Mohon tunggu...
Yoni Prawardayana
Yoni Prawardayana Mohon Tunggu... -

Seorang yang humoris, dan pintar mencairkan suasana :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Love, Snow, and Winter in December

4 April 2015   13:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:33 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berdiri dan memandang jendela rumahku. Salju turun dengan lembutnya. Aku yang iseng kemudian membuka jendela, membiarkan angin musim dingin dan salju menerpa wajahku. Aku tersenyum dan berkata dalam hati: "waw, ini sensasi musim dingin bulan Desember yang menyegarkan."

Aku begitu menikmati sensasi itu, sampai ketika alarm oven berbunyi nyaring. Ada apa gerangan? Rupanya kalkun panggangku telah matang. Aku pun menuju ke dapur dan mengeluarkannya dari oven. Begitu kalkun panggangku keluar dari oven, tercium bau harum yang menggugah selera.Lagi-lagi aku tersenyum puas.

Aku memang tampak sibuk di hari ini. Maklum saja, nanti malam, aku akan menyambut sebuah momen istimewa, yaitu ulang tahun ayahku.

**

Tadi pagi, sebelum berangkat ke kantor, aku dan ayahku masih sempat sarapan bersama. Sebuah momen yang langka bagi kami berdua.

"Alya, ayah nanti pulang agak terlambat." Kata beliau.

"Iya, yah." Aku menjawab singkat.

Aku memang terbiasa dengan perkataan ayahku. Kesibukan beliau sebagai staf di kedutaan besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat membuat beliau sering pulang larut malam. Terkadang aku menyempatkan diri untuk menunggu beliau pulang hingga ketiduran di sofa. Dan ketika aku terbangun, selimut tebal sudah menutupi tubuhku. Aku begitu yakin, semalam ayah telah pulang dan memberiku selimut. Kemudian aku menengok kamar beliau. Kosong. Ayah telah berangkat lagi. Hampir begitu setiap harinya.

Sebelum berangkat, ayah masih sempat mencium keningku. Tapi tak seperti biasanya, beliau juga memelukku erat sambil berkata.

"Alya, ayah minta maaf jika ayah tak pernah meluangkan waktu untuk kamu."

"Iya, Alya tahu. Alya mengerti dengan semua kesibukan ayah." Jawabku sambil menyandarkan pipi di dada ayahku.

"Tapi ayah janji. Malam ini ayah akan pulang lebih cepat." Kata ayahku dengan wajah bersemangat.

Aku tersenyum lebar dan berkata "Iya yah. Alya tunggu."

Setelah ayah masuk mobil, aku masih sempat melambaikan tangan kepada beliau hingga mobilnya berbelok di ujung jalanan bersalju kota New York.

**

Aku berteman dengan secangkir cokelat panas, laptop dan koneksi internet untuk membunuh kebosanan. Ya, ritual menunggu ayah pulang adalah sesuatu yang sangat membosankan.

Satu jam, dua jam, tiga jam, aku mulai gelisah. Ayahku tak kunjung pulang. Sesekali aku melirik jam yang menempel di dinding. Jam dinding diam tak acuh. Sesekali aku memandang ujung jalan yang ramai. Tak ada mobil yang berbelok ke garasi rumahku.

Daripada penasaran, aku memutuskan untuk menelepon ayahku. Selang beberapa detik kemudian, aku telah tersambung dengan ayahku.

"Halo, Alya, ayah pulang sebentar lagi. Maaf ya?"

"Iya, yah. Alya cuma khawatir aja."

"Hahaha. Kamu tidak usah khawatir. Ayah baik-baik aja kok. Tunggu ayah ya?"

"Iya, yah. Alya tunggu."

"Oke. Kamu baik-baik aja di rumah."

"Iya, yah."

Aku menutup telepon dengan perasaan lega.

**

Aku masih asyik berselancar di dunia maya, sampai ketika telepon genggamku berbunyi. Rupanya ada panggilan masuk dari nomor telepon yang tak dikenal. Aku sebenarnya ragu. Namun, karena diliputi oleh rasa penasaran, aku memutuskan untuk menjawab panggilan itu.

"Halo, apa benar ini pihak keluarga dari Mr. Abdinegara?"

