*Oleh: Lam Syahrizal
Wasathiyah berasal dari bahasa Arab yang makna nya secara etimologi adalah adil, utama, terbaik dan sejenis dengan itu, salah seorang sarjana muslim abad ke 11 Masehi yang berasal dari Iran (Isfahan) yaitu raghib Al-asfahani mengemukakan bahwa wasath adalah titik tengah yang seimbang dengan artian tidak terlalu ke kanan dan tidak terlalu ke kiri. Lalu secara terminologi wasathiyah yang berakar dari kata wusuth tidak lepas dari makna secara etimologis nya, para pakar mengartikan ini dengan karakteristik terpuji yang mampu membuat seseorang memiliki sikap tidak ekstrim. Syech Yusuf qardhawi salah seorang mufthi Mesir mengatakan bahwa at-thawazun juga selaras makna nya dengan wasathiyah, kedua nya sama sama mengenai  tentang upaya menjaga keseimbangan antara dua sudut, dua sisi, dua arah yang bertolak belakang antara satu dengan yang lain. Contoh dari padanya adalah individualisme dengan sosialisme, spiritualisme dengan materialisme dan masih banyak lagi.
Konsep wasathiyah muncul didalam Al-Qur'an dalam QS Al-Baqarah ayat 143 yang mana redaksi nya menerangkan tentang ummat yang adil (ummatan wasathan). Dengan menjadi umat yang adil atau umat yang paling sempurna kehidupan manusia terutama umat Islam menjadi damai dan tentram. Mengapa demikian? Karena sudah jelas bahwa kita tidak mungkin menerapkan sebuah pandangan dengan cara memaksa orang lain harus mau mengikuti apa yang kita Kampanyekan, sederhana nya kita sebagai seorang manusia tidak mungkin mampu membuat semua orang yang kita temui menyukai gaya berpakaian kita karena mereka pastinya memiliki penilaian sendiri terhadapnya. Jika mereka terlahir di tahun 80-an mungkin mereka menyukai gaya berpakaian klasik di masanya namun jika mereka generasi millenial kemungkinan besar akan lebih condong dengan gaya berpakaian era ini. Ketidak mungkinan kita untuk menyepakati persepsi orang banyak membuat kita harus mampu memiliki sikap adil (wasath) dalam cara berpikir. Bukan hanya dalam masalah ideologi dan religius saja, wasathiyah juga seharusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar terciptanya manusia yang jauh dari kata egois dan menghargai pendapat serta mampu memaklumi orang yang berbeda dengan dirinya.
Kehidupan manusia dewasa ini sering dibentur-benturkan dengan perihal yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, cara pandang kita terhadap sebuah masalah sering membuat setiap individu merasa tertekan dengan dunianya sendiri, bahkan tak jarang yang menyerah dari kehidupan. Dengan mampu mewujudkan sikap wasathiyah dalam berpola pikir, maka setidak nya bisa meminimalisir perbuatan negatif yang sangat merugikan tersebut. [*]
Bandung, 02 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H