilakukan dengan mempergunakan tangan kosong maupun berbagai jenis senjata seperti pisau, golok, pedang, trisula, dan toya.

Peragaan jurus pencak silat dalam sebuah pementasan kesenian Bantenganmembuktikan bahwa pencak silat memiliki keterkaitan yang erat dengan kesenian Bantengan. Keterkaitan ini dapat dilihat pada gerakan tari-tarian (solah) dalam kesenian Bantengan yang banyak bersumber dari pola langkah (jangkah) pencak silat. Pengadopsian pola langkah (jangkah) pencak silat ke dalam gerakan solah dilatarbelakangi oleh penggunaan kesenian Bantengan sebagai alat kamuflase latihan pencak silat pada masa pemerintahan kolonial Belanda (Desprianto, 2013:151). Kegiatan latihan pencak silat pada masa pemerintahan kolonial Belanda memang begitu diawasi dengan ketat. Pencak silat dianggap memunculkan rasa percaya diri dan keberanian untuk menentang pemerintah kolonial (Maryono, 2000:79). Hal inilah yang menyebabkan para pemuda berinisiatif untuk menggunakan kesenian Bantengan sebagai bentuk penyamaran kegiatan latihan pencak silat agar tidak dicurigai oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pasca Indonesia merdeka, kesenian Bantengan tidak lagi berfungsi alat kamuflase latihan pencak silat, melainkan sudah menjadi sebuah kesenian yang mandiri (Desprianto, 2013:151). Meskipun demikian, eksistensi kesenian Bantengan sebagai sebuah kesenian yang mandiri tidak bisa dilepaskan dari pencak silat begitu saja. Hal ini dapat dilihat pada atraksi peragaan jurus pencak silat yang masih diberi tempat dalam sebuah rangkaian pementasan kesenian Bantengan. Atraksi peragaan jurus pencak silat yang ditampilkan tersebut dirangkai dengan perkelahian menggunakan berbagai macam jenis senjata serta adu kesaktian.

Solah

Solah adalah istilah untuk menyebut gerakan tari-tarian dalam kesenian Bantengan. Gerakan solah ini banyak bersumber dari pola langkah (jangkah) pencak silat (Herwanto, 2012:16) yang dikombinasikan dengan peniruan gerakan binatang. Gerakan binatang yang diadopsi dalam solah adalah gerakan tiga binatang tokoh inti dalam kesenian Bantengan, yaitu banteng, macan, dan monyet. Apabila gerakan solah dilakukan dengan maksud untuk menirukan binatang banteng, maka gerakan itu disebut solah banteng. Apabila gerakan solah dilakukan dengan maksud untuk menirukan binatang macan, maka gerakan itu disebut solah macan. Apabila gerakan solah dilakukan dengan maksud untuk menirukan binatang monyet, maka gerakan itu disebut solah monyet.

Peniruan gerakan binatang dalam tari-tarian merupakan sisa-sisa dari kepercayaan totemisme yang dianut oleh masyarakat primitif. Kepercayaan totemisme adalah kepercayaan masyarakat primitif kepada suatu binatang tertentu yang diyakini merupakan nenek moyang atau leluhur penjaga dan pelindung (Freud, 1918:3). Para penganut totemisme terkadang menyelenggarakan suatu upacara dalam bentuk tari-tarian yang menampilkan atau menirukan gerakan-gerakan dan sifat-sifat dari binatang totem seolah-olah mereka ingin menegaskan kesamaan identitas dengannya (Freud, 1918:224). Tari-tarian menirukan binatang totem inilah yang disebut animal dance (Hadi, 2005:54).

Kesenian Bantengan bisa digolongkan sebagai salah satu contoh animal dance sisa kepercayaan totemisme berdasarkan ciri-ciri fisik yang ada pada gerakan tari-tariannya. Animal dance menekankan pada kemampuan para penarinya dalam menirukan binatang totemnya. Hal ini juga berlaku pada gerakan solahdalam kesenian Bantengan yang menekankan para pemainnya untuk menirukan gerak-gerik binatang banteng, macan, dan monyetsesuai aslinya.

Atraksi solah semakin terlihat atraktif ketika dikombinasikan dengan lecutan pecut yang secara simbolis berfungsi untuk membuka jalan, mengundang roh-roh leluhur, serta membersihkan kotoran-kotoran dan hawa-hawa jahat di tempat pementasan. Lecutan pecut ini dilakukan secara bersahut-sahutan oleh para pendekar pengendali permainan yang berada di arena pementasan.

Atraksi solah ini mencapat adegan kilmaks ketika para pemain memasuki tahap trans. Trans bisa diartikan sebagai perubahan kesadaran yang ditandai dengan pergantian identitas pribadi menjadi identitas baru akibat pengaruh suatu roh, dewa, atau kekuatan lain (Zulkhair, 2008:22). Trans yang diakibatkan oleh intervensi roh, dewa, atau kekuatan lain ini sesuai dengan penjelasan Pigeaud (1938:717) bahwa timbulnya keadaan trans “merupakan pertanda bahwa makhluk halus atau dewa yang ditunggu-tunggu itu benar-benar sudah datang”.