"Iya, betul. Saya Alya, putri dari Mr. Abdinegara. Apa ada yang bisa saya bantu?"

"Saya adalah opsir Watson dari kepolisian New York. Saya mohon maaf jika kabar yang saya sampaikan kurang mengenakkan. Ada sebuah peristiwa perampokan di jalan George Washington. Dan ayah anda kami temukan terluka parah di lokasi kejadian. Sekarang ini, ayah anda sedang dirawat di rumah sakit. Saya menunggu kedatangan anda di rumah sakit secepatnya!”

Aku terdiam.

"Halo, halo? Saudari Alya? Apa anda masih mendengar suara saya?"

Aku menjatuhkan telepon genggamku. Barusan polisi tadi menyampaikan berita buruk yang membuatku lemas. Tanpa sadar air mataku jatuh berlinang.

**

Aku bergegas menuju rumah sakit. Sesampainya di sana, aku bertemu dengan seorang polisi dan seorang dokter. Sosok polisi itu pasti Opsir Watson. Tapi, siapa sosok dokter di samping Opsir Watson itu?

"Anda pasti Alya ya? Perkenalkan. Saya adalah Opsir Watson. Dan ini Dokter Lee."

Aku menjabat tangan keduanya.

"Saudari Alya, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kami telah berusaha semaksimal mungkin, tapi..."

Dokter Lee tak melanjutkan bicaranya. Nadanya tampak berat, pertanda menyembunyikan sesuatu.

"Tapi, tapi apa, dokter?" Aku tak puas dengan penjelasan Dokter Lee yang terpotong itu.

"Ayah anda terkena luka tembak yang sangat parah. Dan salah satu peluru menembus jantung beliau. Dengan sangat menyesal, kami tidak bisa menyelamatkan nyawa ayah anda."

Ketika Dokter Lee menyampaikan kabar buruk itu, dunia seperti berhenti berputar. Hening. Aku tak mendengar suara sama sekali. Dalam sepersekian detik, bayangan wajah ayahku terlintas di pelupuk mata. Ya, aku terkenang semua momen yang membahagiakan itu. Momen ketika ayah menjemputku di gerbang sekolah, momen ketika ayah mengompres kepalaku saat aku demam, hingga momen ketika ayah menepuk pundakku di acara wisuda kelulusan.

Lambat laun, bayangan wajah ayahku mulai menghilang. Dunia berangsur-angsur gelap. Aku yakin, sebentar lagi, aku akan pingsan. Namun, sebelum pingsan, aku masih sempat mencubit tanganku.

**

Apa yang terjadi? Kenapa tanganku tak merasakan sakit saat aku mencubitnya? Apa ini hanya mimpi?

Aku memandang ke arah opsir Watson dan Dokter Lee. Ada yang aneh. Bayangan keduanya melebur dan menghilang secara tiba-tiba. Dunia serasa berputar kembali. Dunia tak lagi hening. Aku bisa mendengar. Aku bisa merasakan. Ayahku memanggil namaku berulang ulang. Ayahku menggoncang-goncangkan tubuhku berulang-ulang.

"Alya, Alya. Bangun, nak!" Kata ayahku.

Aku kemudian membuka mata. Terlihat dengan begitu jelas. Sangat jelas. Ayah menatapku dengan wajah penuh keheranan. Rupanya aku tadi hanya bermimpi. Secara spontan, aku langsung memeluk ayahku erat-erat.

"Alya, kamu habis mimpi buruk ya?" Ayah bertanya kepadaku.

Aku tak berkata apa-apa, dan hanya tersenyum. Dalam hati aku berkata: "Kalau saja ayah tahu mimpi Alya tadi."

Aku lega. Luar biasa lega.

Setelah membasuh muka dan meminum segelas air putih untuk menenangkan diri. Aku kemudian menuju ke meja makan. Di sana ayahku sudah menunggu untuk makan kalkun panggang bersama. Kami berdua pun larut dalam tawa dan kebahagiaan.

"Ayah, selamat ulang tahun." Kataku.

Ayah hanya tersenyum dan membelai rambutku. Aku pun kembali memeluk ayahku dengan manja. Dan di saat memeluk ayahku itulah, aku merasakan bahwa kasih sayang ayahku begitu lembut, selembut salju yang turun di musim dingin bulan Desember.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun