Tuan, lihatlah ke sini. Kami mohon menolehlah sebentar. Lihatlah ke arah tumpukan sampah yang telah menggunung ini. Lembah dan bukit yang serba sampah. Di sinilah kami menggantungkan hidup. Di sinilah kami menyandarkan harapan dan cita-cita kami. Sebab di luar tak ada lagi yang bisa kami percaya.
Tuan, apakah kau jijik pada bau kami yang usang ini. Apakah kau jijik pada luka kami yang telah bernanah. Ataukah kau hanya sekadar gengsi karena kau orang berdasi? Tolonglah beri kami sedikit senyuman jika kau tidak mau memberi kami sedikit sedekah.
Anak kami, yang tak tahu apa-apa harus menjalani masa kecilnya di antara lalat. Bergelut di dalam larutnya bau yang terbuang. Dan berlarian mengejar capung-capung kertas buatan kakaknya. Mereka masih kecil dan mereka juga tak tahu apa-apa. Tegakah kau membiarkan kami terus terperangkap dalam aroma sampah ini?. Tidakkah kau tahu bahwa sebenarnya anak kami belum makan?
Maaf jika kami terlalu lancang. Kami hanya ingin menegur saja. Begitulah cara kami. Pesan dari kami, "jika suatu saat kau sudah terlajur kaya. jangan lupa mampir ke kampung kami tuan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H