Aromanya adanya uang tebusan dalam pembebasan 10 sandera oleh kelompok Abu Sayyaf di Pulau Jolo Filipina Selatan, sudah berhembus kencang jauh sebelum  para sandera dibebaskan. Meski Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan maupun Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, berulangkali menegaskan tidak ada uang tebusan dari pemerintah, namun keduanya tidak menampik ada uang tebusan dari pihak perusahaan.
Terkait uang tebusan yang disediakan oleh perusahan dibenarkan oleh Mayor Jenderal (Purn) TNI Kivlan Zen, salah satu negoisator pembebasan sandera. Menurut mantan  Kepala Staf Kostrad itu, dirinya bertemu dengan Budiman, utusan perusahaan pemilik kapal Brahma 12 tempat 10 WNI bekerja, yang hendak menyerahkan uang tebusan. Namun uang tersebut tidak jadi diserahkan.
Setelah 10 sandera dipastikan bebas, Presiden Joko Widodo, dalam keterangan persnya sama sekali tidak menjelaskan apakah pembebasan sandera tersebut menggunakan uang tebusan atau tidak. Jokowi hanya mengatakan pembebasan sandera bisa dilakukan berkat kerjasama semua pihak, termasuk pemerintah Filipina.
Pokok persoalannya adalah ada sandera. Para penyanderanya lantas meminta uang tebusan 50 juta peso. Di satu sisi, pemerintah tidak mau membayar uang tebusan itu karena akan menjadi coreng hitam. Prinsip negara tidak boleh kalah oleh terorisme dan tindak kejahatan lainnya, sudah harga mati. Di sisi lain, Indonesia tidak bisa melakukan operasi militer karena lokasi penyanderaan ada di wilayah negara lain- Filipina yang konstitusinya tidak mengizinkan adanya operasi militer dari negara lain di wilayahnya, tanpa ada perjanjian sebelumnya.
Pemerintah lantas mengupayakan pembebasan melalui berbagai saluran, baik diplomatik maupun non diplomatik. Jalur non diplomatik dilakukan oleh pihak perusahaan dan tim kemanusiaan milik Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Tim ini memiliki melakukan kerjasama dengan Yayasan Sukma (Sekolah Sukma Bangsa di Aceh) di bawah pimpinan Ahmad Baidowi dan Samsul Rizall Panggabean, kelompok Media Group, dan Partai Nasdem di bawah Ketua Fraksi DPR Victor B Laiskodat.
Jalur diplomatik yang dilakukan Kementerian Luar Negeri ternyata tidak berhasil melobi pemerintah Filipina untuk mengizinkan operasi militer Indonesia yang saat itu sudah ‘diparkir’ di wilayah perbatasan. Sementara tim perunding dari perusahaan yang diwakili Kivlan Zen sudah mencapai kesepakatan terkait uang tebusan. Pada saat bersamaan, tim kemanusian Surya Paloh juga sudah berhasil mencapai Pulau Jolo, bahkan bertemu dengan beberapa pentolan Abu Sayyaf.
Dalam konteks ini, timbul satu pertanyaan, di mana posisi Kivlan Zen? Sebab Kivlan Zen mengaku bertemu dengan utusan perusahaan yang hendak menyerahkan uang tebusan, namun kemudian disuruh pulang karena para sandera sudah akan dibebaskan tanpa uang tebusan. Loh, bukannya Kivlan mewakili perusahaan? Mengapa pihak perusahaan sempat mengirimkan uang tebusan jika sejak awal tidak ada deal soal uang tebusan? Â
Mari kita lihat konologi berikutnya sesuai penuturan Kivlan Zen yang telah dimuat di berbagai media. Kivlan mengaku berhasil menghubungi para petinggi Abu Sayyaf melalui jalur Gubernur Sulu Toto Tan. Sang gubernur merupakan keponakan mantan pimpinan The Moro National Liberation Front (MNLF) Nur Misuari. Kivlan mengaku berteman dengan Nur Misuari saat dirinya bertugas di pasukan perdamaian Filipina Selatan tahun 1995-1996. Lewat Nur Misuari, Kivlan berhasil melakukan kontak dengan kelompok Abu Sayyaf dan menjalin komunikasi intens sampai kemudian tercapai kesepakatan untuk membebaskan sandera tanpa uang tebusan.
Dari konstruksi cerita itu, maka bisa ditarik kesimpulan, awalnya perusahaan dan Abu Sayyaf telah mencapai kesepakatan terkait pembebasan sandera dengan uang tebusan sehingga kemudian pihak perusahaan mengirim uang tebusan. Namun dalam perkembangannya, Kivlan Zen berhasil melakukan negoisasi ulang setelah dibantu oleh Nur Misuari sehingga pembebasan sandera tidak menggunakan uang tebusan.
Kisah ini akan segera ditutup dan Kivlan Zen layak mendapat gelar kehormatan, andai belakangan tidak muncul klaim dari kubu Surya Paloh. Bahkan dalam beberapa petikan berita yang mengutip ucapan para petinggi Partai Nasdem dan Media Group, pembebasan 10 sandera merupakan jasa Surya Paloh. Dalam keterangan persnya, Deputi Chairman Media Group Rerie L. Moerdijat mengatakan, pembebasan dilakukan oleh tim kemanusiaan Surya Paloh sejak 3 April 2016. Negosiasi pembebasan sandera dilakukan jaringan Yayasan Sukma dengan melakukan dialog langsung dengan sejumlah tokoh masyarakat, LSM, lembaga kemanusian di daerah Sulu yang memiliki akses langsung ke pihak Abu Sayyaf di bawah koordinasi langsung pemerintah Republik Indonesia. Yayasan Sukma menggunakan pendekatan pendidikan yang jauh sebelumnya sudah ada kerjasama pendidikan antara Yayasan Sukma dan pemerintah otonomi Moro Selatan.
Sebenarnya, masyarakat Indonesia berterima kasih dan memberikan apresiasi yang tinggi kepada semua pihak yang terlibat dalam proses pembebasan sandera tersebut. Siapapun yang berjasa, bukan persoalan. Namun ketidakjujuran, aroma manipulasi, mencari panggung  untuk kepentingan pribadi, adalah hal yang sangat memuakkan. Blow up terhadap pihak-pihak yang dianggap paling berjasa, membuat masyarakat tidak simpati.