Istilah populer dalam kesenian Bantengan untuk penyebutan kata “trans” adalah ndadi. Trans ini tidak hanya dialami oleh para pemain yang sedang beratraksi di tempat pementasan saja, akan tetapi juga dialami oleh para pemain yang tidak mendapatkan peran apa-apa dan hanya berada di sekitar tempat pementasan. Pemain yang tidak mendapatkan peran apa-apa tersebut biasanya mendapatkan tugas untuk membantu melakukan penjagaan di sekitaran tempat pementasan.

Menurut penjelasan para pemain kesenian Bantengan, kondisi yang dialami pada saat mengalami trans dibagi menjadi tiga macam. Kondisi pertama adalah sadar. Pada kondisi ini, para pemain berada dalam kondisi sadar, tetapi tidak bisa mengendalikan tubuhnya dan merasa ada kekuatan lain yang menyetir dirinya. Kondisi kedua adalah gelap total. Pada kondisi ini, para pemain tidak dapat mengingat apa-apa seperti halnya orang yang sedang tertidur dan bermimpi. Kondisi ketiga adalah setengah sadar. Pada kondisi ini, para pemain merasakan keadaan di antara sadar dan tidak sadar. Para pemain terkadang bisa mengingat apa yang terjadi, dan terkadang juga tidak bisa mengingat apa-apa

Tingkah laku para pemain yang mengalami trans sangat aneh. Para pemain tersebut biasanya mencari sesepuh atau pendekar untuk menjalin komunikasi. Komunikasi yang dijalin antara pihak ketiga dengan sesepuh atau pendekar biasanya berupa permintaan sesaji dan pemberian petuah. Sesaji yang menjadi favorit pihak ketiga adalah dupa, kemenyan, dan minyak wangi. Ketiga jenis sesaji ini sangat disukai oleh pihak ketiga karena baunya yangharum. Dupa biasanya dimakan langsung oleh pihak ketiga melalui perantara pemain, kemenyan dihirup asapnya, sedangkan minyak wangi dioleskan ke tanduk di kostum banteng. Sementara itu, mengenai petuah yang dituturkan pihak ketiga kepada sesepuh atau pendekar, Bapak Agus selaku ketua Bantengan Nuswantara menjelaskan (berdasarkan hasil wawancara tanggal 27 November 2013) bahwa petuah tersebut biasanya bercerita tentang bagaimana menjalani hidup yang lebih baik dan terkadang mengenai ramalan bencana alam.

DAFTAR RUJUKAN

Danandjaja, J. 2002. Folklor Indonesia.Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Desprianto, R.D. 2013. Kesenian Bantengan Mojokerto Kajian Makna Simbolik dan Nilai Moral. E-Journal Pendidikan Sejarah, (Online), 1 (1): 150-163, (http://ejournal.unesa.ac.id), diakses 25 Agustus 2013.

Endraswara, S. 2003. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi.

Endraswara, S. 2004. Dunia Hantu Orang Jawa: Alam Misteri, Magis, dan Fantasi Kejawen. Yogyakarta: Narasi.

Freud, Sigmund. 1918. Totem dan Tabu. Terjemahan Kurniawan Adi Saputro. 2001. Yogyakarta: Jendela Grafika.

Hadi, Y.S. 2005. Sosiologi Tari: Sebuah Pengenalan Awal. Yogyakarta: Pustaka.

Herwanto, A.P. 2012. Bantengan: Kedigdayaan Seni Tradisi. Malang: APH Malang.

Hidajat, R. 2005. Wawasan Seni Tari: Pengetahuan Praktis Bagi Guru Seni Tari. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.

Hidajat, R. 2006. Relasional Simbolis Desa, Sungai, dan Pundhen dengan Pertunjukan Topeng Malang di Dusun Kedungmonggo Karangpandan. Kejawen: Jurnal Kebudayaan Jawa, 1 (2):14-37.

Kodiran. 1974. Kebudayaan Jawa. Dalam Koentjaraningrat (Ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (hlm. 322-345). Yogyakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Maryono, O. 2000. Pencak Silat Merentang Waktu. Yogyakarta: Galang Press.

Pigeaud. 1938. Pertunjukan Rakyat Jawa: Tinjauan Umum Mengenai Pertunjukan Penyamaran. Terjemahan Muhammad Husodo Pringgokusumo. 1991. Surakarta: Perpustakaan Reksa Pustaka.

Sardjuningsih. 2013. Sembonyo: Jalinan Spiritualisme Masyarakat Nelayan. Tulungagung: STAIN Tulungagung Press.

Suwito. 2007. Slametan dalam Kosmologi Jawa: Proses Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa. Jurnal Studi Islam dan Budaya IBDA, (Online), 5 (1): 1-11, (http://ibda.files.wordpress.com), diakses 9 Agustus 2013.

Zulkhair. 2008. Gangguan Kesurupan dan Terapi Ruqyah: Penelitian Multi Kasus Penderita Gangguan Kesurupan yang diterapi dengan Ruqyah di Dua Lokasi Pengobatan Alternatif Terapi Ruqyah. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Psikologi UIN Malang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun